Termakan Hoax

Dahulu waktu SMA sekitar tahun 2003, di saat belum ada smartphone secanggih saat ini, saya yang masih awam begitu dengan mudahnya termakan hoax. Semua itu berawal dari sebuah berita yang dikabarkan oleh salah seorang senior saya di organisasi. Ketika itu, dikabarkan bahwa akan ada gempa bumi yang terjadi di patahan Selat Sunda pada hari sekian tanggal sekian, dan mengakibatkan Gunung Anak Krakatau yang sudah lama tertidur akan meletus. Dari situ akan terjadi tsunami hingga ke Cilegon. Saya yang masih junior, langsung percaya saja dengan kabar tersebut, karena dia mengaku mendapatkan kabar dari rekan yang bekerja di institusi terkait serta pengalaman dia di bidang alam bebas begitu meyakinkan. Semua anggota harus mempersiapkan diri menghadapi bencana ini dengan memberi tahu keluarga terdekatnya, tapi tidak diberitahukan dulu ke orang lain.

Singkat cerita, pada hari-H yang dia “janjikan” akan terjadi gempa dan tsunami tidak kunjung datang. Sementara kami telah mempersiapkan diri untuk evakuasi ke tempat yang lebih tinggi dan membawa tas yang berisi pakaian dan perbekalan. Di hari yang sama juga kami sedang berduka karena om saya meninggal dunia dan dimakamkan hari itu juga. Rasa was-was pun menyelimuti keluarga kami tatkala saat perjalanan menggotong jenazah ke pemakaman, karena takut akan datangnya tsunami. Belum lagi bencana yang ditimbulkan akibat bocornya pabrik-pabrik kimia di Cilegon jika terjadi tsunami.

Ternyata yang ditakutkan tidak terjadi. Bahkan tidak diberitakan di media massa.Saya pun jadi malu, merasa bersalah, dan kecewa pada diri sendiri juga pada senior, karena telah membuat panik dengan berita bohong. Butuh waktu berhari-hari untuk melupakannya, meskipun keluarga besar tidak pernah membahasnya. Dari kejadian itulah saya jadi tidak mudah percaya tentang isu gempa, serta semakin tertarik untuk belajar tentang tanda-tanda bencana alam. Karena saat ini ternyata belum ada alat canggih yang dapat memprediksi gempa bumi kapan tepatnya terjadi, tapi hanya bisa dideteksi dan berbagai potensinya.

Indonesia memang sudah ditakdirkan berada di kawasan “Ring of Fire” yang rawan gempa maupun letusan gunung berapi. Tugas kita selanjutnya adalah mengantisipasi dengan kenali bahayanya dan kurangi resikonya.

Awal kali pertama saya merasakan gempa bumi adalah ketika saya kost di Jogja. Saat itu malam hari ketika sedang santai, tiba-tiba lantai yang saya tiduri terasa bergejolak seperti bergerak, gantungan kunci yang menyantol di pintu bergoyang-goyang sendiri. Setelah sadar itu adalah gempa, akhirnya saya mencoba berdiri dan keluar, namun kepala ini agak terasa pusing, seolah-olah sedang berdiri di dalam kapal yang terkena gelombang besar. Saya pun berhasil keluar rumah, sementara tetangga-tetangga sudah pada keluar dan teriak-teriak menyuruh warga lain untuk keluar juga. Panik sekali rasanya. Beberapa hari kemudian juga terjadi hal yang serupa, dan masih terasa shock.

Gempa bumi datang tiba-tiba tanpa ada gejalanya terlebih dahulu seperti gunung meletus. Alat pendeteksi pun baru mencatat ketika gempa sedang atau sudah terjadi.

Saya jadi kepikiran, bagaimana rasa paniknya jika terjadi gempa saat buang air besar, saat di gedung lantai 25, atau saat proses melahirkan, apakah anaknya akan memiliki kekuatan supranatural seperti di film Gerhana ?

