“Bro, lo kenapa milih gunung daripada pantai ?” tanya Densu pada saya.

“Soalnya, di pantai panas, takut item (lebih item), mendingan gunung adem, hahaha” jawab saya realistis.

“Sebenernya, gw lebih cenderung ke pantai daripada gunung, soalnya gunung capek banget, pengen yang santai-santai aja. Ehh, apa karena gw kalah ganteng ya dari Nicholas Saputra, makanya disuruhnya ke Tim Gunung ? hahahaaa” timpal Densu.

Faktor udara yang sejuk dan ketenangan di atas sana adalah salah dua alasan saya memilih gunung ketimbang eksplorasi di pantai. Terlebih lagi saya udah 2 tahun lebih gak menginjakkan kaki di gunung pasca menikah. Semua difokuskan ke keluarga terlebih dahulu. Sebenernya pengen banget naik gunung bareng anak dan istri, cuma berhubung Saga masih 8 bulan. Sangat beresiko untuk diajak naik gunung, lagipula sepertinya belum ada tas carrier yang pas untuk gendong bayi seukuran Saga.

Puncak Gunung Batur

Gunung Batur adalah gunung di Bali pertama yang saya daki, dari dulu pengen banget meskipun bukan jadi gunung prioritas untuk didaki. Alhamdulillah kali ini kesampaian mendaki bersama Denny Sumargo dan tim Mitsubishi.

Tujuan utama dari pendakian ini adalah melihat sunrise dari puncaknya. Jadi pukul 02.00 sudah harus berangkat dari hotel menuju basecamp di kaki gunungnya. Malam itu kami menuju basecamp menaiki Xpander Cross melewati jalur yang meliuk-liuk. Di basecampnya ini kita bisa memesan mie instan untuk sekadar mengisi perut sebelum pendakian. Bagi yang ingin berurusan dengan kamar kecil harap menyiapkan uang lebih banyak, karena tarifnya Rp 5.000 sekali pakai.

Untungnya udara di sini tidak terlalu dingin, mungkin sekitar 24 derajat. Jadi saya gak perlu memakai jaket karena nanti saat jalan bakal kepanasan. Sekitar pukul 03.30, anggota tim sudah siap dan membawa senternya masing-masing. 

Gunung Batur merupakan gunung yang ramah bagi para pendaki, kalau di Jawa tingkat kesulitannya mirip Gn. Andong. Jalurnya cukup lebar seperti di Ijen dan sangat jelas meskipun ada percabangan. Ada beberapa jalur pendakian. Namun kami mendaki dari bawah melewati rumah-rumah warga, ladang, dan juga Pura.

Sebenarnya si Densu bawa sepatu trekking untuk mendaki, cuma dia pikir-pikir lagi dengan jalurnya yang mudah, cukup pakai sepatu Vans aja, soalnya sepatu TNF nya takut kotor. Yaelah…

Waktu tempuh normal untuk sampai puncak adalah 2 jam. Dalam tim pendakian ini tidak semuanya memiliki background pendaki gunung, jadi ritme langkahnya agak lama. Saat sampai di Pos 1 yang ada warungnya, kami terpecah jadi 2 tim karena yang sebagian gak sanggup untuk melanjutkan perjalanan. 

Densu pun mempertanyakan kesanggupan kami, kalo saya sih jelas masih sanggup. Sempat juga ada opsi dari videografernya untuk pindah destinasi yang lebih gampang untuk liat sunrise, tapi saya langsung menolaknya karena udah sampai sini, nanggung banget. Akhirnya diputuskan yang masih kuat, lanjut sampai atas.

Dalam perjalanan ke atas, terdengar deru motor trail yang semakin mendekat dari kegelapan. Sudah kuduga, jalur ini pasti sering dilewati motor, soalnya terdapat cekungan bekas hempasan bannya. Inilah hal yang paling menyebalkan ketika mendaki gunung, udah capek-capek jalan nanjak, ehh ada motor lewat.



Naik motor ke gunung batur
Pos batas sepeda motor.

Untuk menumpang sepeda motor sampai atas dikenakan tarif sekitar Rp 350.000 bagi bule, mungkin bagi WNI Rp 150.000. Tarif itu untuk naiknya saja, kalo turun ada biaya tambahan namun lebih murah.

