Mendaki Sang Anak Gunung Krakatau


 Malam itu, 24/4/2016 sekitar pukul 00.00 kami dibangunkan oleh Bacin yang masuk ke dalam villa ex. Green Garden Anyer sambil teriak-teriak menggunakan megaphone. Setelah pikiran sadar penuh dan packing ulang barang-barang, saya bergegas menuju keluar. Dari kejauhan masih tampak kilatan-kilatan petir yang menyambar dan juga hujan yang turun di tengah laut. Saya pun teringat akan kisah letusan Gunung Krakatau yang maha dahsyat.
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula.... Ketika air menenggelamkannya, pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan pulau Sumatera.

Yapp, catatan dari teks Jawa Kuno mengenai letusan Gunung Krakatau Purba menghantui pikiran saya malam itu. Ada rasa takut saat mengikuti perjalanan ini, karena inilah kali pertama saya berlayar tengah malam menuju suatu pulau yang cukup berbahaya.

Ketakutan saya semakin bertambah saat briefing Adit bilang bahwa jumlah pelampung yang tersedia kurang mencukupi dengan jumlah peserta yang ikut. Jadi, orang-orang yang pintar berenang harus mengalah untuk tidak menggunakan pelampung. Dalam hati saya berharap semoga para peserta yang ikut banyak yang mahir berenang, sehingga saya bisa memakai banyak pelampung saat darurat.

Sekitar pukul 02.00 kami mulai menyeberang ke Anak Gunung Krakatau menggunakan 3 kapal nelayan. Perjalanan dari Anyer ditempuh dalam waktu 3 jam. Selama perjalanan saya sempatkan untuk tidur untuk memulihkan tenaga. Suatu ketika gelombang semakin besar dan air laut masuk ke dalam kapal sehingga membuat saya terbangun karena jeketnya basah.

Setelah semalaman terombang-ambing di lautan, pada pukul 04.53, kapal kami sudah memasuki kepulauan Krakatau. Terlihat Pulau Panjang yang seolah-olah semakin mendekat, dan di baliknya ada Anak Gunung Krakatau yang perlahan-lahan mulai terlihat.

Lega rasanya bisa menemukan pulau ini. Tapi sayangnya butuh waktu lama untuk kapal menepi ke daratan, karena tidak adanya dermaga, sehingga membuat para awak kewalahan untuk menahan kapalnya agar tidak terseret arus. Padahal ini sudah lama sekali, tapi entah kenapa tidak dibangun dermaga untuk memudahkan  berlabuh kapal-kapal kecil.


Di Pulau ini terdapat sebuah pos penjagaan yang dijaga oleh Polisi Hutan. Semua yang berkunjung harus melapor terlebih dahulu karena memasuki kawasan Cagar Alam yang dilindungi.

Setelah Adit melakukan registrasi dan laporan kepada Polhut, saya berharap Polhut tersebut mendampingi dan memandu kami selama di gunung ini, tapi ternyata setelah ditunggu-tunggu orangnya gak datang juga. Akhirnya dengan rasa kesal kami mulai naik dan mencari tahu sendiri informasi tentang gunungnya tersebut. Padahal kami sudah membayar cukup mahal.

Biasanya kita mendaki gunung dari titik awalnya rata-rata sudah berada di ketinggian 1000 mdpl (Meter Di Atas Permukaan Laut). Namun tidak dengan Anak Gunung Krakatau, inilah salah satu keistimewaannya, gunung ini didaki mulai dari ketinggian 0 mdpl, karena memang letaknya di tengah laut.

Perjalanan pertama diawali dengan menembus hutan dan hamparan pasir hitam, tidak lama kemudian sudah mencapai batas vegetasi. Jarak dari pantai ke punggungan gunung dapat dicapai sekitar 20 menit. Setelah melewati batas vegetasi jalur sudah semakin menanjak melewati pasir dan berbatu, mirip sekali dengan Semeru. Tapi jalur gunung ini masih sangat aman, meskipun begitu tetap disarankan untuk memakai sepatu gunung.

