Explore Budaya di Danau Toba Bersama Mixagrip

Pemandangan dari Huta Ginjang
Direct Message di Instagram sore itu membuka salah satu kebahagiaan saya yang sedang penat dengan pekerjaan. Pesan di dalamnya mengajak saya untuk mengeksplor Danau Toba, yang merupakan danau terbesar se-Asia Tenggara. Yang lebih asiknya lagi Laudya Chyntia Bella juga ikut dalam perjalanan kita kali ini.

Perjalanan diawali dari bandara Soekarno-Hatta langsung ke bandara Silangit, Siborong-borong Sumatera Utara. Jadi kita tidak perlu turun di Kuala Namu Medan, karena dari situ untuk menuju Danau Toba via darat masih membutuhkan perjalanan 6 jam, waktu yang terbuang sangat banyak. Sedangkan kalau dari bandara Silangit ke Danau Toba hanya membutuhkan waktu setengah jam. Saat menjelang pendaratan ke Silangit, kami disuguhkan pemandangan perbukitan yang indah. Begitu pula saat turun dari pesawat, udara sejuk dan langit biru menyambut kami.

Bersama Vera, Rifki, dan Vivi, kami ditantang untuk menyelesaikan challenge dari Mixagrip selama eksplor budaya ini, di situlah saya bertambah semangat karena akan ada hadiah tambahan bagi para pemenang. Destinasi pertama yang dikunjungi adalah bukit Huta Ginjang, di tempat inilah diyakini sebagai tempat terbaik untuk menikmati keindahan Danau Toba. Udara yang sejuk dan tempat yang bersih adalah dambaan bagi setiap traveler. Di sini pula biasa digunakan untuk kegiatan olahraga dirgantara seperti Gantolle ataupun Paralayang.

Pemandangan dari Bukit Doa Huta Ginjang.

Dari situ perjalanan dilanjutkan ke Bukit Doa yang letaknya tidak jauh. Dinamakan Bukit Doa karena di sini terdapat sebuah patung tangan dengan posisi mengatup dan ke arah danau. Di bagian bawah patung itu ternyata merupakan sebuah bangunan tempat berdoa yang memiliki 26 kamar. Menurut cerita setempat, jika berdoa di sini dan mengarah ke danau akan lebih cepat terkabul. 

Mie Gomak

Siang semakin terik, dan waktunya untuk makan siang di pinggir danau, lebih tepatnya di Cafe Bunga-Toba, miliknya mantan menteri di era Orde Baru, yaitu TB Silalahi. Suguhan yang disajikan di sini kebanyakan berupa ikan air tawar, jadi saya cukup bingung mau makannya, karena saya nggak suka ikan (maaf ya bu Susi). Tapi untungnya di sana ada menu Mie Gomak, yaitu spaghetti dengan citarasa ala Batak yang menyelamatkan makan siang saya saat itu. 


Perjalanan selanjutnya menuju Parapat untuk menyeberang ke Pulau Samosir menggunakan kapal kecil yang bernama Toba Cruise 2, tapi sebelum menepi ke Samosir, kita mampir terlebih dahulu ke air terjun Binangalom untuk melakukan challange. Awalnya saya pikir akan disuruh terjun dari atas air terjun yang berketinggian 70 meter ini, tapi untungnya hanya terjun dari kapal lalu berenang menuju air terjun tersebut. Dari 4 orang peserta, hanya 2 orang saja yang mewakili kelompok masing-masing, yaitu saya dan Vivi, sementara Vera dan Rifki hanya memotret dari atas kapal. 

Air Terjun Binangalom
Photo Hidyanindya Liputan 6

Byurrr….

Hari semakin gelap yang mengharuskan kami menyelesaikan tantangan itu. Dengan sekuat tenaga saya berenang melawan arus yang cukup kencang menuju air terjun tersebut. Dinginnya air yang jatuh menuju danau membuat kaki saya jadi kram, belum lagi airnya beberapa kali ikut terminum, untungnya tawar. Semoga saja tidak ada orang yang buang air besar di sekitar sini.