Semburat cahaya jingga perlahan mulai menampakkan kilaunya sebelum Pos 2 yang merupakan area terbuka. Di sini kita bisa melihat indahnya Danau Batur dan Gunung Abang di seberangnya. Jika mata jeli, terlihat juga siluet Gunung Agung yang seolah olah mengintip di balik Gn. Abang. Begitu pula Gunung Rinjani dari kejauhan.


Danau Batur dan Gunung Abang
Danau Batur dan Gunung Abang.

Di pos inilah tim memutuskan untuk menyudahi pendakiannya karena sesuai targetnya melihat sunrise meskipun tidak sampai puncak. Kondisi fisik anggota yang lain juga tidak memungkinkan untuk ke puncak karena kalau dipaksakan nanti kesiangan.

Karena sudah kepalang tanggung sampai sini, saya pun bertekad untuk melanjutkan perjalanan sampai puncak. Meskipun ini baru pertama kali mendaki Gn. Batur, saya sudah memperkirakan estimasi waktu tempuh sampai puncak jika saya yang mendaki sendirian. Akhirnya anggota tim yang lain setuju dan menyuruh salah satu guidenya menemani saya ke puncak.

Trek bebatuan gunung batur

“Madeee…” panggil saya pada guidenya.

Seketika aja beberapa orang di sana menoleh.

Saya itu bingung kalau kenalan sama orang Bali. Yang ini Made yang itu Made, yang ini Wayan dan yang itu juga Wayan. Jadi kalau mau manggil nama orangnya di tempat umum, mendingan dibisikin aja biar yang lain pada nggak nengok. Lha…lu kate Limbad pake bisik-bisik.

Made yang menemani saya ke puncak masih berusia 19 tahun, tapi dia udah nikah dan mau punya anak lho…hebat kali. Saya mikir sebentar, kalo usianya 19 tahun berarti dia lahir tahun 2001 dong. Hihihi…berasa kayak bayar gorengan :p

Berhubung yang naik kita berdua, jadi waktu tempuhnya lebih cepat karena mudah menyesuaikan ritmenya dan bisa diprediksi jam berapa sampai bawah lagi. 

Semakin ke atas, pohon semakin jarang, yang ada hanya semak-semak dan rerumputan. Sampai ketika kita akan menjumpai pos terakhir sebelum sampai puncak. Di sinilah batas motor bisa naik, karena setelahnya akan melewati jalur bebatuan yang cukup terjal.

Jalur Punggungan Gunung Batur

Sesampainya di puncak, jalur berubah jadi sempit karena berupa punggungan dan bibir kawah. Seminggu yang lalu ada seorang pendaki yang tewas karena tertidur dan jatuh ke dalam kawah. Jadi jangan sampai lengah gara-gara terlena akan pemandangan yang indah.


Warung di Puncak Gunung Batur

Di puncak Gunung Batur terdapat beberapa bangunan non permanen yang bisa digunakan untuk berteduh. Berbeda dengan Gn. Andong, Gunung Batur nggak ada yang camping di puncaknya, entah gak boleh atau apa. Yang jelas di sini pada tektok semua untuk melihat sunrise dan langsung turun lagi pagi itu juga. Selain itu juga area yang sempit menyulitkan untuk mendirikan tenda.

Suasana di Puncak Gunung Batur

Saya pikir hari ini akan sangat sepi dari pendaki, ternyata di atas sudah cukup banyak pendaki yang didominasi oleh turis asing. Saya yang berada di sini malah terasa seperti di negara orang. Namun untuk kebersihannya ini layak dapat acungan jempol, karena gak sekotor gunung-gunung populer lainnya.

Oh iya, hati-hati juga bila membawa makanan. Di sini kawanan monyetnya cukup agresif kalo denger kresek-kresek bungkus makanan. Bahkan sang rajanya bisa lari kencang dari jarak yang cukup jauh untuk merebut makanan. Beberapa kali saya dibuat kaget dan latah karena tiba-tiba mereka ada di samping berusaha membuka tas.

Macaca Fasciscularis

“Monyet lu pada” maki saya pada kawanan mereka.

Untung aja mereka gak jawab,

“Emang iya, pweeekkk :p"

Saya baru tau kalo Gunung Batur memiliki kaldera yang sangat luas seperti Bromo. Ternyata perbukitan yang saya lewati saat menaiki mobil adalah bagian dari kalderanya. Bila memantau dari puncak ke arah barat daya, kita bisa melihat bekas lelehan lava yang berwarna hitam dan membatu. Area tersebut mirip sekali dengan Anak Gunung Krakatau yang memuntahkan material dan membentuk lahan baru. Di sebelah tenggaranya terdapat Danau Batur. Danau itu terbentuk akibat letusan Gunung Batur. Kebayang ya gimana dahsyatnya saat itu hingga kini terbentuk kaldera dan danau yang cukup luas.


