talked all the things That brings memories of lives
How to survive and how to take care each other
as a good way and the better way try to deal our life
- Kuro ! -
Teringat keluh kesah salah seorang temanku saat di ketinggian 1830 mdpl, ia sedang dilema dihadapkan dengan 2 pilihan antara istri atau gunung...dan sudah bisa ditebak jawaban yang keluar dari lubuk hatinya adalah...GUNUNG ! Tapi dikarenakan saat pernikahan sudah melakukan "janji" dengan Tuhan, maka dengan berat hati ia melepaskan hobinya tersebut yang sudah mendarah daging dan lebih memilih pulang ke rumah dan menemani istrinya di malam yang syahdu, karena dengan memilih istrinya tersebut otomatis juga mendapatkan "gunung" yang lain :p
*Beruntunglah wahai para penggiat alam bebas yang juga memiliki pasangan dengan hobi yang sama :) Buatlah seluruh alam raya ini seolah-olah hanya menjadi milik berdua. Kalau belum punya, berusaha dan carilah pasanganmu di atas gunung, niscaya Tuhan akan memberikannya untukmu, dan mungkin saja dengan dibekali dengan kemampuan fotografis.
Kita begitu berbeda dalam semua, kecuali dalam c.......... ^_^!
[gallery ids="390,392,387,388,389,391"]
Wish You Were Here...
Quotes itulah yang sampai saat ini masih tertanam di dalam otakku dan seakan-akan menjadi "personal guardian". Untuk menjadi seorang pemberani memang dibutuhkan proses dan juga pengalaman, selain tekad yang kuat tentunya. Dulu, ketika aku masih SD kelas 3, seorang wali kelasku sebut saja Bu Yuni, saat pelajaran PPKN berulang kali “menanamkan” quotes itu kepada seluruh muridnya agar kelak menjadi seorang pemberani. Benar saja, sampai sekarang pun saya masih teringat dan selalu mengaplikasikan pesan yang disampaikan beliau untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
***
Ngomong-ngomong soal keberanian, waktu SD aku sama temen se-gank (cieelah…anak gank) pengen banget nyobain masuk ke rumah hantu di acara pasar malam, soalnya penasaran banget sekaligus mau ngetest ilmu keberanian seperti yang diajarkan Bu Yuni. Waktu itu kita berjumlah sekitar 5-6 orang bahkan kita udah bikin rencana siapa yang berada di posisi paling depan, tengah, dan belakang. Soalnya menurut cerita yang sering terdengar, bahwa di dalem rumah hantu tuh kita bakal digangguin, dikejar-kejar, bahkan digrepe-grepe sama setan-setan terkutuk itu ! Makanya kita rencanain bikin formasi biar para setan gak merenggut keperjakaanku…
Sayangnya rencana tinggallah rencana aja…aku lupa kenapa rencana ini malah gagal. Tapi setelah 16 tahun kemudian, tepatnya hari ini, aku berhasil merealisasikannya walaupun hanya seorang diri, tapi seenggaknya rasa penasaranku udah ilang, jadi aku bukan si Renky Penasaran lagi, soalnya yang boleh penasaran itu hanya arwah, jadinya Arwah Penasaran…
Awalnya emang gak ada rencana untuk masuk rumah hantu, tapi karena waktu siang itu aku ada sesi pemotretan di Sekaten dan lokasinya di depan Bianglala dan berhadapan langsung dengan rumah hantu, langsung aja terbesit pikiran untuk nyoba sesuatu yang dari dulu belum terealisasikan, toh gak bakalan mati ini kalo cuma masuk, lagian juga cuma buat hiburan semata.
Sensasi ketika mau masuk pertama kali ini berbeda banget ketika waktu masih SD. Waktu dulu baru nyium bau kemenyan sama denger suara backsound kuntilanak ketawa aja udah bikin gemeteran plus keringet dingin, tapi waktu sekarang , ngedenger suara kuntilanak malah pengen ikutan ketawa, abis asik aja ngetawain setan yang ketawa sendiri tanpa sebab.
