Pagi itu (20/5), disaat matahari baru muncul dari peraduannya saya bergegas menuju Kaliadem di kaki Gunung Merapi untuk meliput ritual prosesi Labuhan dari Keraton Kasultanan Yogyakarta. Selama 4 tahun tinggal di Jogja, baru kali ini saya meliput ritual labuhan Merapi, karena sebelum-sebelumnya lupa jadwal dan telat bangunnya :p
Sebelumnya saya janjian dulu ketemuan dengan Ning2 dan seorang temannya, sebut saja Tina Toon di Jl. Kaliurang. Ternyata mereka gak tau kalo ritualnya harus naik gunung. Walhasil, mereka pun salah kostum, yang satu pakai sepatu kets dan bawa tas slempang, dan yang satu lagi cuma pakai sandal jepit.
Di titik awal start pendakian ternyata udah ramai dengan berbagai relawan dan SAR yang mengamankan prosesi ini, mengingat jalurnya yang cukup menanjak dan panjang. Pagi itu acara dimulai sekitar pukul 06.25 WIB. Rombongan abdi dalem keraton mulai mendaki dengan membawa ubo rampe. Semuanya mengenakan pakaian adat tanpa mengenakan alas kaki. Rombongan ini dipimpin oleh Pak Asih yang merupakan anak ketiga alm. Mbah Maridjan sang juru kunci Merapi.
Setelah sampai di pos 2 sekitar pukul 07.44, rombongan mulai melakukan prosesi ritual labuhan Merapi. Ritual ini dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta dan mohon perlindungan dari mara bahaya.
Setelah prosesi ritual selesai, semua rombongan dan para pengunjung turun kembali. Supaya tidak berdesak-desakan di jalur saat turun, saya dan kedua teman saya menunggu dan bersantai sejenak di pos 2. Sambil menunggu, saya sempatkan buang air kecil di jalur agak ke atas dari pos 2. Di situ saya melihat ada jalur yang cukup jelas dan membuat saya penasaran. Setelah itu saya menanyakan pada kedua teman saya, dan mereka mengiyakan untuk mencoba menjelajahi jalur Merapi tersebut.
Awalnya sih cuma mau liat pemandangan terbuka dari punggungan bukit. Tapi entah kenapa kami semakin penasaran dan keterusan untuk naik ke atas. Setelah berjalan menanjak terus, akhirnya kami tiba di pos 3. Pos ini terdapat gapura juga, namun tidak terawat. Di tengah gapura itu terdapat lambang Keraton Yogyakarta dan tulisan jawa kuno.
Karena kepalang tanggung dan sudah sampai sini, kami pun melanjutkan ke atas lagi. Kami masih dibuat penasaran, karena selama ini yang saya bayangkan, jalur selatan Merapi via Kinahrejo sudah tertutup karena erupsi 2010, sehingga sulit dilalui.
Pada pukul 10.38, kami sampai di sebuah jalur yang dinamakan “Jembatan Pasir”. Jika dilihat, jalur ini mirip sekali dengan jalur setelah Arcopodo di Gunung Semeru. Jalur Jembatan Pasir ini cukup berbahaya, karena diapit oleh dua jurang yang merupakan jalur lahar. Pijakan untuk kaki juga sangat sempit, di sini kita harus fokus dan berhati-hati, karena medannya berupa pasir dan batuan yang labil, yang bisa membuat kita terperosok ke dalam jurang. Jika ingin mendaki lewat jalur selatan disarankan jangan saat hujan/musim hujan, karena dikhawatirkan akan bahaya banjir lahar dingin dan longsor. Selain itu juga mendaki di malam hari beresiko terperosok ke dalam jurang.
Saat melewati jalur ini sangat disarankan menggunakan gaiter untuk mencegah pasir agar tidak masuk ke dalam sepatu. Dari Jembatan Pasir ini, kami masih penasaran dan melanjutkan perjalanan menuju batas vegetasi, karena dari sini sudah terlihat jelas. Ternyata semakin ke atas, jalur semakin sulit dan berbahaya, kalau sampai salah ambil jalur akan terperosok ke dalam jurang.Tidak lama kemudian, kedua teman saya tidak melanjutkan perjalanan, dikarenakan “kostum” dan alas kakinya tidak memenuhi standar pendakian. Maka dari itu saya mencoba naik sendirian untuk mengecek seperti apa jalurnya.
Semakin ke atas, jalur semakin terjal, dan medannya bervariasi, mulai dari pasir, batuan labil, hingga hutan yang rapat. Setelah cukup lama mencoba jalur, saya memutuskan untuk turun kembali dan bergabung dengan kedua teman saya, karena saya gak cukup persiapan perbekalan, dan saya gak mau ninggalin kedua temen saya yang kelaperan.
Setelah mencari informasi, menurut penduduk setempat, jalur ini memang belum selesai dirintis kembali oleh para relawan dan SAR, karena masih kurang sekitar 100 meter ke puncak, jadi belum ada yang berhasil tembus hingga puncak melewati jalur ini.
Meskipun saya masih penasaran dan gak berhasil mencapai sampai batas vegetasi, saya tidak terlalu kecewa, soalnya saya lebih mementingkan keselamatan bersama dibandingkan sebuah ambisi mencapai puncak. Banyak sekali faktor yang menjadi pertimbangan untuk mengurungkan niat kami menembus jalur ini, yaitu kurangnya persiapan karena memang tidak ada rencana ke sini, selain itu juga jalur masih cukup berbahaya, dan Gunung Merapi masih dalam keadaan berduka, karena musibah Erri Yunanto yang jatuh ke dalam kawah :(
*****
Gunungnya gak akan ke mana-mana kok, jadi mungkin di lain kesempatan saya akan mencoba kembali jalur ini hingga atas dan tentunya dengan persiapan yang matang :)
Mencoba Rintisan Jalur Selatan Merapi Via Kinahrejo
by
Renky Sujarwo
on
Thursday, May 21, 2015
Pagi itu (20/5), disaat matahari baru muncul dari peraduannya saya bergegas menuju Kaliadem di kaki Gunung Merapi untuk meliput ritual ...