Merasakan Dahsyatnya Jalur Baturaden Gunung Slamet
Ini adalah kali ketiga saya mendaki Gunung Slamet. Sebelumnya saya pernah mendaki via Bambangan (Purbalingga) 16 Agustus 2008, dan via Guci (Tegal) 20 November 2015, tepat ketika saya berulangtahun yang kesekian.
Kali ini saya mendaki dalam jumlah besar, bisa dibilang pendakian massal karena membawa peserta sekitar 50 orang, ditambah lagi panitia berjumlah 20 orang yang tergabung dalam event Cozmeed #EatSleepHike7.
Malam itu selepas pulang dari kantor, saya berangkat menuju Stasiun Pasar Senen. Sebenarnya jadwal kereta ke Purwokerto pukul 05.30, maka agar tidak terlambat saya memutuskan untuk menginap di stasiun. Saat sampai stasiun sudah ada Nazar dan bang Dedy, lalu tidak lama kemudian datang rombongan dari Bekasi. Malam itu kami menunggu pagi dengan tidur di emperan toko di dalam stasiun. Tanpa mengeset alarm, saya sudah dibangunkan oleh satpam saat menjelang Subuh.
Sampai stasiun Purwokerto sekitar pukul 11.00, dari situ kami lanjutkan ke tempat meeting point nya yaitu di Cartenz Adventure Store. Di sini kami berkenalan dengan para peserta dari daerah lain dan mempersiapkan perbekalan untuk pendakian. Sore hari sekitar pukul 17.00 para peserta berangkat menuju Palawi di Baturaden menggunakan bis. Meskipun begitu panitia masih ada yang standby hingga pukul 11 malam, menunggu beberapa peserta yang ijin untuk datang terlambat.
Hujan mulai turun ketika para peserta sampai di Pendopo Baturaden. Setelah makan malam, semua berbaur melakukan perkenalan antar peserta dan panitia, acara selanjutnya adalah pembekalan materi Manajemen Pendakian oleh bung Pherle dan presentasi “Memparodikan Permasalahan di Alam Bebas Melalui Instagram” oleh saya sendiri. Acara malam ini diakhiri dengan briefing untuk pendakian esok pagi, karena dijalur Baturaden ini tergolong panjang dan sulit sekali.
25 Maret 2016
Setelah sarapan dan melakukan pemanasan, semua peserta naik menuju titik pendakian yang berada di ketinggian sekitar 630 mdpl. Di titik pendakian ini sama sekali tidak ada pintu gerbang dan penunjuk arahnya, jadi bagi yang belum pernah ke sini kemungkinan akan ambil jalan yang lurus, padahal jalur sebenarnya ada di sebelah kanan. Di sini para peserta masih bersenda gurau, padahal di depan masih banyak tanjakan terjal dan sempit yang menanti untuk dilewati.
Dari titik pendakian menuju Pos 1 ditempuh sekitar 1 jam. Saat tiba di Pos 2 waktu menunjukkan pukul 12.00, waktunya istirahat makan siang. Di Pos 2 ini merupakan tempat datar yang cukup luas dan terdapat aliran air. Setelah beristirahat dan mengisi perut, perjalanan dilanjutkan menuju Pos Tentara, yaitu tempat camp hari pertama. Saat sampai di Pos Patok, ternyata ada beberapa pendaki yang fisiknya bermasalah, sehingga terpisah menjadi 2, namun masih ada panitia dan tim sweeper yang mendampingi.
