Sering kali banyak orang yang menganggap memotret diri sendiri adalah merupakan salah satu bentuk narsisme. Narsisme atau yang biasa kita sebut narsis adalah suatu bentuk sikap yang menggambarkan dimana seseorang yang jatuh cinta dengan citra dirinya sendiri, atau terlalu membanggakan dirinya sendiri entah itu dari segi fisik atau pun yang lain, dan menganggap bahwa dirinya lebih cantik/tampan dari orang lain. Hal tersebut merupakan suatu hal yang biasa dilakukan oleh para ababil ( ABG-ABG labil ) atau kimcil-kimcil, terutama kaum wanita. Mereka melakukan berbagai pose, mulai dari dengan menutup bibirnya dengan telunjuk, hingga memanyun-manyunkan bibir layaknya bebek sange. Rata-rata mereka memotret dengan angle dari atas, dan pada umumnya mereka menggunakan kamera ponsel.


Sekedar info, sebenarnya kata narsis diadaptasi dari mitologi Yunani tentang seorang dewa yang bernama Narcissus. Narcissus diceritakan sebagai seorang dewa yang memiliki wajah tampan. Dia adalah anak dari dewa sungai, Cephissus. Ibunya adalah seorang bidadari bernama Liriope. Ketika Narcissus masih kecil, seorang peramal (Tiresias) berkata kepada kedua orang tuanya bahwa anak mereka akan berumur panjang apabila tidak melihat dirinya sendiri. Akibat ketampanannya banyak yang jatuh cinta kepada Narcissus. Salah satunya bidadari bernama Echo yang jatuh cinta kepadanya. Namun, tidak seorang pun yang dibalas cintanya oleh Narcissus. Demikian pula Echo. Echo hidup dalam kesendirian dan kesedihannya. Dewi Nemesis mendengar doa Echo yang cintanya ditolak tersebut. Nemessis mengutuk Narcissus supaya jatuh cinta kepada bayangannya sendiri. Kutukan tersebut menjadi kenyataan ketika Narcissus melihat bayangan dirinya di sebuah kolam. Dia tak henti-hentinya mengagumi sosok yang terlihat dari pantulan air di kolam itu. Sampai matinya dia terus memandangi bayangan dirinya tersebut.

Self Portrait Art
Self portraiture adalah seni dimana sang seniman berkarya dengan mengekspresikan menciptakan potret diri sendiri ke dalam sebuah karya visual. Menurut Wikipedia, Portrait atau potret dalam bahasa Indonesia adalah representasi seni dari seseorang, yang dimana lebih menonjolkan ekspresi yang dimaksudkan untuk menampilkan personalitas atau perasaan seseorang. 

Pada awal masa perkembangan fotografi, kebanyakan orang memotret manusia dengan kamera formatnya vertikal. Ini dimaksudkan untuk lebih menangkap keseluruhan tubuh manusia ke dalam frame. Hingga saat inilah portrait dijadikan format foto selain landscape. Walaupun demikian, saat ini format portrait (vertikal) tidak dijadikan aturan baku dalam portrait photography, karena banyak pula para fotografer profesional yang menggunakan format landscape dalam portrait photography.

Dalam seni potret diri ( Self Portrait Art ), sangat berbeda sekali dengan foto narsis, di sini kita dituntut untuk lebih mengedepankan konsep yang dibuat dan juga memikirkan estetikanya. Sedangkan foto narsis tidak mengutamakan konsep, pertandaan, dan juga dari segi teknis fotografi, komposisi, serta pencahayaannya, yang penting sang "model" atau dirinya sendiri terlihat "cantik" dan gaul menurut dirinya sendiri. Saya pertama kali melihat foto-foto narsis tersebut sekitar awal tahun 2000, ketika itu merupakan awal perkembangan situs social media, seperti Friendster, Live Connector, dan Fupei. Entah siapa duluan yang mempelopori "gerakan" ini sehingga terlihat massive dan diikuti oleh orang-orang lain pada umumnya, dan seakan menjadi fenomena baru ditengah perkembangan dunia teknologi yang cepat ini, sehingga merusak imej self portrait art itu sendiri.