Ketakutan yang selama ini saya pikirkan nyaris terjadi saat saya bekerja di Jakarta. Kala itu sekitar pukul 19.00 terjadi gempa, saya dan teman-teman masih bekerja di dalam kantor, untung saja ruangan saya berada di lantai 2. Getaran lantai dan suara retakan kaca di sekeliling membuat saya takut dan sempat panik. Tapi itu adalah hal yang wajar dan manusiawi. Tinggal kita bagaimana kita mengatasi rasa panik itu sesegera mungkin. Belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya, sesaat setelah gempa datang saya mencoba tetap tenang, dan sadar apa yang harus saya lakukan sebisa mungkin yaitu :

1. Mengambil ponsel.
Inilah hal pertama yang saya lakukan, dikarenakan tidak ada survival kit di kantor, saya mengambil ponsel yang berada di meja. Bagi saya ponsel sangatlah penting, karena di ponsel (smartphone) terdapat senter yang bisa kita gunakan jika sewaktu-waktu listrik padam. Selain itu untuk mencari tahu apakah yang sebenarnya terjadi. Kita bisa mengetahuinya melalui aplikasi BMKG ataupun via Twitter karena langsung update realtime. Di situ kita bisa menilai apakah ada potensi tsunami, gempa susulan atau tidak. Tapi perlu cermat, karena di saat suasana genting ini biasanya ada berita hoax yang membuat panik orang-orang. Jadi carilah sumber atau media yang benar-benar terpercaya.

2. Lindungi kepala.
Kepala adalah organ vital, jika terbentur bisa tidak sadarkan diri. Jadi ambillah barang yang bisa digunakan untuk melindungi kepala, seperti bantal atau kursi plastik untuk melindungi dari benda yang jatuh dari atas. Jika tidak ada, bisa gunakan tangan saja.

3. Lewat Tangga Darurat.
Jangan gunakan lift saat gempa atau kebakaran, tapi gunakanlah tangga darurat. Maka dari itu saat berada di dalam gedung, kita harus mengetahui letak tangga daruratnya jika terjadi bencana. Untuk pengelola gedung juga harus memperhatikan keamanan akses tangga daruratnya, apakah kuat pegangannya, apakah penerangannya cukup.

4. Berlindung di bawah meja.
Jika sedang berada di gedung tinggi (lantai 3 ke atas), berlindung di bawah meja atau furniture yang kokoh adalah pilihan tepat seperti yang biasa dilakukan orang-orang Jepang. Gempa bumi biasanya tidak berlangsung lama, jadi untuk turun keluar gedung membutuhkan waktu yang cukup lama, pada proses itulah banyak benda-benda yang berpotensi jatuh mengenai kita, belum lagi antrian desak-desakan orang-orang yang terburu-buru ingin turun.

5. Capai Titik Kumpul
Di gedung-gedung bertingkat, biasanya sudah ditandai mana yang digunakan untuk titik kumpul saat terjadi bencana, di sinilah bisa dibilang titik amannya.

6. Hubungi Keluarga
Setelah gempa reda, segera hubungi keluarga terdekat dan kabarkan kondisinya. Jika dirasa perlu bantuan di TKP, hubungi nomor darurat BNPB atau Tim SAR.




Tsunami Kecil Ternyata Dahsyat Juga

Perlu kita ketahui, Tsunami berasal dari bahasa Jepang yang artinya “Air yang berlabuh ke daratan”.
Tak semua gempa diiiringi dengan datangnya gelombang tsunami. Tsunami datang memang biasanya diawali dengan gempa besar, tapi ada juga yang berasal dari longsoran atau patahan material gunung di laut.

Induk Gunung Krakatau memang telah hancur tahun pada Agustus 1883 dan kini menyisakan anaknya. Meskipun ukurannya tidak sebesar "induknya", Gunung Anak Krakatau ternyata menyimpan tenaga yang cukup besar untuk erupsi dengan tipe eksplosif. Dampaknya berupa "tsunami kecil" pun telah dirasakan masyarakat Banten dan sekitarnya.
Gunung Anak Krakatau sebelum erupsi
Sebenarnya, Gn. Anak Krakatau sudah lama mengalami gejala fase erupsi, tanda-tanda alamnya sudah bisa kita lihat. Namun menurut saya itu diluar prediksi, letusannya ternyata sangat besar sehingga menghancurkan sekitar 50% tubuhnya dan menyisakan kawah yang menjadi basah.

Saat tsunami Selat Sunda menerjang tanggal 22 Desember 2018, saya sedang berada di rumah Cilegon, Banten. Malam itu di grup Whatsapp telah ramai adanya laporan warga yang lingkungannya terendam air laut. Saya pun mencari tahu penyebabnya karena awalnya hanya air laut pasang biasa saja akibat pengaruh dari bulan purnama yang menyebabkan gelombang tinggi. Begitu juga saat dicek melalui aplikasi tidak terdeteksi adanya gempa bumi, jadi kami tenang saja. Lalu semakin malam ternyata pernyataan rilis resmi dari Humas BNPB Pak Topo (Alm) menerangkan bahwa yang terjadi sebelumnya dipastikan adalah tsunami. Dari situ saya langsung syok karena telah terjadi bencana seperti itu di daerah sendiri.

