Cerita Gunung Batur Yang Benar-Benar Ramah Buat Pemula

“Bro, lo kenapa milih gunung daripada pantai ?” tanya Densu pada saya.

“Soalnya, di pantai panas, takut item (lebih item), mendingan gunung adem, hahaha” jawab saya realistis.

“Sebenernya, gw lebih cenderung ke pantai daripada gunung, soalnya gunung capek banget, pengen yang santai-santai aja. Ehh, apa karena gw kalah ganteng ya dari Nicholas Saputra, makanya disuruhnya ke Tim Gunung ? hahahaaa” timpal Densu.

Faktor udara yang sejuk dan ketenangan di atas sana adalah salah dua alasan saya memilih gunung ketimbang eksplorasi di pantai. Terlebih lagi saya udah 2 tahun lebih gak menginjakkan kaki di gunung pasca menikah. Semua difokuskan ke keluarga terlebih dahulu. Sebenernya pengen banget naik gunung bareng anak dan istri, cuma berhubung Saga masih 8 bulan. Sangat beresiko untuk diajak naik gunung, lagipula sepertinya belum ada tas carrier yang pas untuk gendong bayi seukuran Saga.

Puncak Gunung Batur

Gunung Batur adalah gunung di Bali pertama yang saya daki, dari dulu pengen banget meskipun bukan jadi gunung prioritas untuk didaki. Alhamdulillah kali ini kesampaian mendaki bersama Denny Sumargo dan tim Mitsubishi.

Tujuan utama dari pendakian ini adalah melihat sunrise dari puncaknya. Jadi pukul 02.00 sudah harus berangkat dari hotel menuju basecamp di kaki gunungnya. Malam itu kami menuju basecamp menaiki Xpander Cross melewati jalur yang meliuk-liuk. Di basecampnya ini kita bisa memesan mie instan untuk sekadar mengisi perut sebelum pendakian. Bagi yang ingin berurusan dengan kamar kecil harap menyiapkan uang lebih banyak, karena tarifnya Rp 5.000 sekali pakai.

Untungnya udara di sini tidak terlalu dingin, mungkin sekitar 24 derajat. Jadi saya gak perlu memakai jaket karena nanti saat jalan bakal kepanasan. Sekitar pukul 03.30, anggota tim sudah siap dan membawa senternya masing-masing. 

Gunung Batur merupakan gunung yang ramah bagi para pendaki, kalau di Jawa tingkat kesulitannya mirip Gn. Andong. Jalurnya cukup lebar seperti di Ijen dan sangat jelas meskipun ada percabangan. Ada beberapa jalur pendakian. Namun kami mendaki dari bawah melewati rumah-rumah warga, ladang, dan juga Pura.

Sebenarnya si Densu bawa sepatu trekking untuk mendaki, cuma dia pikir-pikir lagi dengan jalurnya yang mudah, cukup pakai sepatu Vans aja, soalnya sepatu TNF nya takut kotor. Yaelah…

Waktu tempuh normal untuk sampai puncak adalah 2 jam. Dalam tim pendakian ini tidak semuanya memiliki background pendaki gunung, jadi ritme langkahnya agak lama. Saat sampai di Pos 1 yang ada warungnya, kami terpecah jadi 2 tim karena yang sebagian gak sanggup untuk melanjutkan perjalanan. 

Densu pun mempertanyakan kesanggupan kami, kalo saya sih jelas masih sanggup. Sempat juga ada opsi dari videografernya untuk pindah destinasi yang lebih gampang untuk liat sunrise, tapi saya langsung menolaknya karena udah sampai sini, nanggung banget. Akhirnya diputuskan yang masih kuat, lanjut sampai atas.

Dalam perjalanan ke atas, terdengar deru motor trail yang semakin mendekat dari kegelapan. Sudah kuduga, jalur ini pasti sering dilewati motor, soalnya terdapat cekungan bekas hempasan bannya. Inilah hal yang paling menyebalkan ketika mendaki gunung, udah capek-capek jalan nanjak, ehh ada motor lewat.