Di dalem rumah hantu ternyata gak seseram yang kukira, cuma ada 2 setan, yaitu pocong dan kuntilanak dan mereka cuma diem aja, sesekali cekikikan…untungnya gak pake acara grepe-grepe. Jujur, sebenernya aku kurang puas masuk wahana ini, soalnya cuma begituan, gak ada tantangannya, di dalem juga cuma sebentar, mana bau pesing lagi, soalnya kan yang jadi setannya kalo pipis di situ juga…
***
Pengalaman demi pengalaman udah pernah aku dapetin seiring perkembangan sang waktu. Bahkan selepas lulus SMA, udah menjadi santapan setiap hari seperti musik dan simbol-simbol Satanism, walaupun begitu aku masih berada di jalur yang benar (thx God).
Naik-turun gunung, keluar-masuk hutan di malam hari seorang diri sangat menempa keberanianku. Biarpun sering ngelakuin aktifitas begituan, aku gak pernah punya pikiran negatif atau yang aneh-aneh yang dapat menimbulkan imaji buruk, yahh…walaupun sekelebat-dua kelebatan, tapi gak pernah aku peduliin, dan selalu berpikir positif, karena aku udah mendoktrin diri sendiri di dalam otak, “Gw ini manusia, Elo setan…dan lebih ganteng gw, jadi ngapain gw takut sama Elo !”.
Jadi, ngapain takut selama kita berbuat BENAR ?
[gallery ids="375,376,377,378,379,380,381,382,383,384"]
I Must be Brave !
Rangkaian acara diawali dengan pelepasan burung di Posko Induk Cemoro Kandang, Karanganyar. Langkah ini bertujuan untuk menjaga populasi burung agar tidak punah, karena dari tahun ke tahun jumlah burung di Gunung Lawu semakin berkurang.
Keesokan harinya pada tanggal 17 Agustus 2013, sekitar pukul 08.00 WIB, sebagian besar para pendaki bergerak naik menuju puncak Hargodumilah. Mereka berfoto-foto di bawah Tugu Triangulasi yang lengkap dengan instalasi 1.000 benderanya.
Kemudian pendaki mulai turun ke arah barat menuju Tlogo Kuning tempat diadakannya upacara bendera. Tlogo Kuning adalah sebuah tanah lapang yang sangat luas, bekas kawah yang sudah mati. Di tempat tersebut para peserta langsung membentuk barisan mengelilingi tiang bendera.
Tepat pada pukul 09.00 WIB, upacara bendera peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-68 dimulai. Walaupun didera kelelahan akibat perjalanan yang panjang dan sulit, para peserta tetap khidmat dan semangat mengikuti upacara bendera tersebut hingga selesai. Setelah selesai upacara bendera, para pendaki disuguhi berbagai permainan menarik dari panitia untuk memperebutkan hadiah dari Cozmeed yang merupakan sponsor utama dari acara ini.
Ratusan peserta yang terdiri dari pecinta alam, pramuka, dan komunitas relawan dari berbagai daerah di Pulau Jawa ini rela berkorban menembus pekatnya kabut, dinginnya udara, dan terpaan angin kencang. Semua demi menunjukkan rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa Indonesia.
Acara kemudian diakhiri dengan membersihkan sampah-sampah sepanjang perjalanan dari Tlogo Kuning sampai Posko Induk Cemoro Kandang. Sebagai pendaki gunung seharusnya turut bertanggung jawab menjaga kebersihan lingkungan. Karena kalau tidak dijaga dan dirawat, bukan tidak mungkin generasi penerus Indonesia tidak bisa menikmati keindahan alamnya lagi.
Detik Travel
[gallery ids="335,336,337,345,344,343,342,341,340,339,338,346,347"]
1.000 Bendera Merah Putih Berkibar di Puncak Gunung Lawu
Pagi itu, Minggu (20/10/2013) ketika saya “nyetreet” di sekitar Jl. Kranggan bersama temen-temen di komunitas fotografi online terbesar di Asia Tenggara, saya dihampiri oleh seorang tua berkumis dan berjanggut putih dan mengenakan helm yang sudah lusuh. Awalnya kami semua sedang sibuk dengan objeknya masing-masing, lalu orang tua itu lewat dengan motor tuanya dan berhenti tepat di depan saya. Dia berdiri lalu bertanya kepada saya ?
Bapak tua : Mas, ini dari mana ? ISI ?
