“Hidup bukan hanya cari uang, ada saatnya bersenang-senang”.
Sepenggal lirik lagu “Lagi Males Kerja” dari Endank Soekamti memang benar dan selalu terngiang di otak saya. Ada kalanya kita butuh liburan, melepas kepenatan dari rutinitas kantor yang padat dan serius. Karena liburan/piknik/plesir atau apalah semacamnya dapat menyegarkan pikiran dan mendongkrak semangat baru dalam beraktivitas.
Daaan…akhirnya hari yang diharapkan pun tiba. Di hari inilah saya dan rekan-rekan sekantor liburan bareng ke Pulau Tidung. Pulau kecil ini berada di Kepulauan Seribu dan masih termasuk wilayah DKI Jakarta. Di sinilah waktunya untuk bermain, bersenang-senang, bercanda sepuasnya, tanpa memikirkan deadline, revisi, cek warna, layout, desain, reshoot, dan sebagainya.
Sabtu pagi itu sekitar pukul 7.30 kami sudah tiba di Marina Ancol untuk menunggu kapal yang akan membawa kami ke Pulau Tidung. Untuk menuju ke Kepulauan Seribu, dari Jakarta bisa juga melalui Pelabuhan Muara Angke, namun di situ menggunakan perahu tradisional, sedangkan untuk speedboat melalui Marina. Ternyata saat sampai di Marina sudah ramai sekali, tampak seperti suasana mudik lebaran. Setelah mengantri lama, akhirnya kapal kami yang bernama “Pramuka Express” datang juga.
Kapal yang kami naiki ini sejenis kapal cepat/speedboat. Inilah kali pertama saya menaiki speedboat untuk penyeberangan ke pulau lain, karena saya biasanya menaiki kapal nelayan tradisional yang terbuat dari kayu.
Dengan menggunakan speedboat, perjalanan dari Jakarta ke Pulau Tidung ditempuh sekitar 1.5 jam, namun jika menggunakan kapal tradisional biasa bisa sampai 3.5 jam lamanya.
Setelah 1 jam perjalanan di dalam kapal, tiba-tiba perut saya kembali bergejolak, seperti ada bayi yang nendang-nendang, bukan ingin muntah, tapi hanya ingin kentut dan berharap tidak keluar ampasnya. Memang, sehari sebelumnya saya sedang M (mencret). Sudah 3 kali saya tahan kentut selama di kapal, karena kalau saya lepaskan, khawatir orang-orang memilih menyeburkan diri ke laut. Maka dari itu di saat yang ke-4 saya mengalah dan keluar menuju dek atas untuk melepaskan angan-angan bersama angin laut.
Saat pindah ke dek atas, saya ditempatkan di samping kanan pak Nahkoda. Baru sebentar saya duduk, Fadhil tiba-tiba datang menghampiri saat kapal sedang melaju. Langsung saja nahkoda yang berpenampilan seperti pensiunan tentara tersebut menyuruhnya untuk duduk kembali. Untung saja dia tidak disuruh push up. Penumpang yang berada di bagian atas memang dilarang berdiri saat kapal sedang melaju, karena dikhawatirkan akan jatuh terpental oleh guncangan dan angin.
Salah satu enaknya duduk di bagian atas kita bebas melihat pemandangan dan bebas boleh kentut. Tapi bagi yang tidak suka kepanasan dan rawan masuk angin, lebih baik duduk di bagian dalam yang lebih aman dan nyaman.
Pada pukul 10.45, kapal sudah sampai di dermaga Pulau Tidung. Untuk menuju ke Hotel Nirwana masih harus jalan kaki sekitar 15 menit. Saat baru pertama menjejakkan kaki di pulau ini saya cukup takjub, karena kondisinya seperti perkampungan di P. Jawa. Di Pulau Tidung ini meskipun kecil tapi ada sekolah, hotel, kantor polisi, puskesmas, bahkan kantor Lurah dan Camatnya pun bagus dan besar. Listrik dan sinyal telepon pun sangat lancar sekali di sini.
Nama Pulau Tidung sendiri sebenarnya diambil dari suku Tidung di Kalimantan Timur. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam Raja Pandita yang mendiami di pulau ini sejak tahun 1892.
Setelah check in di Hotel Nirwana, kami menuju dermaga menggunakan sepeda. Di pulau ini memang banyak disewakan sepeda “perempuan”, karena memiliki keranjang di depannya yang bisa digunakan untuk menaruh barang. Setelah mencari akhirnya saya mendapatkan sepeda berwarna hitam satu-satunya, yaa paling tidak itu mengurangi kesan perempuan dari sepedanya. Saat beberapa meter berjalan ada sesuatu yang mengganjal dan gak mengenakkan. Ternyata jok sepeda yang saya naiki itu besinya sedikit keluar dan menonjol, alamat ini bisa membahayakan bagi masa depan saya, apalagi kalau saat salah rotasi dan melewati polisi tidur, wahh…bisa dibayangkan deh gimana ngilunya.