Tsunami kali ini berbeda dari tsunami pada umumnya di Indonesia karena timbul bukan dari gempa tektonik, melainkan dari longsoran material erupsi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, sehingga tidak ada early warning seperti biasanya. Seperti yang diberitakan Pak Topo, Indonesia ternyata belum memiliki alat pendeteksi tsunami yang diakibatkan longsoran bawah laut. Jadi selama ini masih mengandalkan alat milik BMKG yang hanya merespon sensor kegempaan tektonik.


Menebus Rasa Bersalah


Keesokan hari setelah terjadi tsunami, saya dan rekan-rekan terpanggil menuju TKP. Berbekal pengalaman menangani bencana bersama BPBD dan Basarnas, saya siap membantu melakukan pencarian dan evakuasi korban yang masih tertimpa reruntuhan. Bagi saya, ini bagaikan menebus rasa bersalah saat SMA, saya ingin sekali memberikan kontribusi bidang bencana pada daerah sendiri.


Lokasi yang terparah berada di Kecamatan Sumur, Pandeglang. Di Kecamatan ini adalah salah satu akses menuju Taman Nasional Ujung Kulon. Sepanjang perjalanan menuju Carita, saya melihat bangunan di kanan dan kiri sudah hancur lebur. Puing-puing dan pepohonan tumbang menutupi jalan. Kami sempat putar balik karena dikabarkan bahwa sirine early warning system-nya berbunyi yang mengakibatkan semua petugas berlarian menjauhi bibir pantai. Setelah ditelusuri, ternyata alatnya sedang mengalami gangguan sehingga tiba-tiba bunyi tanpa sebab.


Budaya Sadar Bencana

Menurut data BNPB, jumlah korban meninggal tsunami Selat Sunda mencapai 437 orang, yang terbanyak di wilayah Banten, dan yang masih hilang sebanyak 10 orang. Dari situ kita perlu memandang pentingnya Budaya Sadar Bencana agar diterapkan ke semua kalangan, terutama yang tinggal di Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Persiapkan Emergency Survival Kit di rumah.
Sama seperti di Indonesia, Jepang juga berada di wilayah rawan bencana. Gempa bumi sudah seakan seperti makanan sehari-hari bagi mereka. Namun bedanya, mereka telah dilatih untuk siap “bersahabat” dengan bencana sejak dini. Di sekolah-sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak, sudah diajarkan mitigasi bencana gempa bumi. Paling tidak sebulan sekali mereka melakukan simulasi. Ketika sirine peringatan berbunyi, otomatis pada berlindung di bawah meja yang kokoh, seolah-olah terjadi gempa beneran. Hal ini bertujuan agar mereka lebih tenang, cepat, tepat, dan tertib saat bertindak ketika menghadapi bencana yang sesungguhnya. Selain itu, sikap saling tolong menolong juga diajarkan, jadi anak-anak akan diprioritaskan saat evakuasi.

Ini ternyata terbukti seperti yang dialami di
Kamaishi Prefektur Iwate Jepang pada 11 Maret 2011. Hampir 3.000 siswa sekolah selamat berkat pendidikan mitigasi bencana.
Terapkan simulasi mitigasi bencana di kantor agar terbiasa.
Indonesia seharusnya bisa berkaca pada Jepang bagaimana mitigasi bencana dalam mengurangi resiko jatuhnya korban. Pembelajaran tentang mitigasi bencana sangat penting diajarkan secara rutin di sekolah, kantor, komunitas, dan juga di tengah masyarakat agar paham benar apa yang dilakukan ketika ada bencana. Terutama di KRB dan lokasi-lokasi vital lainnya seperti di Cilegon yang banyak terdapat pabrik kimia, ada penanganan khusus untuk hal itu.

Suasana di pengungsian.
Teknologi early warning system memang sangat diperlukan, tapi lebih penting lagi soal kesadaran masyarakatnya. Buoy dan Tide Gauge mahal yang dimiliki negara kita seakan tak berguna karena banyak yang rusak oleh ulah manusia tidak bertanggungjawab. Pencurian seismograf juga kerap terjadi di beberapa gunung karena kurangnya pengawasan. Masalah ekonomi dan pola pikir yang jadi musuh bersama. Padahal peralatan itu digunakan untuk mendeteksi gelombang tsunami dan juga aktivitas kegempaan yang menyangkut nyawa ribuan orang. Lucunya lagi, bahkan baut pada jembatan dan rel kereta api pun banyak yang dicuri. Maka dari itu harus disosialisasikan pentingnya alat itu agar bisa saling menjaga dan merawatnya. Bagi yang melakukan vandalisme atau mencuri harus dihukum seberat-beratnya, karena ini masalah serius.