Saya : Oh bukan pak, ini cuma dari komunitas foto, bukan dari media. (Saya berpikir kalo bicara dari media pasti orang tersebut akan mempermasalahkan).
Bapak tua : Oh gitu, bagus-bagus…saya seneng anak muda jaman sekarang banyak yang menyukai fotografi.
Saya : Nggih pak, jaman sekarang sudah berubah, teknologi cepet berkembang pesat.
Bapak tua : Dulu kakek buyut saya juga fotografer, beliau sangat terkenal sekali.
Saya : Oh gitu tho…tahun berapa pak ? (saya berpikir, bapak ini aja udah tua gimana kakek buyutnya)
Bapak tua : Wah…sudah lama sekali, sekitar tahun 1800an. Namanya…KASSIAN CEPHAS.
Mendengar nama Kassian Cephas langsung saja saya kaget, ternyata bapak tua yang bernama Suyono (63th), tersebut adalah cicit dari fotografer legendaris Kassian Cephas. Awalnya saya kurang percaya, tapi setelah itu dia banyak bercerita tentang kehidupan Mbah Cephas (begitu ia memanggilnya) semasa bekerja di Keraton Yogyakarta. Temen-temen satu rombongan yang tadinya sibuk mencari objek foto tiba-tiba ikut berkumpul dengan saya dan serius mendengarkan bapak Suyono bercerita dengan semangat tentang Kassian Cephas.
Waktu perjumpaan kami dengan beliau tidaklah lama, karena ia juga harus pergi untuk menjemput seseorang. Pada akhir perjumpaan ia selalu mengingatkan kami semua untuk tetap semangat berkarya dan mendoakan kami agar sukses dan bisa meneruskan “perjuangan” dari kakek buyut beliau.
*Setelah diamati dengan seksama dengan foto yang ada di internet, ternyata Bapak Suyono memiliki kemiripan dengan Kassian Cephas, terutama kumis dan janggut putihnya yang khas.
Bertemu "Reinkarnasi" Kassian Cephas
Krungkut |
Sepatu karet |
Pencari Lobster Pulau Timang
Petualang Super Tidak Merokok !
Pasar ini buka hanya pada hari Minggu pagi pukul 06.00 sampai 12.00. Para pengunjung biasanya adalah orang-orang yang sedang jogging di tempat ini, namun banyak juga orang yang sengaja datang untuk belanja di tempat ini.
Barang-barang yang dijual di sini sangat unik dan banyak ragamnya, mulai dari kuliner, produk fashion, souvenir, hewan piaraan, karya seni, dan lain-lain. Selain merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli, Sunmor juga banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk mengamen, menjual karya seninya, ataupun mempromosikan acaranya.
[gallery ids="282,283,284,285,286,287,288,289,290,291,292,293,294,295"]
The Uniqueness of SunMor
Goodbye Mbak SSW, thanks for our memories. I hope you can realize your dream come true...
"Happy Ied Mubarak 1434 H"
$^@#:{<\|+_)*%$?>.<;:
Bulan ramadan adalah bulan dimana sebagian besar para pendaki muslim meliburkan diri dari segala aktifitas pendakian gunung. Tapi di bulan ini bukan berarti sama sekali tidak boleh naik gunung, karena agama tidak pernah melarang orang yang sedang berpuasa untuk mendaki gunung. Justru di bulan inilah waktu yang tepat untuk menguji diri kita dari berbagai tantangan kehidupan, bukan hanya sekedar fisik dan mental, melainkan iman dan juga ketakwaan.
TIPS NAIK GUNUNG SAAT BERPUASA
Gunung Nglanggeran adalah gunung api purba, yang berbentuk bongkahan batu raksasa yang telah berumur puluhan juta tahun yang konon (jangan dibalik :p) merupakan berasal dari letusan Gunung Merapi.
Untuk akses mencapai gunung ini bisa ditempuh sekitar 1 jam dari kota Yogyakarta menuju Jl. Wonosari, lalu dari pertigaan Polsek Patuk berbelok ke kiri mengikuti petunjuk jalan yang ada (jalur alternatif).
Dengan membayar tiket masuk + parkir sebesar Rp 7.000, kita bisa langsung naik ke atas. Jalur menuju puncak gunung tidaklah sulit seperti gunung-gunung besar lainnya, karena waktu tempuh yang pendek sekitar 30 – 45 menit dari pintu masuk.