Di sini seperti biasanya saya berjalan sendiri, sementara temen-temen satu kelompok sudah pada naik duluan. Saya memang ingin mengamati lebih lama proses pendakiannya, dan juga membayangkan bagaimana sejarah letusan yang dahsyat pada masa lalu. Alam raya memang tempat belajar paling terbaik, karena di sinilah kita bisa mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi, tentang sebab-akibat, dan lainnya.

Saat sampai pertengahan jalan saya bertemu dengan Riska yang sedang duduk manyun sambil merapikan make up nya. Dia tampak kelelahan dan sudah menyatakan menyerah ingin turun kembali. Dari penampilannya sih dia memang salah kostum untuk mendaki gunung ini. Yaaa, seperti biasa, jika ketemu orang yang menyerah saya selalu memberinya minum, lalu menyuruhnya untuk push-up. Berhubung dia gak mau push up, maka saya tarik paksa menggunakan webbing agar bisa sampai puncak dan gak melarikan diri ke bawah.


Setelah perjuangan menarik kambing Riska, akhirnya sampai juga di punggungan gunung. Sayang sekali….di sinilah batas aman pendakiannya yang diperbolehkan. Semenjak tahun 2011 tidak diperkenankan lagi untuk mendaki sampai puncak kawahnya, karena jalurnya sangat miring dan juga adanya bahaya gas beracun.


Ibarat bisul, gunung ini juga bisa tumbuh semakin membesar dan memuntahkan lava nya jika dapur magmanya sudah penuh. Saat ini ketinggian Anak Gunung Krakatau lebih dari 300 mdpl, tapi nanti ketinggiannya bisa bertambah, karena kecepatan pertumbuhannya bisa mencapai 20 kaki pertahun.

Apakah Anak Gunung Krakatau bisa menjadi sebesar induknya dan meletus dahsyat seperti pada tanggal 27 Agustus 1883 ? Hmmm…menurut saya kemungkinan bisa terjadi, tapi itu membutuhkan waktu yang suangat luamaa.

Saat berada di punggungan ini, saya merasa berada di Pasar Bubrah Gunung Merapi, karena kontur dan batuannya mirip sekali. Dari bawah terlihat asap tipis yang keluar dari kawahnya.

Di sebelah selatan tampak terlihat Pulau Rakata yang tinggi menjulang. Pulau itulah yang merupakan bagian dari induk Gunung Krakatau yang meletus secara dahsyat. Jika dilihat dari Anak Gunung Krakatau, pulau Rakata terlihat jelas sekali seperti seolah-olah terbelah teriris oleh pisau raksasa.



Jadi, sebelum 1883 terdapat Pulau Krakatau, Pulau Panjang, dan Pulau Sertung. Di Pulau Krakatau tersebut terdapat 3 gunung api, yaitu Rakata (atau biasa disebut Krakatau), Danan, dan Perbuatan. Lalu pada 27 Agustus 1883, Krakatau meletus dahsyat hingga menghancurkan 60% bagian pulaunya.

Munculnya Anak Krakatay. Foto : Troppen Museum


Pada tahun 1927 setelah Krakatau meletus, muncul gunung api dari kaldera purba yang masih aktif, dan semakin lama semakin membesar. Gunung itulah yang saat ini kita kenal dengan Anak Gunung Krakatau.


Setelah melakukan pengamatan, saya turun melewati jalur selatan yang memutar. Di jalur ini terlihat batuan vulkanik merah seperti di gunung Slamet. Uniknya, batuan yang merupakan lelehan lava gunung api ini meleleh ke laut sehingga menambah luas wilayah pulau ini dengan sendirinya.


Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya ketahui dan mengeksplor tentang gunung ini, tapi waktunya terbatas, karena siang hari kami sudah harus kembali ke Anyer untuk menghindari gelombang laut yang cukup besar.

No comments:

Post a Comment