Biasanya orang-orang yang mencari lobster akan menyelam ke dasar laut atau hanya menaruh perangkap di karang-karang. Namun itu berbeda dengan cara para pencari lobster di Pantai Timang, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka menggunakan alat tradisional seperti kereta gantung untuk digunakan menyebrang ke pulau yang terletak sekitar 200 meter dari pantai. Untuk mencapai pantai tersebut bisa dibilang agak sulit, karena tidak adanya papan petunjuk dan juga akses jalannya yang sempit dan berbatu.

Dinamai Pantai Timang karena untuk mencapai pulau yang diseberangnya harus menggunakan kereta gantung, dan ketika melewatinya akan berasa seperti ditimang-timang. Di pantai itu terdapat sebuah pulau kecil yang terbentuk dari batuan karang, yang biasa disebut Pulau Panjang. Dari pulau itulah mereka menaruh jaring yang diberi umpan, atau orang sana menyebutnya dengan krungkut yaitu sejenis binatang laut seperti umang-umang (kelomang).
Krungkut
Pada sore hari, para nelayan menaruh jaring tersebut, kemudian saat pagi hari sekitar pukul  05.00, mereka mengambilnya. Hasil tangkapan tergantung cuaca dan juga gelombang air laut. Saat cuaca cerah dan gelombangnya tenang, biasanya mereka mendapatkan banyak lobster, sedangkan apabila cuaca sedang tidak bagus, mereka kadang tidak mendapatkan apa-apa.
Sepatu karet
Lobster-lobster yang terjaring kemudian dikumpulkan di tempat penampungan, yaitu di rumahnya Pak Saidi. Di tempat penampungan ini kemudian dijual ke berbagai tempat di Yogyakarta. Harga dari lobster ini bermacam-macam, tergantung jenisnya. Lobster yang merah dibandrol dengan harga sekitar Rp 200.000/kilo, sedangkan yang hijau sekitar Rp 250.000-300.000/kilo, karena lobster hijau kandungan dagingnya lebih banyak.

Bagi pengunjung yang ingin menyeberang ke Pulau Panjang dikenakan biaya Rp 100.000/orang, dan minimal 5 orang, karena untuk mengoperasikan “wahana” tersebut membutuhkan 6 orang operator dan harus ada musyawarah terlebih dahulu oleh para warga desa. Awalnya untuk menyebrang tidak dikenakan tarif, tetapi karena banyak pengunjung yang juga ingin mencoba, maka para nelayan memutuskan mematok tarif untuk menambah penghasilan mereka. Walaupun begitu, keselamatan para pengunjung tidak ditanggung, karena tidak adanya asuransi.
“Kereta gantung” itu dibuat pada tahun 1997 dan dipelopori oleh Pak Saidi. Pada waktu itu ia terinspirasi oleh Kereta Gantung yang ada di Taman Mini Indonesia Indah, maka ia memutuskan untuk membuatnya secara tradisional. Tali diseberangkan menggunakan perahu yang ia bawa dari Pantai Siung yang letaknya di sebelah timur Pantai Timang. Saat gelombang sedang surut, Pak Senen, rekan dari Pak Saidi mendekatkan perahunya lalu berenang ke pulau tersebut, karena medannya berupa batuan karang, sehingga perahu sulit untuk menepi. Saat sampai di pulau tersebut mereka memasang tiang yang terbuat dari kayu dan menambatkan tali tambang.

Dan hingga kini kayu tersebut belum pernah diganti. Sedangkan tali diganti sekitar 1 tahun 2x. Namun tetap saja, tali dan tiangnya tidak sesuai dengan standar keamanan. Dahulu dari pemerintah pernah ingin memberikan bantuan berupa tali, tiang, sling baja, dan juga perlengkapan lain yang sesuai standar internasional, namun Pak Saidi menolaknya, dikarenakan inilah tantangan dan keunikan dari tempat tersebut.




Dalam sebuah TVC iklan rokok menampilkan 3 orang pemuda gagah yang gemar berpetualang. Mereka dengan hebatnya melakukan hal-hal yang bersifat petualangan seperti mengendarai jeep, surfing pada malam hari, mendaki gunung, panjat tebing, menembus pekatnya rimba, caving dan bermain skateboard di dalam goa. Keren memang. Tapi dengan kekerenannya itu ternyata iklan tersebut memiliki subliminal message atau pesan terselubung, yaitu mengajak para pemuda Indonesia yang gemar bertualang untuk mengkonsumsi rokok, dan menjadikan produk rokok tersebut sebagai “teman” perjalanan, serta menciptakan imej bahwa seorang petualang haruslah merokok.