Setelah menyelesaikan salah satu tantangan, kapal berangkat menuju Samosir Villa, tempat kita menginap. Untuk menuju ke sana masih membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Matahari pun sudah terbenam seutuhnya, jadi hanya angin yang bertiup ke arah kapal saja yang saya andalkan untuk mengeringkan badan. Ternyata saya salah, karena faktor kelelahan, saya jadi bersin-bersin dan terkena gejala flu. Tapi untungnya saat dari Jakarta saya tidak lupa membawa stok obat-obatan di tas hydropack. Untuk urusan flu saya percayakan pada Mixagrip karena memang cocok.


Sekitar pukul 19.30 kami sampai juga di Samosir Villa. Musik Batak dan tarian Tor-tor menyambut kami semua, dan seakan-akan menjadi penghilang rasa lelah, apalagi saat para penari mengajak tamunya untuk ikutan menari. Sangat bagus sekali perpaduan musik dan tariannya, begitu pula ketika saya memperhatikan teknik fill in yang dilakukan pemain perkusinya yang unik.


Hari ke-2, 28 Oktober 2017

Perjalanan hari ke-2 dimulai menuju ke Sianjur Mula-mula, yang terdapat makam dan patung raja-raja Batak yang dahulu menganut animisme. Sepanjang perjalanan menuju lokasi ini kita disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Topografi yang berbukit-bukit hijau dan konturnya bergelombang tajam mengingatkan saya pada kaldera Bromo, ditambah lagi dengan adanya hamparan sawah di dalam lembah yang mirip sekali dengan Sembalun, seakan tidak menyangka kalau danau Toba seindah ini.

Sembalun van Toba
Lobster danau Toba
Hujan deras mengguyur ketika kami makan siang bersama Bella di Sekapur Sirih yang letaknya tidak jauh dari penginapan. Ada sesuatu hal yang baru bagi saya, yaitu ini adalah kali pertama saya makan lobster air tawar :D. Ternyata enak juga, padahal dari dulu saya kepingin banget makan beginian, apalagi waktu papa melihara lobster di rumah, tapi sayangnya gak boleh dimakan :( Baru kali inilah bisa kesampaian, dan saat itu sejenak saya melupakan kadar kolesterol dalam darah, semoga saja pas medical check up nanti gak bertambah.

"Begini lho dek cara menenun itu"
Menari Tor-tor

Setelah hujan agak reda, perjalanan dilanjutkan ke Huta Siallagan, di sini terdapat perkampungan yang terkenal dengan kanibalismenya. Saat memasuki kawasan, kita akan melihat rumah-rumah adat Batak di sebelah kirinya, lalu di tengahnya terdapat pelataran dan pohon besar yang di bawahnya terdapat meja dan batu yang dahulu digunakan untuk persidangan. Aktivitas selanjutnya adalah menari Tor-tor bersama, lalu menyaksikan Bella belajar menenun.


Saat sore menjelang, kami melanjutkan ke destinasi berikutnya ke atas bukit sambil menikmati teh tarik dan makanan tradisional, yaitu Ombus-ombus, yang rasanya mirip kue putu. Pada malam harinya, kami semua menyaksikan Samosir Jazz Season dan sekaligus sebagai puncak acara Explore Budaya Mixagrip. Meski diguyur hujan deras, para penonton tetap antusias menikmati acara sambil berteduh di Lopo Inn, tapi ada juga beberapa penonton yang nekat hujan-hujanan demi bisa berfoto dengan Bella di depan panggung, karena mereka sudah tau apa yang harus dilakukan ketika terserang flu, yaitu minum Mixagrip.


Malam itu acara ditutup dengan syahdu, sambil menyantap pizza Andaliman khas Batak di genggaman. Meskipun ada beberapa destinasi yang belum sempat dikunjungi, saya merasa cukup puas bisa mengeksplorasi danau Toba, mengenal kebudayaan baru, makanan unik, serta menikmati indahnya alam bersama teman-teman baru. Semua ini bisa terlaksana berkat Mixagrip, terima kasih Kalbe dan rekan-rekan media, semoga bisa kembali mengeksplor tempat-tempat baru, membagi pengalaman, dan memberikan edukasi bagi semuanya.



HORAS !!!

No comments:

Post a Comment