Ada beberapa alasan kita untuk membuat self portrait art :
1. Tidak mempunyai persiapan yang cukup dalam mengeksekusi sebuah konsep.
2. Sedang tidak ada, atau tidak ada yang mau untuk dijadikan model/objek foto saat moment itu datang.
3. Tidak mempunyai dana yang cukup untuk menyewa model, kostum, properti, dan lokasi, dll...
4. Konsep yang diusung mengharuskan diri kita sebagai modelnya, sehingga tidak mungkin dilakukan oleh peran pengganti.
5. Ingin membuat suatu karya yang eksklusif, seperti istilah "One Man Show", yaitu Saya konseptornya, Saya Fotografernya, Saya DI Artist-nya, dan Sayalah Modelnya !

Ide itu bisa datang kapan saja dan di mana saja. Seringkali ketika mendapatkan suatu ide, kita akan menyimpannya terlebih dahulu dan suatu saat bakal dieksekusi. Namun banyak sekali orang yang kurang beruntung seperti saya, yaitu menyimpan terlalu lama konsep-konsep yang ada dalam imajinasi, sehingga ada kemungkinan konsep itu bakal basi karena telah dipakai oleh orang lain. Pernah suatu ketika saya mendapati konsep yang selama ini tertanam dalam otak, tiba-tiba terpakai oleh orang lain dalam penciptaan karya seni hingga dipamerkan ke khalayak ramai, dan bahkan ada beberapa yang dipakai sebagai print ad pada skala nasional. Dalam penyesalan, saya pun berulang kali berkata, "Kenapa gak gw eksekusi aja langsung dari dulu ?!". Lagi-lagi...kondisi peralatan, keuangan, dan waktu yang tidak memungkinkan untuk memanjakan imajinasi saya dalam melahirkan sebuah karya seni.

Berikut ini adalah beberapa contoh karya SelfPortrait saya :



Sebenarnya membuat karya seni foto portrait diri tidaklah sulit, yang penting ketika ide sudah ada bisa langsung eksekusi. Cukup siapkan kamera, pasang di tripod, setting self timer / cable release, lalu tentukan titik fokus, tekan tombol shutter, lalu bersiaplah berekspresi di depan kamera. Sangat menyenangkan sekali bagi saya dalam membuat self portrait, karena saya sangat menikmati dari tiap prosesnya, mulai dari menciptakan konsep hingga menikmati hasil jadi karya tersebut, ada kepuasan tersendiri dibandingkan dengan memotret orang lain. Hal yang agak sulit dalam membuat self portrait adalah menentukan titik fokus, karena semua dilakukan oleh diri sendiri, kecuali ada bantuan orang lain sebagai "pemeran pengganti" sementara untuk mengunci titik fokus.

Beginilah rumusnya.


Ada yang berpendapat, bahwa yang memencet tombol shutter pada kamera itulah fotografernya yang memiliki hak cipta penuh atas foto yang dihasilkan, walaupun ide/konsepnya berasal dari orang lain. Namun, dalam dunia seni hal tersebut tidak terlalu dipermasalahkan, karena sang seniman, fotografer, atau digital imaging artist-nya bisa saling berkolaborasi dalam membuat sebuah karya seni. Banyak sekali seniman foto kontemporer yang sering menggunakan dirinya sebagai model dalam karyanya, seperti Li Wei dan Natsumi Hayashi. Yang terpenting di sini adalah bagaimana mengekspresikan diri dari konsep yang ada di kepala ke dalam sebuah karya seni agar pesan tersampaikan dan dapat dinikmati, karena seni adalah emosi yang diekspresikan.

Well, itu semua kita kembalikan pada pendapat masing-masing individu dalam menilai sebuah foto apakah mengandung unsur nilai seni atau hanya sebuah narsis belaka. Kita semua diharapkan berpikir kritis dan luas dalam menilai sebuah foto, karena dalam menganalisis kita harus mempunyai landasan seni dan referensi yang luas dan jangan terlalu men-"judge" negatif kepada senimannya. Dan,...apakah anda cukup seni ? :) Jangan cuma komentar, tapi tunjukkan karyamu !







*Tulisan ini dibuat atas kegerahan saya terhadap orang-orang yang menganggap karya-karya saya menganut paham narsisme. Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan referensi bagi kita semua...

Sewon, Bantul
6 September 2012
02.29
Renky Spheriks