Bagi orang awam, hal-hal tersebut tidaklah disadari, atau bahkan mengacuhkannya. Tapi pada kenyataannya iklan tersebut mendoktrin, mempersuasi alam bawah sadar para target audience-nya untuk melakukan sesuatu sesuai pesan yang disampaikan iklan tersebut, yaitu mengkonsumsi rokok.

Banyak sekali orang-orang Indonesia yang terbujuk “rayuan” pada iklan tersebut. Tapi tidak dengan saya ! Karena salah satu tujuan saya berpetualang adalah agar menjadi SEHAT, dengan menikmati dan mensyukuri segala apa yang telah Tuhan berikan. Alam yang indah, air yang bersih, dan udara yang sejuk, yang tidak bisa didapatkan di perkotaan. Menurutku ini adalah salah satu anugerah yang Tuhan berikan kepada makhluknya secara gratis…tiss…tiss. Coba bayangkan, seandainya Tuhan memberikan tarif untuk tiap menghirup udara sejuk adalah Rp 1, berapa uang yang harus dikeluarkan ketika mendaki gunung selama 3 hari ? Mungkin uangnya sudah bisa dipakai untuk membeli sebuah pabrik rokok indie.

Coba deh perhatiin kelakuan sebagian besar orang-orang yang ngerokok, jarang sekali diantara mereka yang membawa turun kembali puntung rokoknya. Biasanya setelah menghisap rokok, mereka akan "menyentil" begitu aja puntungnya. Nah inilah yang sulit kita pungut saat melakukan aksi bersih di gunung. Jumlahya sangat banyak sekali, dan bertebaran di mana-mana, di sepanjang perjalanan, terselip di semak-semak dan bebatuan.

Sehat itu mahal

Banyak orang yang rela mengeluarkan uang banyak hanya untuk berobat, melepaskan diri dari belenggu penyakit, cuma karena untuk sehat. Buat apa jauh-jauh ke gunung, dengan susah payah menggapai puncaknya kalau yang dihirup juga adalah “asap kematian” yang kita bawa sendiri ? Cukup di perkotaan sajalah kontaminasi asap-asap keparat itu beredar, dan janganlah di bawa ke gunung ! Karena di gunung adalah tempat untuk mencari ketenangan, tempat untuk menikmati udara dari “surga”.

Di negara ini, jumlah perokok aktif sangatlah banyak, bahkan mungkin sekitar 85% pendaki gunung adalah perokok, dan banyak yang beranggapan bahwa dengan merokok membuat tubuh menjadi hangat, padahal itu salah kaprah. Justru hal tersebut dapat membahayakan kesehatan, karena di atas gunung kadar oksigen lebih tipis, sehingga untuk mengatur bernapas pun lebih sulit. Gunakanlah cara lain yang lebih sehat untuk menghangatkan badan, seperti minum air jahe hangat pun cukup.

Selain dirugikan oleh asap yang dikeluarkan, rokok juga menyebabkan kerugian lain. Sudah banyak kasus kebakaran hutan akibat dari puntung rokok yang dibuang sembarangan tanpa mematikannya terlebih dahulu. Maka dari itu diharapkan para pendaki lebih bijak dan sadar akan tanggung jawabnya terhadap lingkungannya. Jadikan aktifitas petualangan itu menjadi aktifitas yang menyehatkan dan berguna bagi semua. Nikmatilah alam ini tanpa dengan merusaknya, lalu hiruplah udara sejuk sepuasnya selagi masih ada, dan sayangi kesehatanmu, orang-orang di sekitarmu, dan alam raya ini.

Sunday Morning atau yang biasa disebut Sunmor adalah sebuah pasar dadakan yang berada di wilayah Universitas Gadjah Mada tepatnya disekitar lembah UGM yaitu di Jalan Notonegoro yang memisahkan antara kampus UGM dengan wilayah Kampus UNY.

Pasar ini buka hanya pada hari Minggu pagi pukul 06.00 sampai 12.00. Para pengunjung biasanya adalah orang-orang yang sedang jogging di tempat ini, namun banyak juga orang yang sengaja datang untuk belanja di tempat ini.

Barang-barang yang dijual di sini sangat unik dan banyak ragamnya, mulai dari kuliner, produk fashion, souvenir, hewan piaraan, karya seni, dan lain-lain.  Selain merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli, Sunmor juga banyak dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk mengamen, menjual karya seninya, ataupun mempromosikan acaranya.

[gallery ids="282,283,284,285,286,287,288,289,290,291,292,293,294,295"]

The Uniqueness of SunMor

by on Monday, September 02, 2013
Sunday Morning atau yang biasa disebut Sunmor adalah sebuah pasar dadakan yang berada di wilayah Universitas Gadjah Mada tepatnya disekitar ...