Perjalanan dimulai dengan melewati anak tangga yang berbatu dan menanjak. Sore itu sempat turun hujan yang memaksa kami untuk berteduh. Beruntung di sepanjang jalan terdapat beberapa shelter yang bisa digunakan untuk berteduh ketika hujan. Selain itu ada banyak papan penunjuk arah, jadi tidak perlu khawatir akan tersesat jika mengikuti petunjuk dengan benar.
Beberapa puluh meter dari pintu masuk kita akan melewati lorong sempit yang diapit oleh dua buah batu besar, dan di atasnya terdapat sebongkah batu yang terjepit. Hal ini mirip sekali dengan film 127 Hours. Sayang sekali waktu itu langit sedang mendung dan juga udah mulai gelap, jadi nggak memungkinkan untuk mendapatkan foto bagus :(.
Sesampainya di puncak, semua rasa lelah akan terbayar dengan pemandangan indah gemerlap lampu Kota Yogyakarta yang mulai menyala dan diselingi kabut di sekeliling gunung. Selain itu juga sayup-sayup terdengar lantunan adzan Magrib berkumandang dari desa terdekat yang menandakan bahwa saatnya berbuka puasa.
Sebuah pengalaman yang mengesankan dan menjadi sensasi tersendiri bisa berbuka puasa di atas gunung sambil menyaksikan matahari terbenam, walaupun saat itu matahari nggak nampak dengan sempurna. Mungkin lain waktu gw bakal eksplor tempat ini lagi…
*Versi DetikTravel nya...
[gallery ids="251,252,253,254,255,256,257,258,259,260,261"]
Ini Baru Beda, Buka Puasa di Atas Gunung Api Purba
Untuk menuju ke Goa Pindul dibutuhkan waktu sekitar 1 jam dari Yogyakarta dengan melewati Jl. Wonosari. Pas baru nyampe pertengahan jalan, kita terjebak macet. Ternyata di sepanjang jalan itu lagi ada karnaval budaya untuk menyambut bulan ramadhan. Awalnya sih gw biasa aja, soalnya event begini emang sering di Jogja, tapi setelah itu tangan gw gatel banget pengen motret. Ya udah seketika aja posisi kemudi motor pindah ke tangan Dean, dan gw langsung turun sekaligus nyomot kamera dari dalem tas sambil berkelit menerobos kemacetan, sat..set…sat…set, pokoknya mirip Kevin Carter gitu :p Di sini waktu gw terbatas banget dan gak bisa eksplor lebih banyak, apalagi harus pake metode EDFAT, soalnya emang lagi buru-buru.
Dan sesaat mata gw tertuju sama seorang pria berbadan besar yang lagi asiknya makan lampu neon. Entah orang itu lagi kesurupan atau mabok yang jelas gw sulit ngebedainnya. Menurut gw orang ini mengerikan banget, soalnya gw dari dulu gak pernah takut sama orang manapun selama dia masih makan nasi, nah ini makannya lampu neon, gimana gak serem coba ! Dan yang anehnya lagi, gw mendapati sesosok wanita, emm….lebih tepatnya seorang pakdhe-pakdhe yang berpakaian adat wanita. Entah apa korelasinya waria dengan acara karnaval budaya menyambut bulan ramadhan, gw juga masih bingung, tapi ya begitulah Indonesia… :( dimaklumkan saja.
***
Di sepanjang jalan setelah melewati Bukit Bintang banyak orang yang menawarkan jasa untuk mengantar sampai Goa Pindul, mereka itu berasal dari EO atau penyedia layanan Cave Tubing di Goa Pindul. Bagi yang belum tau jalan menuju ke sana boleh memakai jasa mereka yang konon tanpa dipungut biaya alias gratis. Akses menuju Desa Bejiharjo tempat Goa Pindul berada sangat mudah, tapi karena kurangnya sign system banyak juga yang bingung. Tapi gak perlu khawatir, dari perempatan lampu merah setelah masuk Kota Wonosari langsung aja belok ke kiri, ikuti jalan utama tersebut, ada beberapa petunjuk jalan walaupun kurang jelas. Kalau nyasar tinggal pake GPS cangkem aja :p
Di Desa Bejiharjo ini ada terdapat beberapa EO yang menyediakan layanan Cave Tubing, tapi yang resmi dari Dinas Pariwisata dan terkenal adalah Dewa Bejo, soalnya ada Pak Tukijo nya, sang superhero :p. Dewa Bejo ini basecampnya di ujung jalan dekat pintu masuk. Harga tiket untuk Goa Pindul Rp 30.000, udah termasuk life jacket, ban, pemandu, kamar mandi, dan asuransi. Selain Goa Pindul, di desa ini juga terdapat objek wisata lain seperti Goa Gelatik, Goa Sriti, dan juga Sungai Oya, dan tarifnya pun berbeda.
