Tak terasa sudah 2 jam lebih kami menyusuri jalan yang hancur parah menuju kota Bandar Lampung. Selepas dari Way Kambas, kami mengambil jalan tembus dari pertigaan yang sebelumnya kita lewati. Saya pilih jalan itu karena menurut Google Map aksesnya lebih dekat daripada harus memutar dulu ke utara.
Hari semakin gelap, jalan hancur tak kunjung usai. Karena sudah terlanjur, kami harus terpaksa ber”off road” menggunakan motor matic ini. Kali ini giliran Iqbal yang menyetir, dan saya selalu waspada mengamati jikalau ada ancaman yang datang. Maklum, sepanjang jalan ini minim sekali penerangan, karena melewati jalan panjang yang kanan kirinya berupa kebun dan semak belukar. Ternyata di jalan ini rawan sekali pembegalan, bahkan untuk mengebut atau teriak minta tolong pun rasanya percuma.
Sejenak kami berhenti di sebuah perkampungan untuk memastikan bahwa jalan yang kami pilih itu bukan jalan yang salah. Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 tapi kota yang kita tuju belum juga sampai. Hal ini membuat kami frustasi dan emosi, dan sempat juga berpikiran untuk mencari penginapan atau masjid karena sudah terlalu lelah berkendara. Setelah yakin dengan jarak di peta digital, akhirnya kami paksakan untuk melanjutkan perjalanan. Sekitar 30 menit kemudian kami sampai juga di kota Bandar Lampung. Target selanjutnya adalah mencari penginapan.
Setelah searching di aplikasi booking online akhirnya saya pilih Guest House Palapa yang letaknya sekitar 50 meter dari Bundaran Gajah. Awalnya saya mengira penginapannya sudah tutup, karena tidak ada tanda-tanda kehidupan. Setelah saya telusuri ternyata pintu masuk lobinya berada di dalam gang sebelahnya, jadi penginapannya berada di lantai 2. Tempat ini cocok sekali buat backpacker, karena tarifnya murah. Untuk 1 kamar berdua dikenakan tarif Rp 200.000 per malamnya. Fasilitas yang didapatkan berupa kamar bersih, nyaman, ber-AC, ada televisi, wifi, dan sarapan. Tapi sayangnya di dalam kamarnya tidak ada kamar mandinya. Jadi jika ingin mandi, e’ek, atau pipis, harus ke kamar mandi di luar. Tapi jangan khawatir, karena kamar mandinya bagus, bersih, dan bisa buat selfie. Oh iya, buat yang mau indehoy, nonton bokep, ngegosip, dll, di penginapan ini bukanlah tempat yang tepat, karena dinding kamarnya bukan terbuat dari beton, tapi dari kayu/triplek tebal, jadi suara mu bisa terdengar ke kamar sebelah.
Esok paginya pukul 09.00 kami segera check out karena harus melanjutkan perjalanan. Kali ini kami blank sama sekali belum tau mau ke mana. Akhirnya salah seorang penjaga penginapan memerikan referensi, yaitu Panti Mutun yang letaknya sekitar 14 km dari sini. Dari pantai tersebut bisa juga menyeberang ke Pulau Tangkil menggunakan perahu.
Setelah sampai lokasi, ternyata di sini telah ramai pengunjung, maklum hari terakhir libur lebaran. Menurutku pantainya cukup bagus dan airnya pun bersih. Tidak jauh dari pantai ini terlihat jelas Pulau Tangkil. Karena penasaran akhirnya kami mencoba ke sana dengan menyewa perahu dengan tarif Rp 60.000 untuk berdua. Sampai di pulau ini ternyata harus membayar retribusi lagi Rp 5.000. Awalnya kami bingung mau ke mana dan ngapain, karena di sini ternyata juga ramai. Akhirnya saya menelusuri sebuah jalan setapak dan melewati semak-semak, sampai tibalah di tempat berbatu dan di dekatnya terdapat tiang kayu bekas ayunan sepeti di Gili Trawangan – Lombok.
Tanpa basa-basi saya langsung memasang hammock di tiang tersebut untuk bersantai menikmati suasana, sekaligus mengetes kekuatan hammock yang belum pernah saya pakai, karena menurut penjualnya bisa menahan berat maksimal 300 kg. Saya cukup beruntung mengeksplor hingga sampai sini, karena tempatnya bagus dan juga sepi. Namun sayang, tidak lama kemudian hujan pun turun dan memaksa kami untuk mengevakuasi barang-barang dan mencari tempat berteduh, padahal tadi ada mbak-mbak yang mau ikut santai di hammock, siapa tau dia minta dipangku sambil dibacain cerita. Ya sudahlah…akhirnya hujan pun membuyarkan impian anehku tersebut.
Hammocking di Pulau Tangkil
by
Renky Sujarwo
on
Wednesday, July 27, 2016
Tak terasa sudah 2 jam lebih kami menyusuri jalan yang hancur parah menuju kota Bandar Lampung. Selepas dari Way Kambas, kami mengambil jal...