Tiba-tiba di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya dan menjadi-jadi, gelap pun mulai datang, namun kami masih berjuang untuk mencapai camp Pos Tentara. Semak-semak yang tinggi dan rapat membuat kami kebingungan mencari arah jalur, dengan seksama kami lihat tanda berupa tulisan kecil berwarna oranye dari Tim Advance yang digantungkan di ranting pohon untuk membantu navigasi. Beban tas semakin berat karena guyuran air hujan, tangan saya menjadi dingin dan kaku, untung saja hati saya tidak ikutan kaku, ditambah lagi kedua paha yang kram membuat saya kesulitan untuk melangkah. Maka dari itu saya putuskan untuk berjalan perlahan membuat ritme tersendiri. Tampak 3 langkah di belakang saya ada Nespi, salah satu peserta pendakian. Kami hanya jalan berdua, sementara tim paling depan dan belakang terpaut cukup jauh. Sambil banyak berdoa saya melangkahkan kaki yang sangat berat ini agar cepat sampai Pos Tentara.
Sekitar pukul 18.00 sebagian tim sudah sampai camp Pos Tentara, dan mengganti pakaian mereka dengan yang kering agar tidak hipotermia. Sementara itu sebagian peserta lainnya memutuskan camp di Pos 3 karena fisik mereka drop tidak dapat mencapai Pos Tentara sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Masalah yang dihadapi adalah pembagian logistik dan tenda. Ada beberapa peserta yang tendanya masih dibawa tim peserta yang di belakang, begitu juga sebaliknya dengan logistik. Untung saja yang camp di Pos Tentara masih ada tempat untuk berbagi dengan peserta yang tidak membawa tenda.
26 Maret 2016
Aktivitas pagi ini diisi dengan menjemur pakaian dan perlengkapan yang basah, maklum kemarin sore hujannya sangat deras sekali. Ada beberapa peserta yang sedang masak dan juga melakukan hajatnya di balik semak-semak. Untuk sumber air tidak perlu khawatir, karena di pos ini ada cerukan kecil yang terdapat air bersihnya.
Setelah mendapat kabar bahwa tim yang camp di Pos 3 melakukan pergerakan ke atas, kamipun segera packing. Tapi sayangnya ada sekitar 6 peserta tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Puncak karena kondisi fisiknya tidak memungkinkan, maka dari itu mereka pun turun kembali dengan ditemani tim sweeper.
Anggi, salah seorang peserta dari Jogja memutuskan untuk turun kembali dan tidak dapat melanjutkan perjalanan. Memang sih, pada awal pendakian dia terlihat kurang sehat, tapi setelah saya beri obat dan tasnya saya bawakan kondisinya sudah semakin membaik. Sayang sekali, di Pos ini dia menyerah, dan saya tidak bisa memaksakan kehendak. Setelah Anggi turun, ada juga peserta yang ingin menyusul turun, namanya Hakim. Peserta yang berwajah Arab ini ingin menyerah begitu saja. Saya melihat kondisinya sehat, cuma mentalnya agak "terganggu". Maka dari itu saya beri dia motivasi dicampur dengan pisuhan dan ancaman push up. Dari situ ia berubah pikiran, dan melanjutkan perjalanan hingga tuntas.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Plawangan atau batas vegetasi. Di sinilah kami akan bermalam di hari ke-dua. Trek dari Pos Tentara menuju Plawangan semakin banyak menanjak dan sempit. Terkadang lutut harus terpaksa bertemu dengan hidung, dan beberapa kali harus dibantu menggunakan webbing.
Setelah melewati Pos 4 kami dihadapkan pada sebuah lorong sempit. Di lorong ini para pendaki harus merayap dan melepaskan carriernya, karena sempit sekali, persis seperti latihan militer. Sekitar pkl 13.00 kami sampai di Pos Badai. Pos ini berada di punggungan bukit. Untuk menuju Plawangan masih harus menanjak lagi dan melewati Pos Pertigaan. Di Pos ini merupakan pertemuan jalur Baturaden dengan jalur Sawangan. Dari sini jalur sudah semakin landai karena melewati punggungan yang bekas terbakar, sementara itu kabut perlahan menyelimuti sehingga harus hati-hati dalam memilih jalur agar tidak tersesat.
