Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat memang tak pernah berhenti memancarkan pesona keindahannya, tak hanya di Asia tapi juga ke seluruh penjuru dunia. Pada penghujung tahun 2017 silam, saya akhirnya bisa mewujudkan untuk menapaki puncaknya. Rinjani adalah salah satu gunung yang saya idamkan untuk didaki semenjak SMA tahun 2003. Ini berkat dukungan dari Compass Petualang bisa terwujud.

Mungkin saya bisa dibilang beruntung karena merasakan ke Rinjani sebelum gempa Lombok yang menghancurkan dan mengubah sebagian besar jalurnya. 
 
*****

Pagi itu para porter atau pengangkut barang sudah siap dengan barang tamunya masing-masing. Untuk mendaki Rinjani memang tidak mewajibkan menggunakan porter, tapi sangat dianjurkan, karena untuk meringankan beban barang bawaan pribadi, juga sebagai penunjuk jalan. Jadi selama perjalanan, porter akan mendampingi dan memantau para tamunya serta memasak perbekalan saat tiba di tempat camp.
 
Awalnya saya ingin mendaki lintas Senaru lalu turun Sembalun. Tapi berdasarkan pendaki yang baru turun, ternyata ada beberapa jalur yang longsor dan tertutup. Jadi pengelola basecamp menyarankan untuk naik melalui Sembalun. Akhirnya pagi itu kami naik mobil lagi menuju Sembalun.

Berbeda dengan jalur Senaru yang memiliki medan hutan yang lebat, di jalur Sembalun, sejauh mata memandang kita akan disuguhi sabana yang sangat luas sekali seperti di New Zealand. Hadirnya sapi-sapi khas Bali yang berkeliaran mencari rumput juga menambah keunikan sendiri bila melewati jalur ini. 
Sabana Sembalun

Perjalanan dari desa terakhir menuju tempat bermalam di Pos 3 ditempuh selama sekitar 4 jam. Di sini kita bisa beristirahat memulihkan tenaga untuk menghadapi jalur yang semakin menanjak keesokan harinya. Setidaknya, masih tersisa 2 pos lagi yang akan dilewati sepanjang jalur Sembalun. Di setiap posnya memiliki shelter yang bisa digunakan untuk berteduh. Tapi jangan sampai mendirikan tenda di dalam shelter yah, karena akan mengganggu pendaki lain yang juga ingin berteduh.
Pos 1 Sembalun

Pos 2 Sembalun

Selepas Pos 3, kita akan menghadapi 7 Bukit Penyesalan yang sangat panjang dan diakhiri di Plawangan Sembalun yang berupa punggungan panjang tempat camp terakhir sebelum puncak. Dari sini kita bisa melihat indahnya Danau Segara Anak dan juga jalur menuju puncak yang sangat terjal.
 
Pos 3 Sembalun

Bukit Penyesalan

Mendaki di musim hujan memang penuh resiko. Pakaian yang basah terkena air hujan bisa menyebabkan suhu tubuh turun secara drastis. Maka dari itu, jika sudah sampai campsite harus segera mengganti pakaian dengan yang kering dan tetap mengenakan jaket untuk melindungi dari terpaan angin. 

 
SUMMIT ATTACK
 
Summit Attack adalah istilah yang biasa digunakan pendaki untuk melakukan pendakian ke puncak, biasanya dilakukan tengah malam, karena agar bisa menyaksikan matahari terbit dari puncak.

Malam itu adalah malam pergantian tahun ke 2018. Tidak ada keriuhan seperti di kota. Semua pendaki yang datang sangat menghargai ketenangan, karena itulah yang dicari saat mendaki gunung, sehingga tidak mengganggu satwa di sekitar.

Waktu menunjukkan pukul 01.30 WITA. Saya dan tim sudah siap untuk Summit Attack menuju titik 3726 mdpl. Tak lupa kami melakukan pemanasan terlebih dahulu agar tidak kram dan mengecek perbekalan untuk mengantisipasi hal terburuk. Karena menurut penuturan pendaki yang baru turun, tiga hari yang lalu di puncak mengalami badai, sehingga banyak yang gagal sampai puncak. Semoga cuaca malam ini lebih bersahabat.

Saat Summit Attack, semua barang bawaan ditinggal di Plawangan Sembalun agar lebih ringan saat mendaki. Untungnya saat itu kami membawa porter, jadi merekalah yang menjaga barang-barang yang berada di tenda. Perlengkapan yang dibawa saat ke puncak hanya tas kecil yang berisi air minum, makanan ringan, jas hujan, obat-obatan, senter, dan kamera.
 
Plawangan Sembalun

Perjalanan dari Plawangan Sembalun ke puncak Rinjani membutuhkan waktu sekitar 4-5 jam. Saat berada di punggungan yang menanjak, angin berhembus dengan kencang dari sebelah kiri, maka dari itu kita harus agak menunduk dan condong ke depan agar tidak terbawa dan terhempas ke jurang yang menganga di kedua sisi. 

Penggunaan trekking pole sangat berperan sekali di medan yang berbatu kerikil ini agar bisa menopang tubuh. Malam itu kabut tebal datang silih berganti yang menyebabkan pandangan sangat terbatas. Ketika berada di ketinggian dengan oksigen yang tipis, saya harus tetap tenang dan menjaga jarak dengan rekan lainnya agar tidak jauh.