Untuk masuk ke Goa, sebaiknya tas, ponsel, dompet, dan lain-lain dititipkan terlebih dahulu. Tapi tenang, tempat penitipannya aman kok. Untuk yang bawa kamera DSLR bisa, soalnya aliran airnya tenang banget, gak ada jeramnya, tapi jangan lupa dibungkus plastik untuk menghindari tetesan air dari atas dan juga percikan air, dan fotografernya jangan ikutan nyemplung, tetep stay di atas ban.
Waktu pengarungan goa sekitar 45 menit, nanti menjelang pintu keluar kita bisa memotret Ray of Light dari atas, tapi sayang banget, waktu itu kita dateng kesorean, udah gitu langitnya pas mendung, jadinya shutter speed dikamera jadi rendah dan gak dapet deh cahaya dari surganya :( Oh ya, dari titik sini kita diberi kesempatan untuk berenang, bisa juga lompat dari atas batuan di pinggir. Kalo kata Jebraw mah pecaahh abiss :p Tapi sayang banget, waktunya dibatasin soalnya ditungguin sama pemandunya, jadinya kurang puas untuk eksplor sendiri kayak di film-film petualangan gitu. Tapi gapapa, yang penting udah pernah ngerasain serunya di Goa Pindul, mungkin suatu saat bakal ke sini lagi dengan ditemani oleh wanita2 cantik :p Yang jelas, eksplorasi Gunung Kidul masih berlanjut, hahaha…aaaoouuu
[gallery ids="207,204,208,209,212,214,215,219,220,221,222,223,224,225,218"]
Seru-seruan di Goa Pindul
Di barikade menuju loket tampak beberapa orang berseragam hitam dan berbadan cukup besar yang langsung mengidentifikasi isi dari tas slempang yang saya bawa. Dan benar, ketika baru mau masuk ke Ticket Box, saya langsung diperingatkan security nya bahwa tidak boleh membawa kamera dan alat perekam profesional lainnya. Setelah saya tanya alasan pelarangan ini, si security itu hanya memberikan alasan klise “Maaf, saya hanya menjalankan peraturan”. Lantas saja kuurungkan niat untuk beli tiket seharga Rp 25.000 ini.
Di pintu loket tersebut memang terlihat jelas adanya banner yang menerangkan bahwa dilarang membawa kamera, bahkan untuk kamera pocket sekalipun. Saya bingung, baru kali ini nonton konser outdoor di Indonesia dilarang untuk membawa kamera. Padahal, setiap pengunjung/penonton pasti ingin punya kenang-kenangan di salah satu event terbesar di Indonesia ini, yaitu mengabadikan moment lewat foto.
Dari situ saya mulai mikir bagaimana caranya masuk dengan membawa kamera. Gak lama kemudian, di depan loket ada juga beberapa calon penonton yang bernasib sama dengan saya, yaitu membawa kamera, dan parahnya lagi mereka udah datang jauh-jauh dari luar kota seperti Tegal, Magelang, Semarang, dan juga Solo. Dan gak mungkin kan mereka harus balik lagi ke kota masing-masing untuk naruh kameranya. Mereka semua pada kecewa, soalnya udah dateng jauh-jauh dan terlanjur beli tiketnya.
Menurut informasi yang mereka dapetin dari panitia, yang boleh bawa kamera ke dalam hanya orang-orang yang telah terdaftar dan juga peserta lomba foto. Tapi entah kenapa kamera HP dan komputer tablet gak dilarang di sini, padahal kan sekarang resolusinya juga semakin besar, malahan hampir menyaingi DSLR. Dan anehnya lagi, salah seorang teman saya yang bawa kamera Lomo yang media penyimpanannya berupa film juga dilarang masuk.