Pada pukul 14.50 sebagian peserta sudah sampai di Plawangan. Sementara itu sebagian lainnya masih dalam perjalanan. Di Plawangan ini cuacanya sangat cerah, sehingga kita bisa melihat puncak Slamet dari kejauhan.
Malam itu terasa syahdu, karena sang bulan menampakkan sinarnya yang terang di gunung ini.
27 Maret 2016 (Summit Attack !)
Setelah mendapatkan briefing tadi malam. Para peserta bangun sekitar pukul 03.00 untuk sarapan, karena harus mendaki puncak sepagi mungkin untuk menghindari kabut jika terlalu siang.
Jalur menuju puncak Slamet sangatlah terjal dan miring, dengan medan berupa batuan vulkanik merah khas Slamet dan juga pasir. Maka dari itu disarankan menggunakan gaiter untuk mencegah pasir atau batu masuk ke sepatu dan gunakan juga trekking pole untuk membantu naik dan menopang tubuh, terlebih lagi semua peserta membawa tas carrier hingga ke puncak, jadi beban bertambah berat.
Hakim yang sebelumnya ingin turun kembali, kali ini semangat sekali untuk mencapai puncak, ocehan untuk menyemangati saya selalu saja dia keluarkan. Yapp, kali ini saya yang bermasalah. Saya masih teringat saat terperosok di jalur Guci saat salah jalur untuk mencapai puncak 3 bulan lalu. Maka dari itu saya memutuskan untuk naik perlahan dan sangat hati-hati sekali. Kadar oksigen di sini sangat tipis. Saya selalu berhenti untuk mengatur napas setelah 10-15 langkah naik, karena kalau dipaksakan langsung naik akan merusak otak dan paru-paru.
Pada pukul 08.00 para pendaki sudah sampai puncak bibir kawah. Dari sini terlihat jelas puncak jalur Guci dan juga Gunung Ciremai dari kejauhan. Untuk menuju puncak tertingginya masih harus melipir bibir kawah yang menanjak dan sempit. Perlu kehati-hatian yang sangat ekstra, mengingat jalur ini sangat sempit dan berbahaya, karena di sebelah kiri terdapat kawah menganga dan sebelah kanannya berupa jurang yang dalam, jika lengah sedikit bisa celaka. Entah seberapa dalam, yang pasti tidak sedalam cintaku padamu #eeaa
Sambil berjalan menuju puncak tertinggi, saya membuat video sendiri. Kenapa sendiri ? Karena saya sudah terbiasa begini :(
Jika mendaki dari Baturaden dan menuju ke Bambangan, maka akan melewati Puncak Tugu Surono. Puncak ini dinamakan demikian karena untuk mengenang Surono yang tewas di Puncak Gn. Slamet.
Dari Tugu Surono untuk menuju Puncak Bambangan yang merupakan puncak tertingginya masih harus melewati bibir kawah lalu turun ke lembah dan menanjak sedikit lagi.
Setelah puas di puncak, para peserta turun melalui jalur Bambangan. Di jalur Bambangan ini berbanding terbalik dengan Baturaden, karena sangat ramai sekali, dan banyak memiliki tempat datar untuk mendirikan tenda. Bahkan saat ini ada warung hampir di setiap posnya.
Untuk turun menuju basecamp Bambangan masih harus ditempuh lagi sekitar 4 jam perjalanan melewati banyak jalur air.
Sebagian besar peserta sudah sampai basecamp Bambangan sekitar pukul 21.00 dengan susah payah, mengingat tenaganya sudah terforsir saat mendaki dari Baturaden. Untungnya mereka semua bisa turun kembali dengan selamat dan tidak lupa membawa serta sampahnya sampai ke bawah.
seru banget kak.. jadi mau naik gunung lagi. hhe
ReplyDeleteBulan Mei tuhh ada libur panjang, lumayaan.
ReplyDeleteMenginspirasi..
ReplyDeleteMakasih :)
ReplyDeleteiyaa memang rencannya mau naik gunung guntur tanggal 4 berangkatnya
ReplyDelete