Kawah Gunung Batur
Sauna di Gunung Batur
Siapa yang bakar sampah di sini ya ?

Hal unik lainnya yaitu adanya uap panas yang keluar dari dinding kawah. Dari kejauhan saya melihat orang-orang bule itu takjub pada asap yang keluar dari dalam tanah, mereka pun foto-foto di dalam cerukannya. Dalam hati saya berkata, 

"Dasar ndeso".

Gak lama kemudian saya pun ikutan foto di dalam cerukannya itu, dan ternyata anget, hahahaaa....

Menurut orang sekitar, agar asapnya bertambah tebal caranya adalah "dipancing" menggunakan rokok atau dupa yang menyala dan ditiup ke dalam lubangnya. Ternyata cukup efektif juga sih. 

Pemandangan Kaldera Gunung Batur

Gunung Batur sendiri adalah gunung berapi yang memiliki ketinggian 1717 mdpl. Area punggungannya bisa dibilang berbentuk bulan sabit karena terputus pada bagian lain akibat letusan. Sayangnya karena keterbatasan waktu, saya gak sempat ekplorasi semuanya, jadi pagi itu saya harus turun dan bergabung dengan anggota tim lainnya.

Di tengah perjalanan turun, saya kebelet pengen pipis. Saya pun menanyakan hal itu pada Made, takutnya ada larangan untuk pipis di sini. Setelah mendapatkan tempat yang aman, saya pipis di semak-semak sambil clingak-clinguk takut ada monyet yang narik dikira itu pisang.

Akhirnya tepat sesuai perkiraan, pada pukul 07.30 saya sampai di pos 2 dan bergabung dengan yang lainnya. Destinasi selanjutnya adalah berendam air hangat di Toya Devasyya, wuaahh...pas banget ini abis pegel turun gunung langsung berendam.

Dalam bahasa Banten dan Sunda, "Batur" artinya teman atau sahabat. Sedangkan dalam bahasa Jawa artinya pembantu. Entahlah jika dalam bahasa Bali artinya apa, mungkin sama juga dengan teman (saya belum nemu artinya). Namun jika dikorelasikan dengan perjalanan ini, menurut saya Gunung Batur adalah gunung yang bersahabat sekali untuk pemula dan sangat membantu jika ingin belajar di alam. Jadi sangat direkomendasikan untuk mendaki gunung ini, tentunya dengan persiapan yang baik yaa.


Mitsubishi Xpander Cross

Akhirnya kesampaian juga mendaki salah satu gunung di Bali, jadi nambah deh ceklist gunung-gunung di Indonesia. Terima kasih Mitsubishi yang telah mendukung penuh pendakian ini dan menjadi bagian #TimGunung.

#XpandYourAdventure


Rafting atau biasa disebut arung jeram (bukan arum jeram lho ya…) adalah olahraga arus deras yang merupakan salah satu aktivitas berbahaya. Ada sensasi kenikmatan tersendiri saat mengarungi jeram di sungai. Ibarat naik wahana di Dufan tapi gak ada jaminan 100% untuk bisa selamat. Hihihi…Meskipun begitu, tentunya ada teknik dan peralatan khusus untuk mengurangi resiko tersebut.

Terakhir kali saya rafting adalah tahun 2018 sama temen-temen kantor di sungai Citarik Sukabumi. Kali ini saya mendapat kesempatan rafting di Bali, tepatnya di Sungai Ayung Ubud. Untuk operatornya kami menggunakan Ayung Dewata Rafting. Dari reviewnya sih cukup bagus sekali dan sebagian besar tamunya adalah turis asing. Maka tak heran kalo harganya terbilang cukup mahal bagi saya.

Jet istriku bersikeras pengen ikutan rafting, nah kalo dia ikut nanti siapa yang jaga Saga. Walhasil setelah Saga tertidur, kami minta tolong salah satu panitianya untuk jagain di mobil. Setelah yakin, akhirnya kami tinggal ke sungai. Ketentuannya, peserta yang ikut minimal berusia 6 tahun. Tak harus bisa berenang, yang penting sehat jasmani dan rohani.