Alam Memberikan Kehidupan


Disamping pemanfaatan teknologi yang canggih juga harus ada kesadaran dalam menjaga lingkungan. Menanam mangove adalah salah satu cara alami untuk meredam gelombang tsunami yang masuk ke daratan. Selain dapat menahan gelombang juga bisa menjadi habitat satwa-satwa dan juga bisa dijadikan tempat wisata. Tak hanya itu, pohon-pohon di pinggir jalan yang biasa hanya dijadikan tempat kencing manusia atau tempat menempel iklan, bisa sangat berguna jika terjadi bencana.
Begitu pepohonan di hutan memiliki peran sangat penting untuk meredam potensi longsor maupun banjir bandang.
Peran pohon mangore (bakau) dalam meredam gelombang tsunami.

Masih ingat dengan kisah Martunis sang bocah survivor tsunami Aceh ?


Dia bisa bertahan berhari-hari dari serbuan tsunami dengan cara menaiki pohon. Tanpa sadar alam telah memberikan kita segalanya, tinggal bagaimana kita bisa simbiosis mutualisme agar saling menguntungkan. Dengan begitu kita jaga alam, maka alam akan jaga kita. Saling bersinergi dengan alam.

Upaya pertolongan diri sendiri (self assistance) merupakan salah satu faktor yang mendukung tingkat keberhasilan dalam menghadapi bencana. Tapi bukan berarti kita jadi individual lebih mementingkan keselamatan sendiri lalu saling sikut dengan yang lainnya. Melainkan harus mengetahui batas kemampuan dari diri sendiri dan berpikiran positif akan selamat, dan menerapkan apa yang telah dipelajari sebelumnya. Namun itu juga harus didukung dengan infrastruktur yang memadai. Jangan sampai ketika bencana datang, Shelter Tsunami yang telah dibangun malah tidak bisa difungsikan karena rusak atau tidak layak, karena itu adalah salah satu tumpuan bila daerahnya jauh dari bukit.

Menjadi tangguh bukan berarti harus dengan fisik yang kuat, tapi bisa juga dengan pemikiran yang cerdas dan mampu memberikan solusi untuk kebaikan semua orang. Hidup mati memang di tangan Tuhan, tapi Tuhan tentunya lebih senang dengan hambanya yang mau berusaha,…berusaha sekuat tenaga untuk tetap hidup. Karena itu adalah salah satu cara mensyukuri nikmat-Nya. Jadi saat terjadi bencana, yang harus benar-benar ditanamkan di otak adalah bukan Siap Mati, melainkan SIAP UNTUK SELAMAT !



#TangguhAward2019 #KitaJagaAlam #AlamJagaKita #SiapUntukSelamat #BudayaSadarBencana

Menjamurnya minimarket modern di Indonesia ini membuat warung-warung tradisional kian tenggelam, seolah tak dianggap lagi karena kurang bisa bersaing. Padahal, soal harga di warung tradisional jauh lebih murah, dan yang paling disukai kebanyakan orang adalah, bebas biaya parkir, karena tak ada tukang parkirnya. Saya dan istri sepakat demikian, untuk kebutuhan sehari-hari, saat ini kami utamakan belanja di warung tradisional terdekat. Selain untuk turut memberikan rejeki ke warung tersebut agar bisa berkembang, juga untuk ajang silaturahmi dengan pemilik warungnya. Karena di warung inilah biasanya suasana guyub rukun antar tetangga saling terjalin.

Meskipun keberadaannya semakin menurun, masih banyak yang menjadikan warung tradisional ini sebagai tumpuan hidupnya sehari-hari. Melalui warung inilah mereka mendapatkan penghasilan utamanya, tak hanya di kampung, tapi juga yang letaknya di perkotaan. Seperti warung yang terletak hanya 10 meter dari kantor saya inilah contohnya.

Sore itu tak biasanya ada Standing Banner warna biru muda terpampang jelas di depan warung tersebut. Di warung inilah saya biasa beli “jajanan” untuk mengisi perut saat lupa bawa bekal dari rumah. Warung yang terletak di Jl. Adyaksa Raya, Jakarta Selatan ini sangat kecil, namun cukup memenuhi kebutuhan saya saat itu. Satu hal yang membuat perhatian saja tertuju pada banner-nya adalah tertulis nama “KUDO”, nama yang sepintas mirip tokoh Shinichi Kudo dalam komik Jepang. Awalnya saya pikir ini jasa untuk membungkus kado atau apa, ternyata bukan.