Jujur, kami semua merasa kecewa sekali, karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan mengenai peraturan yang satu ini, dan informasi tentang acaranya juga sangat minim, tidak adanya website resmi yang memberitahukan tentang jadwal acara, peraturan, dan lain-lain layaknya event besar lainnya. Seharusnya jika membuat peraturan seperti ini, harus disertai alasan yang jelas dan masuk akal, serta pihak panitia harus menyediakan tempat penitipan kamera yang aman dan nyaman, agar pengunjung yang sudah jauh-jauh datang ke venue tidak batal menonton.
Beruntung, sore itu ada rombongan temen saya dari komunitas foto di Solo yang juga memiliki masalah yang sama, dan setelah berkordinasi dengan beberapa pihak panitia, akhirnya dari komunitas tersebut diperbolehkan membawa kamera ke dalam, dan saya pun bergabung dengan mereka, dan bisa memotret di dalam, walaupun sudah melewatkan band-band keren yang udah tampil :(
Kamera Dilarang "Konser" !
Etika yang Diabaikan
Banyak dari para pehobi fotografi tersebut berbondong-bondong mempelajari berbagai teknik fotografi dan juga hunting ke berbagai tempat dengan menghasilkan karya foto yang bagus-bagus. Tidak salah memang, namun yang menjadi masalah adalah soal etika para “fotografer” tersebut dalam memotret. Banyak orang yang menghalalkan berbagai cara agar bisa mendapatkan foto yang menurut mereka bagus, seperti dengan mencari komposisi dan angle yang ekstrim tanpa mengindahkan keadaan di sekitarnya.
Suatu contoh adalah ketika perayaan Melasti di Pantai Parangkusumo dalam rangkaian Perayaan Hari Raya Nyepi 2013.
[gallery ids="162,173"]
Deskripsi
Seorang pemuka agama Hindu yang mengenakan pakaian serba putih sedang bersembahyang melakukan ritual menghadap ke arah pantai. Di sekelilingnya terdapat kumpulan fotografer yang memotretnya dari dekat, dengan angle frontal dari depan. Para fotografer itu tampak tidak peduli dengan situasinya, mereka semua serius mengabadikan frame demi frame untuk mendapatkan hasil dengan angle dan komposisi yang terbaik. Dan sang pemuka agama tersebut juga tetap khidmat seperti tidak menganggap bahwa ada orang-orang di sekitarnya, dan mungkin saja dalam hatinya merasa terganggu atas kehadiran fotografer-fotografer tersebut.
Analisis Formal
Foto ini diambil saat siang hari menggunakan lensa focal length 18 mm dan posisinya berada di belakang pemuka agama yang sedang sendirian tersebut sehingga tidak mengganggu jalannya ritual. Sedangkan para fotografer yang mengerubung dan tepat berada di depannya, secara visual saja sangat mengganggu orang yang sedang beribadah. Ditambah pula kedatangan warga sekitar yang melihat aneh terhadap orang yang sedang beribadah tersebut.
Interpretasi
Saat ini banyak fotografer-fotografer di Indonesia yang sangat arogan, tidak mengerti etika yang harus dilakukan ketika memotret acara ritual keagamaan. Padahal ada batasan-batasan tertentu dimana fotografer harus bisa menempatkan diri di tempat yang layak, sehingga tidak mengganggu jalannya ritual. Jika ingin mengambil gambar orang yang sedang beribadah sebaiknya menggunakan lensa tele, jangan menggunakan flash secara frontal dan jangan berada di depannya, karena seolah-olah orang tersebut sedang menyembah para fotografer.
Evaluasi
Dalam foto ini menunjukkan masih banyak para fotografer-fotografer yang tidak memiliki etika. Mereka rela melakukan banyak cara untuk mendapatkan hasil yang terbaik, dan sedekat mungkin dengan objek. Kalau dicermati dengan seksama, mereka adalah orang yang berusia muda dan haus akan jam terbang. Dan rata-rata mereka berasal dari klub/komunitas fotografi. Ironis sekali memang. Ilmu yang didapat ketika mengenyam pendidikan di kampus dan juga klub fotonya masing-masing tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan hanya cuma menjadi pelengkap saja di buku catatannya. Fotografi bukanlah sekedar teknis semata, melainkan seni bagaimana kita dapat menghormati keberadaan subjek yang menjadi bidikannya.