Untuk menuju sungai, dari basecamp Ayung Dewata ditempuh sekitar 15 menit naik mobil bak terbuka. Setelah sampai, kita masih harus melewati pematang sawah yang hijau dan turun tebing melewati tangga berbatu di dalam hutan. 



Jalur Sungai Ayung Bali
Melewati hutan dengan jalur menurun.

Ini tipsnya, jadi sebelum melewati sawah, alangkah lebih baik pemanasan terlebih dahulu. Pemanasan yang bener supaya kakinya gak kaget. Soalnya saya sendiri betis kanannya langsung lemes saat menuruni tangga yang sangat panjang itu. Padahal itu belum mulai mengarungi sungai lho.

Di titik awal start terdapat shelter untuk memompa perahu karet. Awalnya saya sempat ragu karena ini sedang musim hujan, takutnya kejadian seperti yang dialami anak-anak Pramuka di Sleman beberapa waktu lalu. Terlebih lagi airnya berwarna coklat dan biasanya ini membawa endapan material dari hulu.

Jalur RaftingSungai Ayung
Pengarungan dimulai dari sini.

Dari seberang sungai saya memperhatikan, ternyata ada indikator kedalaman air. Saat itu permukaannya menyentuh warna hijau yang artinya sungai aman diarungi. Sedangkan jika warna merah berarti debit air sedang tinggi dan sangat berbahaya. Ketika mulai mengarungi sungai pun begitu, beberapa kali dayung saya menyentuh dasarnya yang berupa pasir. Ini berarti sungainya dangkal, dan ternyata kata pemandunya memang demikian, tapi ada di beberapa titik yang kedalamannya mencapai 3 meter.

Sungai Ayung adalah sungai terpanjang di Bali, yang panjangnya mencapai 68,5km. Arusnya mengalir dari Gunung Agung hingga bermuara di Selat Badung di Sanur. Secara rintangan, jeramnya masuk kategori Grade II-III jadi sangat aman buat pemula, tentunya harus didampingi skipper professional dan melihat kondisi alamnya.

Tak jauh dari tempat start, kita akan melewati bebatuan yang terdapat pahatan cerita Ramayana di dinding sungai sebelah kiri. Sayangnya hal yang bagus itu tidak sempat saya foto.



Rafting Sungai Ayung


Di aktivitas rafting ini, selain menguras tenaga juga menguras suara. Pasti setiap melewati jeram, para rafter akan teriak meluapkan emosinya.

“Mana inihh Tim Pantai ? Gak ada kabarnya. Seruan kita dong Tim Gunung Rafting di sini” canda Densu pada yang lainnya.

Jadi tim petualangan bersama Mitsubishi dibagi menjadi beberapa tim, yaitu Kota, Rally, Pantai, dan Gunung. Untuk Tim Pantai didampingi Nicholas Saputra, sedangkan Tim Gunung oleh Densu, dan kebetulan saya berada di Tim Gunung.

Gak salah emang si Densu berada di Tim Gunung. Ternyata orangnya emang gokil, suka teriak-teriak kayak di MTMA, dan pastinya emang iseng. Hal itu terlihat dari beberapa kali dia berusaha mendorong Kenny supaya jatuh dari perahu.

Air Terjung Sungai Ayung
Air terjun kecil sungai Ayung

Memang benar ya, keseruan itu kita yang bikin. Sepanjang perjalanan mengarungi sungai, gak ada habisnya keseruan yang dibuat, apalagi saat melewati jeram dan beberapa air terjun kecil. Ternyata, salah satu daya tariknya arung jeram di Sungai Ayung adanya air terjun. Di sini kita bisa berhenti sejenak untuk menikmati jatuhnya air dari atas. Lumayan punggungnya kayak dipijet. Selain itu, kontur tebing di kanan kiri yang indah dan adanya burung-burung terbang di permukaan menjadi hiburan tambahan. Beda banget ya kondisinya di beberapa sungai di Jawa Tengah yang biasa dijadikan lokasi arung jeram. Di sana kita akan melihat warga nongkrong di pinggir sambil mengeluarkan sesuatu dari pantatnya :D

Rest Area Sungai Ayung

Waktu pengarungan sungai sekitar 2,5 jam, dan kami mengambil jalur yang 12 km. Sekali lagi kita berhenti sejenak di rest area untuk istirahat sambal meminum kelapa muda. Di sini terdapat warung kecil yang menyediakan berbagai minuman.