Sempat juga isi perut ini bergejolak. Tapi untungnya angin di dalam perut bisa keluar dengan tenang melalui mulut. Menurut saya, hal itu adalah salah satu kenikmatan saat mendaki gunung, karena itu artinya kita sehat bisa melepaskan beban dalam tubuh.

Kaki yang sudah lelah ini mencoba terus melangkah, tak lama kemudian sang fajar pun menampakkan sinarnya di balik awan. Ini adalah cahaya matahari pertama yang saya lihat di tahun 2018. Kehangatannya membuat saya terharu, semakin banyak bersyukur bisa mencapai puncak Rinjani dan berharap bisa menapakinya kembali.

Kami cukup beruntung bisa mendapatkan cuaca yang cerah pada pagi ini. Tak ada kabut maupun hujan yang menghambat. Oh iya, di puncak ini ada plang tulisan yang biasa digunakan untuk berfoto. Sebelum pendakian, kami sengaja bawa plang tulisan sendiri yang terbuat dari seng seperti plat nomor kendaraan. Selain untuk kenang-kenangan, ternyata bawa plang sendiri cukup efektif, karena gak perlu ngantri untuk gantian foto. Malahan ada beberapa bule yang meminjam plang tersebut untuk berfoto. 

Perjalanan ke Segara Anak
 
Matahari pagi itu sudah mulai meninggi yang menandakan bahwa kita harus segera turun ke Plawangan lagi. Perjalanan di Rinjani tak hanya sampai puncaknya, tapi kita juga akan menuju ke Danau Segara Anak untuk bermalam lagi. Sebenernya waktu tempuh dari Plawangan Sembalun menuju Segara Anak bisa dicapai sekitar 3 jam, namun waktu itu kami membawa rombongan. Bagi saya, bisa dibilang  inilah fase perjalanan terberat dan melelahkan karena malamnya sudah diforsir untuk ke puncak, lalu siangnya masih harus turun menuju Segara Anak.


Saat itu pundak sudah semakin sakit menahan beban, tapi perjalanan tak kunjung sampai. Medan yang dilewati berupa lereng curam dengan medan yang berbatu, selain itu juga melewati punggungan yang relatif landai. Meskipun terlihat mudah, ternyata tempat tujuan tak kunjung sampai. Terasa sangat jauh.

Barulah pada pukul 18.30 kita semua sudah sampai camp area di Segara Anak. Pak Doni sang porter senior telah duluan sampai dan menyiapkan tenda serta makan malamnya. Kami yang sudah lelah ini malas untuk beraktivitas. Tak lama kemudian salah seorang porter yang masih muda menyarankan untuk berendam di air panas.

Untuk menuju ke sana, kami melewati sungai kecil lalu turun melalui lereng. Sebelum berendam, coba cek terlebih dahulu menggunakan kaki, jadi bisa memperkirakan suhunya, karena ada beberapa yang sangat panas. Karena kalau dipaksa langsung nyemplung, burungnya bisa bengkak bahkan melepuh :p

Suasana malam itu terasa hening, yang ada hanya suara gemericik aliran air panas. Semua sedang fokus berendam di air hangat. Benar-benar meredakan nyeri dan melancarkan peredaran darah. Sangat disarankan mandi di sini supaya tidurnya nyenyak.

Danau Segara Anak

2 Januari 2018

Pagi itu terasa spesial sekali, ketika membuka tenda langsung terhampar pemandangan indah. Danau Segara Anak yang terkenal itu sekarang berada di depan mata. Bukan lagi dilihat hanya melalui TV maupun internet. Kesempurnaan ditambah dengan sarapan yang telah disajikan para porter. Inilah keuntungannya pakai jasa porter, selain mengangkut barang, mereka juga mendirikan tenda dan menyiapkan makanan. Jadi terima beres aja. Oh iya, bagi yang suka memancing, di sini adalah tempat yang pas. Kita bisa mendapatkan ikan karper, nila, atau mujaer. Meskipun air danau ini mengandung belerang, tapi ikan-ikan itu bisa beradaptasi dan hidup di sana. Konon, dahulu bibit ikan-ikan ini ditebar oleh Ibu Tien Soeharto dan masyarakat sekitar.

Kembali ke Titik Awal

Sebenarnya tak cukup waktu 1 hari untuk menikmati suasana di danau Segara Anak. Keindahannya terus terngiang hingga sampai rumah. Bagaimana tidak, kita bisa melihat keunikan gunung berapi yang berada di tengah danau, dan danau tersebut berada di sebuah gunung yang besar. Jadi, ada gunung di dalam gunung, ibarat bakso beranak gitu lahh.

Setelah packing, perjalanan dimulai pukul 08.30. Bahan makanan dan gas Hi cook otomatis sudah banyak yang kosong dan sangat mengurangi beban kita. Itu terbukti pada pukul 13.00 kita sudah sampai di Plawangan Sembalun, padahal jalurnya menanjak.

Dari Plawangan Sembalun, kami berjalan dengan ritme yang lebih cepat untuk mengejar waktu, karena targetnya sampai basecamp sebelum gelap. Namun, sayangnya saat di pos 2 ada anggota yang kakinya terkilir, jadi istirahat cukup lama. Barulah pada pukul 21.15 semuanya telah sampai Desa Sembalun.