Jarak dari penginapan ke dermaga jembatan cinta sekitar 3 km. Meskipun jalannya hanya tinggal lurus, tapi tetap harus berhati-hati, karena jalannya berupa gang sempit tapi ramai dengan lalu lalang kendaraan seperti sepeda dan becak motor, belum lagi anak-anak yang sering menyeberang tanpa lihat kanan kiri.
Dari dermaga perjalanan dilanjutkan menuju spot snorkeling menggunakan perahu nelayan. Di spot ini terumbu karangnya cukup bagus, aktivitas ikannya sangat banyak, dan visibility nya cukup jelas. Awalnya saya kira warga lokal hanya mendampingi saat kami snorkeling, ternyata mereka ikut turun untuk menjaga, memperingatkan bila ada yang menginjak terumbu karang, dan juga membantu memotret di bawah air. Sektor pariwisata memang sangat menghidupi bagi warga Pulau Tidung.
Aktivitas yang selanjutnya adalah ke area water sport dengan menaiki beberapa wahana. Sebenernya saya kurang suka naik banana boat dan sebagainya, tapi sepertinya ada yang cukup menantang, maka dari itu saya coba untuk naik sofa boat. Wahana ini penumpangnya hanya cukup duduk menengadah ke atas sambil pegangan di sebuah air bag berbahan PVC yang berbentuk oval, sementara itu boat yang di depan berjalan cepat dan melakukan manuver agar penumpangnya terjatuh ke dalam air. Sayang sekali saat naik sofa boat mbak Ika gak mau perahunya di-terbalikkan, padahal justru itulah sensasi yang dicari.
Saat naik wahana ini saya teringat waktu dulu sering melakukan operasi SAR air, jadi para rescuer tengkurap di pinggir perahu motor LCR yang berkecepatan tinggi dan “ngebor” membuat gelombang agar jenazah yang berada di dasar sungai bisa naik ke permukaan.
***
Gelap pun datang dan aroma ikan bakar sudah mulai menjalar. Itu tandanya saya harus segera menyingkir sementara dari penginapan :D Saya ambil sepeda entah punya siapa, lalu pergi sendiri ke arah selatan dan mampirlah di sebuah warung pinggir pantai. Setelah memesan mie instan dan teh hangat saya sempatkan untuk ngobrol dengan bapak-bapak penduduk lokal yang ramah. Tak lama kemudian mie yang saya pesan pun sudah jadi, tapi tiba-tiba saja nafsu makan saya kembali hilang. Beginilah rasanya saat sakit, makanan seenak apapun akan terasa hambar. Sama seperti cinta, jika tidak dibumbui akan terasa hambar. #eaa
Sementara itu temen-temen yang lain lagi karaoke di pendopo, saya naik ke balkon atas menikmati suasana sambil menghitung berapa jumlah pesawat yang lewat malam itu. Untuk mengisi kekosongan dan melawan panas di tubuh agar suhu kembali normal, saya memutuskan untuk bersepeda keliling pulau sendiri. Tujuannya pantai di Jembatan Cinta, namun melewati jalur yang berbeda. Di perjalanan saya melewati pemakaman, pertokoan, dan kumpulan bapak-bapak yang sedang mabok sambil dangdutan. Untung saja gak ada waria yang mangkal di sini, jadi saya bisa sampai pantai dengan aman.
Jam menunjukkan pukul 23.30, Yasin datang menjemput, dan waktunya kembali untuk tidur di penginapan karena besok harus bangun lebih pagi untuk melihat sunrise.
***
Dyaaarr....
Saya bangun tidur lihat Fadhil udah gak ada di kasurnya, sementara matahari udah sangat terang.
Syiiit....gak ada yang ngebangunin, padahal pengen motret sunrise. Ilham yang masih tertidur saya bangunkan, tapi dia gak minat untuk pergi dan memilih melanjutkan tidurnya.
Tanpa basa-basi, saya ambil peralatan dan langsung berangkat menuju Jembatan Cinta. Di parkiran saya mendapati sepeda hitam yang biasa saya pakai udah gak ada. Saya hanya berharap semoga yang memakai, “masa depannya” tidak terancam oleh kerusakan jok nya. Langsung aja saya pilih sepeda lain yang berwarna fuschia.
Kalau hunting sunrise kesiangan itu ibarat orang yang telat sahur, bawaannya pengen ngacak-ngacak tong sampah. Dengan penuh sesal saya gowes sepeda melewati gang yang sudah mulai ramai oleh aktivitas turis lain.