Kesimpulan
Fotografi adalah soal bagaimana kita “berkomunikasi” dengan subjek yang difotonya dan mampu menempatkan diri pada situasi tersebut sebaik mungkin. Untuk mendapatkan foto dengan angle dan komposisi yang bagus memang butuh perjuangan yang berat. Tapi bukan berarti harus mengabaikan etika yang ada, sehingga merugikan orang lain. Sebagai fotografer kita dituntut harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat memotret, dan sebisa mungkin menjadi “Invisible Man”, agar keberadaan kita tidak mengganggu orang yang sedang beribadah. Karena hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Robert Capa pernah berkata, “If your photo aren’t good enough, you’re not close enough”. Quote tersebut jangan diartikan secara mentah-mentah, dengan memotret sedekat mungkin maka hasil foto akan menjadi bagus. Tapi maknailah dengan “sedekat” bagaimana dengan subjek yang akan kita foto, dan bagaimana kita bisa menempatkan diri pada situasi tertentu. Yaitu berpikir dahulu sebelum mengeksekusi.
Bukan berarti orang-orang yang menenteng kamera DSLR dapat bebas hilir mudik ke sana kemari dan memotret seenaknya, karena semua itu tentu ada batasannya. Para penggiat fotografi Indonesia seharusnya bisa lebih dewasa dalam menyikapi hal ini, karena bangsa Indonesia yang konon menganut adab ketimuran tentunya lebih tahu tentang sopan santun dan juga rasa toleransi antar umat manusia.
Yogyakarta, 17 Juni 2013
Renky Spheriks
Ketika "Fotografer" Mengabaikan Etika Dalam Memotret
Pepatah itulah yang selalu saya pegang ketika menjejakkan kaki di setiap tempat atau daerah lain yang saya kunjungi, di tempat yang mungkin asing bagi saya. Pepatah tersebut memiliki makna untuk menghormati atau menghargai adat istiadat setempat, selama tidak bertentangan dengan agama/kepercayaan yang saya yakini.
Kaki adalah alat gerak, tempat bertumpunya tubuh dan merupakan simbol dari kekokohan. Dengan kaki, kita bisa berjalan ke berbagai tempat, memindahkan tubuh ini ke tempat yang satu dengan yang lainnya. Beruntunglah kita jika masih memiliki kaki yang dapat menginjak puncaknya gunung, menerabas pekatnya rimba, menyusuri jalan setapak, merasakan panasnya aspal, meniti seutas tali, mengayuh tanjakan curam, menyelam hingga ke dasar, menumpu celah di tebing...
*Ini adalah sebagian kecil dokumentasi perjalanan saya ke beberapa tempat di Indonesia dalam kurun waktu 2010-2013.
Mari Hidup Sehat !
[gallery ids="138,134,133,132,128,126,140,141,142,144,146,147,150,149,151,153,154,186,187,188,189,227,228,229,230,231,232,233,234,235,236,237,238,239,240,241,242"]
"Pijakan"
Hari Rabu tgl 19, malem harinya selepas Isya, kita motret buah di studio kampus, trus pagi dini hari sekitar jam 03.00 langsung berangkat ke atas, ke Kaliadem, kaki Gunung Merapi buat motret open flash motor gw dengan background Merapi pas sunrise. Waktu udah terang kita sempetin untuk foto-foto dan eksplor ke beberapa tempat di sana. Setelah itu kita pisah, gw balik ke Bantul, sementara mereka ke Solo dan mampir dulu ke Klaten untuk sarapan.