Naik motor ke gunung batur
Pos batas sepeda motor.

Untuk menumpang sepeda motor sampai atas dikenakan tarif sekitar Rp 350.000 bagi bule, mungkin bagi WNI Rp 150.000. Tarif itu untuk naiknya saja, kalo turun ada biaya tambahan namun lebih murah.

Semburat cahaya jingga perlahan mulai menampakkan kilaunya sebelum Pos 2 yang merupakan area terbuka. Di sini kita bisa melihat indahnya Danau Batur dan Gunung Abang di seberangnya. Jika mata jeli, terlihat juga siluet Gunung Agung yang seolah olah mengintip di balik Gn. Abang. Begitu pula Gunung Rinjani dari kejauhan.


Danau Batur dan Gunung Abang
Danau Batur dan Gunung Abang.

Di pos inilah tim memutuskan untuk menyudahi pendakiannya karena sesuai targetnya melihat sunrise meskipun tidak sampai puncak. Kondisi fisik anggota yang lain juga tidak memungkinkan untuk ke puncak karena kalau dipaksakan nanti kesiangan.

Karena sudah kepalang tanggung sampai sini, saya pun bertekad untuk melanjutkan perjalanan sampai puncak. Meskipun ini baru pertama kali mendaki Gn. Batur, saya sudah memperkirakan estimasi waktu tempuh sampai puncak jika saya yang mendaki sendirian. Akhirnya anggota tim yang lain setuju dan menyuruh salah satu guidenya menemani saya ke puncak.

Trek bebatuan gunung batur

“Madeee…” panggil saya pada guidenya.

Seketika aja beberapa orang di sana menoleh.

Saya itu bingung kalau kenalan sama orang Bali. Yang ini Made yang itu Made, yang ini Wayan dan yang itu juga Wayan. Jadi kalau mau manggil nama orangnya di tempat umum, mendingan dibisikin aja biar yang lain pada nggak nengok. Lha…lu kate Limbad pake bisik-bisik.

Made yang menemani saya ke puncak masih berusia 19 tahun, tapi dia udah nikah dan mau punya anak lho…hebat kali. Saya mikir sebentar, kalo usianya 19 tahun berarti dia lahir tahun 2001 dong. Hihihi…berasa kayak bayar gorengan :p

Berhubung yang naik kita berdua, jadi waktu tempuhnya lebih cepat karena mudah menyesuaikan ritmenya dan bisa diprediksi jam berapa sampai bawah lagi. 

Semakin ke atas, pohon semakin jarang, yang ada hanya semak-semak dan rerumputan. Sampai ketika kita akan menjumpai pos terakhir sebelum sampai puncak. Di sinilah batas motor bisa naik, karena setelahnya akan melewati jalur bebatuan yang cukup terjal.

Jalur Punggungan Gunung Batur

Sesampainya di puncak, jalur berubah jadi sempit karena berupa punggungan dan bibir kawah. Seminggu yang lalu ada seorang pendaki yang tewas karena tertidur dan jatuh ke dalam kawah. Jadi jangan sampai lengah gara-gara terlena akan pemandangan yang indah.


Warung di Puncak Gunung Batur

Di puncak Gunung Batur terdapat beberapa bangunan non permanen yang bisa digunakan untuk berteduh. Berbeda dengan Gn. Andong, Gunung Batur nggak ada yang camping di puncaknya, entah gak boleh atau apa. Yang jelas di sini pada tektok semua untuk melihat sunrise dan langsung turun lagi pagi itu juga. Selain itu juga area yang sempit menyulitkan untuk mendirikan tenda.

Suasana di Puncak Gunung Batur

Saya pikir hari ini akan sangat sepi dari pendaki, ternyata di atas sudah cukup banyak pendaki yang didominasi oleh turis asing. Saya yang berada di sini malah terasa seperti di negara orang. Namun untuk kebersihannya ini layak dapat acungan jempol, karena gak sekotor gunung-gunung populer lainnya.