Akhirnya sampai juga di Jembatan Cinta, tapi memang sudah ramai, maka dari itu saya berpikir bagaimana supaya tetap dapat foto sunrise meskipun ramai, matahari sudah tinggi, dan motret pakai ponsel. Saya coba melipir ke samping menjauhi jembatan dan mencari objek lain untuk foreground, lalu saya komposisikan melawan matahari, karena hal itu lebih baik daripada melawan orang tua.
Setelah memotret saya lanjutkan perjalanan untuk mengeksplorasi Pulau Tidung kecil melewati jembatan yang panjangnya sekitar 800 meter. Menurut mitos yang beredar, konon (jangan dibalik) bagi yang meloncat dari jembatan Cinta ini akan dapat menemukan cinta sejatinya dengan cepat. Begitu juga yang loncat menggunakan kepala terlebih dahulu akan bisa cepat........................cepat mati maksudnya.
Di Pulau Tidung Kecil ini terdapat bangunan untuk kegiatan konservasi laut. Serta juga museum kerangka ikan paus. Entahlah paus jenis apa karena tidak ada penjelasannya dan saat itu sedang tidak ada petugasnya.
Saya ini orangnya sangat penasaran, ketika berkunjung ke suatu tempat ingin sekali bisa mengeksplor keseluruhan tempat itu mendapatkan informasi baru dan mempelajarinya langsung di alam. Ketika melihat dermaga di pulau ini cukup bagus saya memutuskan untuk ke sana. Di dermaga ini ada beton-beton pemecah ombak, dan tempatnya sangat artistik sekali, tapi sayang saya ke sini sendirian, tidak ada manusia lain, dan saya tidak membawa tripod, jadi tidak bisa membuat foto seperti yang saya ingin kan.
Tidak jauh dari beton pemecah ombak saya melihat sesuatu yang bulat dan berwarna coklat. Awalnya saya kira itu kelapa yang biasa digunakan untuk menyantet, tapi setelah saya dekati ternyata hanya sebuah bola berlogo contreng.
Seperti biasa, saya ingin membuat foto portrait seperti Beckham, saat mencoba menendang bola itu ternyata sendalnya malah putus. Tapi tidak terlalu masalah, lebih baik putus sendal daripada putus hubungan.
Dari dermaga perjalanan saya lanjutkan terus ke selatan sampai tiba di sebuah jalan yang telah tersusun rapi paving block berwarna merah. Sepertinya ini adalah jogging track. Sampai suatu ketika saya melihat ada semacam instalasi seperti tiang bangunan yang belum selesai dan di atasnya dipasangi ban, di bawahnya ditumbuhi ilalang. Entahlah apa itu fungsinya, yang pasti tempatnya cukup keren untuk pemotretan atau syuting ala film India. Tidak jauh dari sini ada tempat duduk yang terbuat dari beton dan ada jalur kecil setengah lingkaran yang tersusun oleh batu-batu kali. Saya bisa menebak kalau ini digunakan untuk pijat refleksi, jadi untuk melewatinya harus melepas alas kaki. Untung saja Pulau ini masih wilayah DKI Jakarta, coba kalau masuk Banten, pasti batu-batuannya sudah diganti dengan beling dan paku. Oh iya, di pulau ini juga terdapat makam Panglima Hitam, yaitu yang dipercaya sebagai orang pertama yang menginjakkan kakinya di Pulau Tidung.
Tidak terasa matahari sudah meninggi dan baru sadar kalau SAYA LUPA PAKAI SUN BLOCK !!! dan kawos lengan panjang. Maka dari itu saya buru-buru menyudahi eksplorasi pulau ini dan kembali ke penginapan, karena kalau tidak kulit saya bisa hitam.
Sesampainya di penginapan, saya melihat parkiran sepeda kosong melompong, ternyata semua pada ke Saung Cemara Kasih, siall, saya ketinggalan lagi gara-gara lupa pake sunblock, #ehh Saat sampai lokasi ternyata acara baru saja selesai, tak apalah yang penting saya jadi tahu tempat baru dan ternyata di sini lebih enak dan sepi, cocok untuk mendirikan tenda.
Siang itu kami pulang kembali menuju ke Jakarta. Kali ini saya memilih duduk di dalam kapal, karena lebih baik menahan kentut daripada kulit jadi hitam terpapar sinar matahari.
Sampai jumpa di liburan selanjutnya ^_^!
_________________________________________________________
*perjalanan ini didukung penuh oleh PT. Sophie Paris Indonesia dan Gramedia Printing.
Melepas Kepenatan Kantor di Pulau Tidung
by
Renky Sujarwo
on
Monday, May 16, 2016
“Hidup bukan hanya cari uang, ada saatnya bersenang-senang”. Sepenggal lirik lagu “Lagi Males Kerja” dari Endank Soekamti memang be...