Beberapa hari kemudian si Ican nelpon kalo dia lagi dirawat di Klaten gara-gara kena demam berdarah, dan gw jadi heran, padahal selama ini gw tidur di kost gak kenapa2 tuh...(apa mungkin karena udah lama di Banten :p). Tahun ini cuacanya emang aneh banget, soalnya udah bulan Juni tapi masih sering hujan, ini disebabkan karena perubahan tekanan udara di laut sehingga terjadinya anomali cuaca. Perubahan cuaca tersebut juga bisa berdampak datangnya wabah penyakit, dan buat yang kondisi tubuhnya lagi gak fit ini jadi sasaran empuk buat bibit penyakit masuk ke tubuh kita, nah salah satu korbannya itu si Ican. Dari sinilah rencana kita untuk #Jarang-jarang Men jadi tertunda :(
Dari situ gw memutuskan untuk nengokin dia di RSCH Klaten.
[gallery type="slideshow" ids="110,107,101,102,103,104,106,108,109"]
Abis nengokin dia trus poto-poto, akhirnya gw balik ke Jogja, pas lewat alun-alun Klaten eh ketemu sama Burgerkill lagi "ngamen" di pinggir jalan, ya udah deh nonton dulu :p
Nengokin Ican
Seketika mata kami tertuju pada puluhan perempuan yang baru bangun tidur di emperan toko-toko sebelah timur Pasar Beringharjo. Mereka hanya beralaskan tikar seadanya dan diselimuti kain-kain yang terlihat lusuh. Beberapa diantaranya menggunakan payung untuk melindungi kepalanya agar tidak kehujanan ketika tertidur. Sekilas mereka tampak seperti gelandangan. Tapi ternyata mereka adalah buruh gendong di Pasar Beringharjo. Karena jarak rumah dengan pasar yang cukup jauh dan faktor ongkos kendaraan umum yang cukup mahal, memaksanya untuk menginap di tempat tersebut dan telah menjadi rutinitas sehari-hari.
Di pagi itu, mereka mulai melakukan aktifitasnya, menawarkan jasa untuk membawa barang para pedagang dengan cara digendong di belakang. Maka dari itu mereka biasa disebut “buruh gendong”. Beragam barang yang biasa mereka angkut yaitu sayuran, buah-buahan, beras, tepung, telur, makanan & minuman kemasan. Berat barang yang digendong pun beragam, mulai dari 5kg sampai 45kg. Tidak ada tarif tetap yang mereka berikan kepada para pengguna jasa mereka. Sekali angkut upah yang didapat bervariatif, mulai dari Rp 2.000 – Rp 5.000. Berat beban dan jaraknya pun tidak ada ketentuannya. Yang terpenting para pengguna jasa memberikannya dengan ikhlas.
Dalam sehari, pendapatan masing-masing orang berbeda, kadang ada yang dapat Rp 40.000, bahkan ada yang hanya mendapat Rp 15.000. Yanti (53th) contohnya, dalam sehari kadang ia mendapat Rp 30.000, tapi itu belum dikurangi dengan ongkos untuk pulang-pergi ke rumahnya di Kulon Progo, sebesar Rp 15.000. Praktis ia hanya mendapatkan penghasilan bersih sebesar Rp 15.000 untuk makan keluarganya. Pada pukul 14.00, biasanya mereka pulang ke rumahnya masing-masing, lalu saat sore hari mereka kembali lagi ke pasar, dan pada pukul 21.00 mereka tidur di emperan toko sambil menunggu pasarnya buka.
Rata-rata usia mereka diatas 40 tahun, dan yang paling tua berusia 80 tahun. Tidak ada larangan batasan usia pada pekerjaan ini, karena tidak memerlukan pengetahuan atau keterampilan khusus. Yang penting fisik dan semangat yang kuat.
Jeratan ekonomi yang sulit membuat mereka rela melakukan pekerjaan yang terbilang “kasar” bagi kaum wanita ini, bahkan ada yang bertahan lebih dari 40 tahun menekuni pekerjaan ini. Di usia yang tidak bisa dibilang muda lagi, mereka masih tetap semangat memanggul beban yang ada di pundaknya, walaupun terkadang mereka terengah-engah ketika melewati tangga pasar.
Rasa cinta yang sangat besar terhadap pasar ini, melupakan resiko dan keuntungan dari pekerjaannya. Kebersamaan dan obrolan-obrolan seputar pasar dijadikan pemicu semangat dalam bekerja para wanita-wanita perkasa di Pasar Beringharjo.
[gallery type="slideshow" ids="83,79,78,77,76,75,74,73,72,71"]