Dalam arung jeram, kita harus lebih fokus melihat potensi bahaya di depan. Dengarkan perintah skipper, apakah dayung atau berhenti. Kalaupun dayung, gerakannya harus kompak menyesuaikan posisi yang paling depan agar tidak bentrok dayungnya. Begitu juga saat perahu nyangkut di batuan, kita harus siap-siap pindah posisi untuk menggoyang-goyangkan perahu. 




Ayung Dewata Bali

Salah satu yang spesial dari sungai Ayung adalah adanya perosotan menjelang garis finish. Perosotan ini memang buatan dan digunakan untuk kepentingan saluran Daerah Aliran Sungai. Sebelum melewatinya, skipper atau pemandunya akan menyuruh kita untuk mendayung dan mengarahkannya ke sebelah kiri, jalur yang lebih sempit. Sebabnya di sebelah kanan terlalu berbahaya dan sangat curam, kalau lewat situ pasti perahunya terbalik, jadi sangat beresiko bawa wisatawan.

Tak lama dari perosotan tersebut akhirnya sampai juga di garis finish. Ternyata tantangan terakhir ada di sini, yaitu kita masih harus menaiki anak tangga yang terjal dan panjang lagi untuk bisa sampai mobil penjemputan. Di sini betis dan paha akan lebih “terasa” kencang dari biasanya. Oh iya, selama melewati area ini gak boleh berisik, karena merupakan area penginapan dan ada puranya.

Dari lokasi penjemputan menuju basecamp Ayung Dewata ditempuh sekitar 10 menit. Sesampainya lokasi, Jet langsung mencari Saga karena khawatir. Tepat dugaan saya, Saga udah bangun dan nangis sesenggukkan, soalnya dia mulai takut sama orang asing yang belum dikenalnya. Untung aja di Ayung Dewata ini dia digendong oleh ibu pegawainya. Saya pun jadi gak enak, gara-gara bajunya si ibu jadi kotor kena liurnya Saga.

Selepas pengarungan, di sini disediakan teh dan kopi hangat. Bagi yang ingin bilas, disediakan handuk hangat, dan ternyata wangi lhoo…baru dibuka dari laundry-nya. Di tempat bilasnya sendiri sudah tersedia sabun dan shampo cair, dan asiknya lagi di sini bisa pakai air hangat. Lumayan bisa mengendurkan urat yang tegang tadi.

Menjelang garis finish tadi, ada tim yang mendokumentasikan. Kita bisa milih untuk dicetak atau soft file nya aja, tapi dengan biaya tambahan di luar paket yang ada. Selama di sini pelayanannya bagus banget, orangnya ramah dan fasilitasnya pun memadai, sesuailah dengan budget yang di keluarkan.

Tips bermain arung jeram :

  1. Bawalah pakaian ganti, dan gunakanlah pakaian yang nyaman, tidak longgar. Jangan mengenakan pakaian berbahan jeans, soalnya bisa lecet nganunya.
  2. Sebelum melakukan pengarungan, wajib melakukan pemanasan dan berdoa terlebih dahulu.
  3. Dengarkanlah instruksi dari skipper atau pemandunya.
  4. Jika terjatuh dari perahu, jangan panik. Segera posisikan badan lurus mengikuti arus sungai. Usahakan tetap memegang dayung untuk membantu menarik atau melakukan tolakan pada batu. 
  5. Kalau bisa, gunakanlah sandal gunung, atau sandal yang gak mudah lepas kalau hanyut.
  6. Jika membawa kamera, pastikan tahan air dan memiliki tali pengaman supaya saat tercebur bisa tetap terikat pada tangan. Jika membawa dompet atau ponsel, masukkanlah ke dalam dry bag.
  7. Boleh teriak saat melewati jeram, namun jaga perkataannya.

Banyak cara umat manusia mengungkapkan rasa cintanya pada sesuatu. Kalau di India, Kaisar Shah Jahan rela membangun Taj Mahal yang berupa makam megah sebagai tanda kasih pada istrinya yaitu Mumtaz Mahal. Sedangkan di Indonesia ada Suciati Saliman yang membangun masjid megah karena rasa cintanya pada Masjid Nabawi di Arab Saudi.
 
Siang itu saya dan keluarga mampir ke Masjid Suciati untuk menunaikan ibadah sholat Duhur. Ketika baru menjejakkan kakinya ke lantai, saya merasa kagum akan kemegahan masjid yang memiliki 4 lantai ini.

