Kegalauan hati memang sudah biasa terjadi pada insan petualang, namun hal tersebut ternyata memiliki resiko yang cukup besar. Jika ketika mendaki gunung tapi hati sedang galau, maka akan mempengaruhi kondisi psikologis pendaki tersebut, sehingga konsentrasi dan tingkat kewaspadaan akan berkurang, dan bisa mengakibatkan kecelakaan.

Contohnya saja sekitar tahun 2009, ada seorang anak SMP Magetan, dia hilang di gunung Lawu. Setelah 24 jam akhirnya anak tersebut ditemukan dalam kondisi selamat oleh tim SAR. Menurut penuturan para rekan-rekannya, anak tersebut ternyata naksir seorang cewek yang ada di rombongannya, namun cewek tersebut malah dekat ke cowok lain. Walhasil anak tersebut menjadi cemburu, hatinya galau, gundah gulana, dan tak tahu harus ke mana, sehingga dirinya terpisah dari rombongannya.

Anak tersebut ditemukan di jalur air, setelah dievakuasi, dia kemudian menceritakan kronologisnya. Ketika dia terpisah dengan rombongan, dia merasa dapat bisikan gaib, sehingga harus menuju ke suatu tempat, dan tiba-tiba ia terperosok masuk ke dalam jurang yang dalamnya sekitar 25 meter. Beruntung anak tersebut hanya mengalami lecet-lecet.

Contoh kedua lokasinya masih di gunung Lawu. Pada tahun 2011, gunung Lawu dihebohkan oleh sesosok mayat yang tergantung di pohon. Ternyata mayat tersebut adalah mayat pendaki yang hilang selama 11 hari. Menurut penuturan rekan-rekan, korban mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di gunung karena putus cinta.

Kejadian terakhir saat saya baru saja turun dan sampai di posko induk Cemoro Kandang 17 Agustus 2015, mendapatkan kabar bahwa ada seorang pendaki wanita yang kakinya sakit di Pos 1 Cemoro Sewu, sehingga dia gak bisa turun.

Waktu itu menunjukkan pukul 20.00 WIB. Langsung saja 3 rekan saya menerobos pekatnya malam, dan melawan udara dingin Lawu. Mereka menjemput dan mengevakuasi pasien tersebut ke TKP.

Saat akan dievakuasi, wanita itu menolak dan tidak mau turun, dengan alasan sedang "PATAH HATI". Hanya berbekal plastik kresek, dia menyelimuti tubuhnya dari udara dingin.
 

Yap, semua itu karena masalah CINTA !  

Cinta itu memang menyenangkan, tapi kadang juga menyakitkan. Jika kalian tidak kuat merasakan sakitnya, ya jangan jatuh cinta, meskipun cinta itu proses alamiah. Kita sebagai petualang harus bisa menanggung resikonya. Karena cinta itu ibarat naik gunung, ada senengnya, ada capeknya, dan ada sakitnya. Kalau gak mau nerima resiko itu ya gak usah naik gunung, ke pantai aja biar bisa santai, atau nggak tidur di rumah.

Naik gunung itu cukup bawa beban di punggung saja, jangan beban di hati ataupun pikiran. Karena salah satu tujuan orang naik gunung itu kan melepaskan semua beban di hati, mencari kebebasan dan kedamaian di atas awan. Cobalah berpikir dengan logis, dan pikirkan dampak buruknya terhadap semuanya. Jangan biarkan hatimu galau soal cinta. Jomblo itu bukan kutukan, tapi pilihan :)

Jadi jangan merasa rendah diri menjadi seorang pendaki yang jomblo. Karena saat ini banyak sekali wanita-wanita cantik atau cowok-cowok ganteng yang suka naik gunung. Sering-seringlah naik gunung dan berdoa di atas, siapa tahu Tuhan bakal ngasih jodoh yang terbaik buatmu, syukur-syukur kalo orang itu adalah pendaki gunung juga. 

Berbahagialah kamu yang punya pacar yang juga pendaki gunung ^_^!



Malam hari biasanya digunakan untuk istirahat, namun banyak juga para pendaki yang memilih malam hari untuk melakukan pendakian ke gunung, salah satu alasannya adalah udaranya tidak panas. Selain itu salah satu gunung di Indonesia, yaitu Semeru memiliki aturan harus turun dari puncak pukul 10.00 pagi, karena dikhawatirkan angin akan berubah arah membawa gas beracun. Jadi mau tidak mau para pendaki harus mendaki ke puncak saat malam hari. Namun begitu, ada resiko-resiko yang harus dihadapi ketika mendaki di malam hari seperti :

1. Dingin
Saat malam hari tentunya udara lebih dingin daripada siang hari. Hal ini berpotensi besar akan terkena hipotermia, terutama jika cuaca sedang buruk.

2. Mengantuk
Manusia diciptakan sebagai makhluk diurnal, yaitu beraktifitas di siang hari, dan ketika malam hari otak otomatis akan merespon tubuh yang telah lelah, sehingga akan terasa mengantuk, karena pada malam hari inilah waktu yang tepat untuk beristirahat.

3. Disorientasi medan
Ketika malam hari, cahaya matahari telah bersembunyi di balik cakrawala sehingga semuanya akan gelap. Di kegelapan itulah mata kita sulit untuk melihat di kejauhan untuk melakukan navigasi, meskipun ada senter sebagai penerangan, hal itu belumlah cukup, karena cahayanya tidak mencakup semuanya. Banyak para pendaki yang tersesat di malam hari karena disorientasi medan, bahkan banyak pula yang mengalami kecelakaan seperti masuk ke dalam jurang karena mata tidak bisa melihat dengan jelas.

4. Gangguan satwa liar
Jika “beruntung” sobat petualang sekalian akan bertemu dengan satwa-satwa nocturnal atau yang aktif di malam hari seperti burung hantu, musang, tarsius, hingga macan tutul

5. Sulit memotret
Bagi yang memiliki hobi fotografi tentunya akan kecewa, karena akan kesulitan memotret. Sebab fotografi sangat membutuhkan cahaya, meskipun ada lampu flash dan senter, itu tidaklah cukup, karena tidak bisa menjangkau bentang alam yang sangat luas, belum lagi kesulitan untuk autofocus dan mau tidak mau harus menggunakan long exposure untuk mendapatkan foto pemandangan di malam hari.

6. Halusinasi
Ketika berjalan di malam hari tubuh juga akan lelah, di saat lelah itulah biasanya otak manusia akan “membuat” imajinasinya sendiri, sehingga mata akan merasa melihat objek-objek yang tidak masuk akal ketika berada di atas gunung, dan hal itu akan mempengaruhi psikologis pendaki itu sendiri.

Meskipun begitu itu adalah pilihan masing-masing mau mendaki saat siang atau malam hari, namun yang jelas para pendaki harus bisa mengantisipasi segala resiko yang ada saat mendaki di malam hari.