Apa itu KUDO ?
Setelah saya cari tahu, ternyata Kudo adalah singkatan dari Kios Dagang Untuk Online, jadi ini sebuah platform Warung Digital Serba Bisa yang diakses melalui aplikasi smartphone. Oh iya, kita harus bangga, sebab Kudo merupakan buatan anak bangsa Indonesia. Dari sinilah akhirnya terjawab bagaimana peran teknologi dalam #MajuinWarung tradisional di negara kita.

Pak Gunardi sang pemilik warung membagi pengalamannya, dia baru beberapa bulan menjadi agen menggunakan aplikasi Kudo dan sangat terbantu sekali. Kini dia cukup menggunakan aplikasinya untuk memesan stok barang-barang kebutuhan warungnya. Barangnya pun bisa langsung dikirimkan dengan gratis ongkir pula. Soal ketersediaan dan kualitas barang, dia tidak perlu khawatir lagi, karena Kudo bekerjasama dengan produsen dan perusahaan terkenal untuk stok barangnya, sehingga biaya dalam usaha grosir sembako jadi lebih murah dan keuntungan lebih besar.

Tak hanya untuk kebutuhan warung, ternyata kita juga bisa transfer uang, bisnis pulsa, bayar tagihan telepon, tiket kereta, dan bahkan daftar Grab sebagai pengemudinya. Berbagai kemudahan itulah yang membuat banner Kudo terpampang di warung-warung yang sering saya temui dan menjadi suatu hal yang wajar. Para pemilik warung mempercayakannya melalui aplikasi tersebut untuk meningkatkan pendapatan dan jaringan agennya. Pantas saja banyak sekali driver Grab yang sering nongkrong ngopi di warung Pak Gunardi maupun di warung sebelahnya karena sama-sama menggunakan Kudo untuk usahanya.

Selain itu, kita sebagai pelanggan umum pun turut mendapatkan kemudahannya karena adanya PPOB alias Payment Point Online Bank. PPOB sendiri adalah suatu sistem pembayaran online layaknya perbankan. Jadi di aplikasi ini kita bisa melakukan berbagai jenis pembayaran seperti BPJS, PLN, PDAM, tagihan listrik, multi finance, telepon rumah, kartu kredit, dan juga asuransi dalam satu aplikasi. Gak perlu keluar rumah, gak perlu antri, jadi menghemat transportasi dong, tinggal duduk ayem di rumah sambil transaksi, yang penting ada kuota internetnya dan listrik untuk nge-charge ponsel.

Lalu bagaimana caranya bergabung dengan KUDO ?
1. Download aplikasi Kudo.
2. Lakukan pendaftaran melalui aplikasi.
3. Tambah saldo untuk transaksi.
4. Verifikasi akun.

Udah bisa jualan dan melakukan berbagai transaksi deh. Untuk info lebih lanjutnya bisa cek di Panduan Agen Kudo. 


Lantas manfaat yang bisa kita dapatkan apa aja ?
  • Mendapatkan jutaan produk online dengan harga grosir untuk tokomu.
  • Mendapatkan komisi menarik di setiap transaksi. 
  • Mendapatkan layanan tagihan terlengkap.
  • Mendapatkan akses modal usaha dengan mudah.
  • Jadi agen perekrutan Mitra Pengemudi Grab.
Jika menggunakan Kudo, kita turut #MerdekainWarung karena mendukung peningkatan kesejahteraan pemilik warung tradisional agar bisa bersaing dengan supermarket modern. Bayangkan saja, Pak Gunardi yang dahulunya hanya berjualan barang kelontong di warungnya, kini bisa juga merambah ke bisnis yang lain, serta mendapatkan komisi dari setiap transaksinya. 


Dengan begitu ia bisa punya tabungan lebih, selain untuk perputaran modal usahanya, ia bisa menyekolahkan kedua anaknya yang masih kecil.

Kita juga bisa lho menjadi #PejuangWarung dengan mengajak pemilik warung lain untuk bergabung bersama Kudo. Dari situ, otomatis mereka akan lebih melek teknologi agar warungnya bisa lebih berkembang dan bertahan dari serbuan toko modern. Tak hanya itu, kita bisa mendapatkan bonus puluhan ribu rupiah setiap kita mendaftarkan warung di Kudo.

Ayo tunggu apalagi, mari bergabung dengan Warung Digital Serba Bisa...KUDO !
Merdekain Warung Tradisional Pakai Kudo, Aplikasi Digital Buat #MajuinWarung