Ternyata tidaklah mudah bagi Suciati yang seorang janda untuk membangun masjid sebesar itu di Sleman, Yogyakarta. Butuh puluhan tahun mengembangkan usahanya agar bisa membangun masjid. Semua itu bisa terlaksana berkat doa dan kerja kerasnya selama ini.

Bila diukur luas tanahnya, Masjid Suciati tidaklah begitu luas karena posisinya berada di pojokan jalan yang kecil. Namun bila dilihat secara arsitektur, masjid tersebut sangat megah sekali. Dari kejauhan bisa terlihat lima menara yang tinggi dengan kubahnya yang khas.

Berdasarkan rasa kagum pada tanah suci ketika umroh, Suciati menyisipkan desain seperti di Masjid Nabawi dan juga menggabungkan unsur kebudayaan Jawa pada bangunannya. Jika diperhatikan, selera ibu Suciati ini sangat tinggi, hal itu terlihat dari pemilihan material yang tepat berupa batu marmer untuk dinding dan lantainya.


Penggunaan batu marmer ini mengingatkan saya kembali pada Taj Mahal. Terlihat jelas sekali, jika menggunakan marmer memberi kesan mewah dan elegan. Itulah salah satu alasan kenapa Taj Mahal jadi destinasi utama saat ke India dan juga dijadikan sebagai salah satu keajaiban dunia. Marmer yang digunakan pun bukan sembarangan, tapi marmer putih berkualitas tinggi. Begitu juga dengan Masjid Suciati. Saya pun penasaran mencari tahu tentang asal usul marmer yang ada di Masjid Suciati tersebut.



Taj Mahal India. Source : Wikipedia


Ruang Serba Guna Masjid Suciati

Setelah ditelusuri, ternyata Masjid Suciati mendapatkan marmernya dari PT. Fajar Gelora Inti atau biasa disebut Fagetti. Di dunia arsitektur, Fagetti memang sudah dikenal sebagai supplier marmer dengan jenis dan motif unik yang terlengkap di Indonesia. Kiprah mereka tak perlu diragukan lagi karena telah mengikuti berbagai pameran di dalam maupun luar negeri, serta menjadi supplier marmer di berbagai bangunan mewah Indonesia.

Jadi wajar saja berbagai hotel bintang 5, apartemen, rumah, gedung perkantoran, tempat ibadah, dan juga pusat perbelanjaan di Indonesia sebagian besar menggunakan material marmer dari Fagetti.

Tiap sudutnya tak luput dengan marmer.
Berbagai batuan alam tersedia di sini dengan stok melimpah. Source fagetti.com

Tak hanya marmer, berbagai macam batu alam bisa kita dapatkan di sini seperti granit, travertine, limestone (gamping), basalt, onyx, dan sebagainya. Dari berbagai varian pilihan itu juga kita masih bisa memilih berbagai macam jenis motifnya, dan itu pastinya disesuaikan dengan konsep bangunannya.


Dengan teknologi yang sangat canggih, Fagetti memproduksi batu alam pilihan berkualitas premium. Setiap karya yang dibuat melalui proses yang panjang dan melalui sentuhan nan artistik.

Tempat wudhu full marmer
Setelah sholat Duhur, tak lupa kami eksplorasi masjid tersebut dan tak henti-hentinya kagum atas material bangunan tersebut. Bagaimana tidak, pada tiap lantai dindingnya juga dilapisi batu marmer dan tiang penyangganya pun demikian. Bagi saya yang seorang fotografer, hal ini jadi sesuatu yang unik dan menyenangkan karena bisa membuat foto refleksi dengan baik.

Di negara Indonesia yang beriklim tropis, penggunaan material marmer sangat cocok sekali, karena dapat memberikan efek sejuk bagi yang berada di dalamnya. Selain itu berbagai motif pilihan yang artistik akan membuat bingung untuk memilihnya, karena Fagetti memiliki lebih dari 900 jenis batu alam dan stoknya selalu tersedia. Kalau saya berprofesi sebagai arsitek atau developernya sih bakal merekomendasikan Fagetti untuk keperluan batu alam dan gak perlu diragukan lagi.


Setelah berkeliling masjid, Saga anakku yang masih berusia 8 bulan enggan untuk diajak pulang. Dia malah betah untuk main di lantai ruangan khusus anak-anak. Beberapa kali dia melihat ke bawah dan tersenyum seolah-olah sedang bercermin. Maklum, lantai marmer kan refleksinya sangat bagus sekali, apalagi kalau terkena cahaya.
Siang itu setelah ibadah dan eksplorasi masjid, istri saya nyeletuk,

“Kapan dong lantai sama dinding di rumah pake marmer kayak gitu ?

“Nanti deh, kapan-kapan aku desainin makam pake material marmer spesial buat kamu” jawabku.

“Hehh…dasarr yaaa….!”




Ini dia instagramnya



Fagetti Building Gallery

Jl. Mangga Dua Raya - Harco Mangga Dua,
Blok F No. 2-4, Jakarta 10730
021 - 6121132
info@fagetti.com



#Fagetti #MarmerFagetti #FagettiWorld #MarmerTerbaik


Sehari sebelum keberangkatan, Mbak Ade dari Mitsubishi mengabarkan bahwa penerbangan dimajukan dari yang 08.05 jadi 07.05. Itu artinya saya harus bangun jam 3 pagi dan berangkat paling lambat jam 4.30 supaya gak telat ke bandara. Untungnya saat itu saya bisa langsung bangun tanpa harus tidur lagi.

Suasana pagi di Bandara Soekarno-Hatta tampak sepi sekali, ini dikarenakan adanya ancaman virus corona yang sedang mewabah. Mulai dari petugas, dan para calon penumpang pun sebagian besar mengenakan masker untuk mencegah tertularnya virus, bahkan tak jarang ada yang mengenakan sarung tangan latex juga.

Memang perlu pertimbangan yang matang untuk bertualang di Bali, terlebih lagi saya di sini turut serta membawa istri dan anak yang masih 8 bulan. Tentunya ada ketakutan pada kami, namun ada beberapa alasan untuk mengantisipasi hal tersebut.

Sesampainya di Bali, kami disambut tim Mitsubishi. Empat mobil Xpander Cross disiapkan untuk menjadi tunggangan kami dan lainnya selama di Bali. Saat memasuki mobilnya saya merasa nyaman sekali, tempat duduk yang lega dan bagasi yang lebar sangat cocok sebagai mobil keluarga.

Setelah makan siang di Bebek Tepi Sawah, perjalanan dilanjutkan menuju sungai Ayung untuk rafting. Ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di Bali, pada saat yang pertama, saya gak bisa ke mana-mana karena urusan pekerjaan, namun kali ini saya bakal ke mana-mana karena benar-benar liburan bersama keluarga.

Rating di Sungai Ayung

Jujur, saya sempat ragu untuk rafting, mengingat saat ini adalah musim hujan dan saya masih ada ketakutan kalau tiba-tiba debit airnya meningkat seperti kejadian yang menimpa anak Pramuka di Jogja.

Setelah melewati pematang sawah dan anak tangga nan terjal yang bikin betis lemes duluan, akhirnya sampai juga di tepi sungai. Dari pinggirnya saya memperhatikan ada indikator warna yang menyatakan ketinggian permukaan air. Di situ menunjukkan warna hijau yang artinya sungainya aman untuk diarungi. Begitu pula saat mulai mendayung, beberapa kali dayungnya menyentuh dasar sungai karena sebagian besar sungainya memang dangkal.
 
Setelah sekitar 2 jam lamanya, akhirnya sampai finish juga, namun perjuangan belum berakhir, karena kita masih nanjak untuk bisa sampai mobil jemputan. Justru di sinilah kekuatan kami diuji, betis dan paha semakin terasa lemas karena dari awal kurang pemanasan.

Sebenarnya jadwal selanjutnya adalah ke Bali Pulina, namun udah terlalu sore, akhirnya kami istirahat menuju penginapan yaitu di Sandat Glamping di daerah Ubud. Untuk menuju lokasi tersebut memang agak sulit, karena melewati jalan yang sempit diantara sawah-sawah, namun sesampainya di lokasi bikin kita tercengang.


Bangunan penginapan yang berupa tenda berbentuk lingkaran nan eksotis jadi tempat kita tidur selama di Bali. Lantainya yang berupa kayu dan di terasnya terdapat private pool langsung membuat kami terkesan, terasa seperti di Afrika karena dikelilingi hutan.

Ini sih bener-bener glamping alias glamour camping, bener-bener mewah. Saya yang biasa tidur di tenda dome saat camping jadi menganga-nganga. Karena ini bukan five star hotel lagi, tapi five billion star hotel.

Suasana di restonya pun sangat romantis karena diiringi suara serangga di hutan dan aroma obat nyamuk bakar seperti di pos ronda. Malam itu saya dan Denny Sumargo bercerita banyak mulai dari gosip yang menerpa hingga filosofi hidupnya. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WITA, saya terpaksa menyudahi obrolan karena besoknya harus bangun dini hari. Akhirnya Denny dan yang lainnya pun ikut bubar karena sadar masih ada pendakian ke Gunung Batur.

Hari ke-2

Tepat pukul 02.00 WITA saya terbangun dan bergegas untuk kumpul menuju basecamp pendakian. Di sini saya berpisah dengan Jet dan Saga karena harus mendaki dan memang sangat beresiko jika membawa bayi.

Saat matahari terbit sebagian besar rombongan yang ikut menyudahi langkahnya di pos 2, namun saya masih ingin terus melanjutkan sampai ke puncak.


Naik gunung itu capek banget. Salah satu hal yang sering saya bayangkan setelah mendaki gunung adalah berendam di air panas. Wwwuahh…itu bikin badan jadi rileks lagi karena melancarkan peredaran darah.

Untungnya, wilayah Gunung Batur ini memiliki sumber air panas alami. Tak jauh dari basecamp pendakian, kita berenang di kolam air panas Toya Devassya. Ternyata tempat ini sangat terkenal dan bisa dibilang sangat mewah. Satu hal lagi yang bagus dari tempat ini adalah pemandangannya langsung ke Danau Batur seperti infinity pool.


Setelah berenang, perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini kami menjajal jalur Black Lava menggunakan Xpander Cross. Black Lava sendiri merupakan bekas lelehan lava Gunung Batur yang membatu dan berwarna hitam. Konturnya yang tak beraturan membuat tempat ini sangat indah, cocok banget dijadiin lokasi syuting film atau video klip.


Sesuai aplikasi ya mas...

Untuk menuju lokasi ini melewati jalur tanah yang cukup sempit dan tak beraturan. Beberapa kali kita dihadapkan dengan jurang yang bisa membuat mobil terperosok. Memang, dibutuhkan mobil dengan spesifikasi yang memadai untuk melibas rintangan ini. Buktinya Mitsubishi Xpander Cross bisa menjawabnya. Kali ini saya disetiri langsung oleh Densu. Tanjakan demi tanjakan berbatu cadas dengan mudah dilewatinya tanpa mentok bagian bawahnya. Wajar aja sih, soalnya Xpander Cross ini memiliki ground clearance 225 mm, jadi sangat cocok untuk medan seperti ini.


Guncangan di bagian dalam pun bisa diredam dengan baik dan aman. Bahkan Saga yang masih berusia 8 bulan pun seneng banget dan gak nangis melewati jalur yang cukup ekstrim ini. Mungkin bagi dia kayak lagi naik wahana di Dufan deh jadi gak begitu kerasa.


***

Naik gunung udah, berendam air panas udah, kurang lengkap deh kalo tanpa dipijat. Di penginapan yang kami tempati ada fasilitas massage, di situlah badan yang pegel diservis dulu biar enakeun gak pegel-pegel lagi.

Malam harinya, kita makan di Laka Leke restoran. Di malam terakhir ini kita disuguhkan dengan Tarian Barong yang mengisahkan tentang 2 pihak yang saling adu kekuatan karena adanya godaan wanita. Salah satu yang unik dari resto ini adalah menu hariannya. Kebetulan saat itu hari Rabu, menu spesialnya adalah paketan dengan berbagai lauk. Namun setelah datang, ternyata nasi tumpeng dengan 9 macam lauknya. Duhh, ini sih porsi buat syukuran sekeluarga. Buanyaakk banget sampai pada gak habis dan langsung dibungkus.




Secara keseluruhan, semua makanan yang disajikan selama petualangan di Bali ini enak-enak, pelayanannya pun sangat bagus. Kayaknya gak cukup deh cuma 3 hari bertualang. Rasanya pengen cobain juga road trip ke Sumba atau Indonesia Timur lainnya. Soalnya saya udah merasakan sendiri bagaimana kenyamanan dan ketangguhannya Mitsubishi Xpander Cross. Memang cocok banget mobil ini dijadikan mobil favorit keluarga para petualang. Gak ragu banget Xpander Cross jadi yang terbaik di kelasnya.



Sampai jumpa di petualangan berikutnya bersama Xpander :D

Ayo Gass terusss...!!!



#XpandYourAdventure