Oh iya, hati-hati juga bila membawa makanan. Di sini kawanan monyetnya cukup agresif kalo denger kresek-kresek bungkus makanan. Bahkan sang rajanya bisa lari kencang dari jarak yang cukup jauh untuk merebut makanan. Beberapa kali saya dibuat kaget dan latah karena tiba-tiba mereka ada di samping berusaha membuka tas.

Macaca Fasciscularis

“Monyet lu pada” maki saya pada kawanan mereka.

Untung aja mereka gak jawab,

“Emang iya, pweeekkk :p"

Saya baru tau kalo Gunung Batur memiliki kaldera yang sangat luas seperti Bromo. Ternyata perbukitan yang saya lewati saat menaiki mobil adalah bagian dari kalderanya. Bila memantau dari puncak ke arah barat daya, kita bisa melihat bekas lelehan lava yang berwarna hitam dan membatu. Area tersebut mirip sekali dengan Anak Gunung Krakatau yang memuntahkan material dan membentuk lahan baru. Di sebelah tenggaranya terdapat Danau Batur. Danau itu terbentuk akibat letusan Gunung Batur. Kebayang ya gimana dahsyatnya saat itu hingga kini terbentuk kaldera dan danau yang cukup luas.


Kawah Gunung Batur
Sauna di Gunung Batur
Siapa yang bakar sampah di sini ya ?

Hal unik lainnya yaitu adanya uap panas yang keluar dari dinding kawah. Dari kejauhan saya melihat orang-orang bule itu takjub pada asap yang keluar dari dalam tanah, mereka pun foto-foto di dalam cerukannya. Dalam hati saya berkata, 

"Dasar ndeso".

Gak lama kemudian saya pun ikutan foto di dalam cerukannya itu, dan ternyata anget, hahahaaa....

Menurut orang sekitar, agar asapnya bertambah tebal caranya adalah "dipancing" menggunakan rokok atau dupa yang menyala dan ditiup ke dalam lubangnya. Ternyata cukup efektif juga sih. 

Pemandangan Kaldera Gunung Batur

Gunung Batur sendiri adalah gunung berapi yang memiliki ketinggian 1717 mdpl. Area punggungannya bisa dibilang berbentuk bulan sabit karena terputus pada bagian lain akibat letusan. Sayangnya karena keterbatasan waktu, saya gak sempat ekplorasi semuanya, jadi pagi itu saya harus turun dan bergabung dengan anggota tim lainnya.

Di tengah perjalanan turun, saya kebelet pengen pipis. Saya pun menanyakan hal itu pada Made, takutnya ada larangan untuk pipis di sini. Setelah mendapatkan tempat yang aman, saya pipis di semak-semak sambil clingak-clinguk takut ada monyet yang narik dikira itu pisang.

Akhirnya tepat sesuai perkiraan, pada pukul 07.30 saya sampai di pos 2 dan bergabung dengan yang lainnya. Destinasi selanjutnya adalah berendam air hangat di Toya Devasyya, wuaahh...pas banget ini abis pegel turun gunung langsung berendam.

Dalam bahasa Banten dan Sunda, "Batur" artinya teman atau sahabat. Sedangkan dalam bahasa Jawa artinya pembantu. Entahlah jika dalam bahasa Bali artinya apa, mungkin sama juga dengan teman (saya belum nemu artinya). Namun jika dikorelasikan dengan perjalanan ini, menurut saya Gunung Batur adalah gunung yang bersahabat sekali untuk pemula dan sangat membantu jika ingin belajar di alam. Jadi sangat direkomendasikan untuk mendaki gunung ini, tentunya dengan persiapan yang baik yaa.


Mitsubishi Xpander Cross

Akhirnya kesampaian juga mendaki salah satu gunung di Bali, jadi nambah deh ceklist gunung-gunung di Indonesia. Terima kasih Mitsubishi yang telah mendukung penuh pendakian ini dan menjadi bagian #TimGunung.

#XpandYourAdventure


2 comments: