JT : "Mas, di Bromo itu dingin banget gak sih ?"
JRW : "Ya dinginlah, namanya juga gunung".
JT : "Oh, ya wis, nanti kalo gitu aku tak nggowo kemul".
JRW : (((KEMUL)))
Karepmu dekk :p
Banyak sekali temen-temen saya yang mempertanyakan kenapa saya belum pernah ke Bromo. Mereka semua pada heran karena saya sering naik gunung tapi belum pernah ke Bromo yang terkenal sampai mancanegara itu. Begitu juga temen-temen bule sewaktu kuliah dulu. Padahal mereka baru sebentar di Indonesia udah pernah ke Bromo dan bertualang keliling Pulau Jawa hingga ke Nusa Tenggara, sementara saya masih di sini-sini aja.
Sudah lama rasanya saya memendam hasrat untuk pergi ke Bromo, mengelilingi kalderanya yang luas itu, bercengkrama dengan penduduk Tengger dan sebagainya. Saya memang sudah ke Semeru, tapi kurang lengkap rasanya jika belum pernah ke Bromo, padahal mereka itu kan satu kawasan Taman Nasional.
Semua keinginan itu akhirnya terwujud setelah saya dan Jetrani berencana pergi ke sana. Kala itu kami sedang di motor saat perjalanan pulang dari Gathering Cozmeed di Dieng. Akhirnya saya dapet temen senasib yang belum pernah ke Bromo.
Hari yang dinanti pun tiba. Kamis malam setelah pulang dari kantor saya langsung berangkat menuju Stasiun Senen untuk melaju ke Jogja. Rencana awalnya kami akan langsung berangkat saat Jumat pagi, tapi ternyata Jetrani salah menanggapi tanggal keberangkatan. Jumat itu dia masih kerja, sehingga baru bisa berangkat keesokan harinya. Walhasil rencana untuk eksplorasi Probolinggo dan mengunjungi Padepokan Dimas Kanjeng Taat Mendaki pun sirna sudah. Ya sudahlah, tidak apa-apa, yang penting bisa ke tujuan utamanya yaitu Bromo.
Pukul 07.15 kereta Sri Tanjung yang penuh kenangan itu akhirnya datang juga di stasiun Lempuyangan. Yapp…dulu di kereta inilah saya dan temen-temen menjelajah Banyuwangi dan sekitarnya, ada banyak cerita seru dan beberapa tragedi di kereta ini, tapi tidak mungkin saya ceritakan di sini soalnya kepanjangan.
Kami sampai di Stasiun Probolinggo pukul 16.33. Dari situ awalnya sempat ditawari untuk naik mobil travel, karena harganya mahal maka kami tetap pada rencana sebelumnya yaitu naik mini bus atau orang di sini menyebutnya bison. Saat di angkot, kami tidak sengaja ketemu sepasang pria dan wanita, sebut saja Dani dan Fitri, mereka dari Jogja juga, kebetulan sekali karena kita bisa patungan untuk sewa jeepnya.
Sebelum berangkat, kami sempatkan makan malam dulu. Saya memesan Soto ayam, sementara Jet memesan Pecel Lele. Saat makanannya datang, ternyata di luar ekspektasi, yaitu lele yang disajikan benar-benar sesuai harfiah nya, yaitu "pecel lele", nasi pecel dengan sayuran dan bumbu kacang ditambah ikan lele. Hal itu berbeda sekali dengan pecel lele di kebanyakan tempat yang menyajikan nasi, ikan lele, sambal dan lalapan. Lalu kami berdua terbengong-bengong keheranan seakan tidak percaya yang terjadi. Setelah itu Jet tampak kebingungan untuk makannya, karena dia kurang suka dengan bumbu kacang, tapi karena perutnya sudah bergejolak, mau tidak mau lele tersebut harus masuk ke perutnya.
Hari pun semakin malam. Awalnya kami pikir bisa langsung jalan, tapi ternyata supirnya menunggu mobilnya penuh supaya tidak rugi. Setelah menunggu lama sampai pukul 21.00, mobilnya tidak kunjung penuh, hanya ada 2 orang lagi yang datang, mereka adalah Opik dan Sayiful, dua pemuda dari Depok. Setelah bernegosiasi harga, akhirnya sang supir yang bernama Maksum memberangkatkan kami semua menuju Cemoro Lawang.
Jarak dari Probolinggo ke Cemoro Lawang sekitar 1,5 jam. Ketika turun dari mobil saya heran, karena tidak merasakan dingin seperti biasanya di gunung. Mungkin karena pengaruh musim hujan, jadi malam itu saya hanya mengenakan kaos saja.
Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB, jadi masih ada sekitar 4 jam lagi untuk berangkat ke Pananjakan 1. Kami memang tidak memesan penginapan, karena rencananya mau cari tempat nongkrong seperti warung untuk sekedar istirahat sambil menunggu jemputan Jeep. Saat sampai di depan penginapan, kok rasanya tidak enak yahh, kalau cuma numpang duduk-duduk di terasnya. Akhirnya sang pemilik Home Stay mempersilahkan kami untuk melihat kamar yang kosong. Saat itu mereka mematok harga Rp 250.000 per kamar, karena saat itu peak season. Untungnya Pak Maksum membantu menawar harganya karena kami hanya istirahat beberapa jam saja. Ya sudahlah, akhirnya pemiliknya menyetujui dengan harga Rp 200.000 untuk 4 orang, karena Dani dan Fitri menginap di tempat lain.
Pukul 03.00 tepat kami semua sudah bangun dan siap untuk melanjutkan perjalanan melihat sunrise di Pananjakan 1. Tapi sayangnya sopir Jeepnya telat, dan baru datang sekitar pukul 04.00. Saat musim liburan seperti ini memang harus lebih pagi agar tidak terjebak macet di jalan.
Langitpun mulai membiru, menandakan fajar segera datang. Tapi saat itu kami masih berada di dalam Jeep dan terjebak macet saat menuju Pananjakan 1. Di area ini memang tidak ada tempat parkirnya, sehingga mobil-mobil Jeep terpaksa parkir di pinggir jalan dan sangat menyulitkan untuk menembus ke atas. Dengan sangat terpaksa kami turun mobil lalu naik menuju sebuah bukit yang letaknya tidak jauh dipinggir jalan. Di lokasi ini sudah terdapat banyak orang yang ingin memotret. Tapi sayang, saat itu cuacanya sedang berkabut, sehingga matahari tidak mengeluarkan cahayanya dengan sempurna, belum lagi Kawah Bromo dan puncak Gunung Batok yang sama sekali tidak terlihat.
Hanya 10 menit kami berada di sini lalu turun lagi menuju Jeep. Kami sudah membayar mahal dan ngotot ingin ke Pananjakan 1, tapi kondisi tidak memungkinkan karena macet dan waktu sudah semakin siang. Sang Sopir Jeep yang datang terlambat tidak ingin disalahkan. Semua ini terjadi karena miskomunikasi antara Pak Maksum dan penyedia angkutan di sana. Jetrani yang awalnya semangat jadi sangat marah kepada sopir Jeepnya karena meminta uang tambahan jika tetap naik ke Pananjakan 1. Saya pun sangat kecewa dengan hal ini, karena sudah lama ingin memotret Bromo dari spot sejuta umat tapi sirna begitu saja. Setelah berdebat cukup sengit akhirnya saya coba meredakan suasana. Sulit diterima memang, tapi ya mau bagaimana lagi. Kami tidak mendapatkan apa-apa di sini, jauh dari ekpektasi yang dibayangkan karena keterbatasan waktu.
Dari bukit tersebut kami kembali lagi dan menuju ke lautan pasir di bawah. Sujud syukur saya lakukan ketika menginjakkan kaki di sini, di tempat yang menurut saya romantis. Semua hal yang menyebalkan tadi sirna begitu saja, meskipun masih menyisakan sedikit kekecewaan. Tidak mendapatkan foto yang sudah terkonsep dengan baik memang membuat saya kecewa, tapi sebenernya bukan itu tujuan utama saya ke sini, melainkan ada misi lain meskipun itu juga gagal :(
Di hadapan saya berdirilah Gunung Batok yang ikonik itu. Cerita legenda tentang kisah Roro Anteng dan Joko Seger selalu menyelimuti dan otomatis tervisualisasikan di dalam pikiranku. Ingin rasanya mendaki hingga ke puncaknya, namun apa daya, waktu terbatas yang diberikan sang supir Jeep menghalangi niat kami. Maka dari itu perjalanan dilanjutkan menuju Kawah Bromo.
Dari parkiran telah banyak penyedia jasa kuda hingga ke tangga kawah. Tarifnya sekitar Rp 30.000 pp. Dengan jarak yang tidak jauh maka kami memutuskan untuk jalan kaki. Saat sampai di tangga ternyata sudah banyak orang yang antri hingga ke atas sehingga jadi macet. Saya dan Jetrani mengambil jalur "tol" di luar tangga karena agar segera sampai puncak kawah. Perlu kehati-hatian bila melewati jalur ini karena medannya berupa pasir dan sangat terjal sekali, mirip di puncak Mahameru.
Tidak salah memang saya jalan-jalan dengan wanita satu ini, selain rame, fisiknya juga kuat sekali, bahkan saya sampai kewalahan menyesuaikan ritme jalan ketika menanjak. Saat sampai di puncak, Jet langsung diam beribu bahasa, tidak biasanya dia seperti itu. Ternyata dia sedang mual dan sedikit pusing, pasti ini karena tenaganya terlalu diforsir dan ritmenya terlalu cepat ketika menanjak. Setelah beberapa saat, akhirnya dia pulih kembali, alhamdulilah.
Pagi itu Kawah Bromo selalu mengeluarkan asap putihnya yang pekat. Cuaca sedang mendung disertai gerimis yang membawa abu material dari lubang kawah, mirip sekali seperti saat erupsi Merapi dan Kelud, namun intensitasnya sangat kecil. Baju, tas, dan jaket pun jadi kotor terkena abu Bromo, belum lagi mata perih dan bau belerang yang sangat pekat, hal itulah yang membuat kami harus segera turun lalu melanjutkan ke spot lain yaitu Sabana bukit Teletubbies.
Di sabana ini pemandangannya bagus sekali, banyak spot yang bisa dieksplor untuk pemotretan. Namun sayangnya, belum sempat puas eksplorasi hujan deras mendadak turun di area ini dan memaksa kami kembali ke dalam Jeep, padahal rencana selanjutnya harusnya kita menuju ke pasir berisik berbisik, namun saat itu kondisi cuaca tidak memungkinkan.
Dari segala permasalahan inilah saya dan Jet berjanji akan "balas dendam" untuk mengunjungi Bromo lagi di lain waktu, yang pastinya waktu yang tepat untuk berlibur itu adalah hari-hari biasa, bukan hari libur panjang dan bukan musim hujan. Selain itu, menggunakan sepeda motor tampaknya lebih baik daripada menggunakan Jeep, karena bisa puas bereksplorasi tanpa dibatasi waktu.
Saat sampai kembali di Cemoro Lawang kesialan saya belum hilang. Saya tidak dapet tempat duduk di mobil angkutan ke Probolinggo, walhasil selama hampir 2 jam saya harus duduk lesehan tanpa alas dan kaki terhimpit di pintu. Sontak saja orang-orang di dalam mobil yang sebagian wisatawan asing pada ngetawain semua.
Haduhhh...apes banget, udah jomblo duduk di bawah lagi T_T
Estimasi Biaya
Kereta Sri Tanjung Jogja - Probolinggo :Rp 74.000
Angkot Stasiun - Terminal : Rp 15.000
Bison Rp 75.000
Jeep kapasitas 6 orang : Rp 800.000 (4 destinasi).
Tiket Taman Nasional : Rp 32.000
Home Stay : Rp 200.000 (4 orang)
Pengalaman Pertama ke Bromo
by
Renky Sujarwo
on
Thursday, December 22, 2016
JT : "Mas, di Bromo itu dingin banget gak sih ?" JRW : "Ya dinginlah, namanya juga gunung". JT : "...