Kawalu, Bulan Puasanya Masyarakat Baduy [Part 1]


Ini adalah kali ke-lima saya mengunjungi suku Baduy yang terletak sekitar 2,5 jam dari rumah saya. Pada kesempatan ini saya hanya berdua bersama Arga untuk berkolaborasi dalam membuat proyek buku foto dokumenter.


1 Mei 2013


Ketika itu hari masih gelap, kami bergegas menuju Stasiun Cilegon untuk naik kereta jurusan Rangkasbitung. Demi mengejar waktu, kami memutuskan untuk memilih kereta kelas ekonomi AC yang berangkat pukul 05.53. Sampai di Stasiun Rangkasbitung pukul 06.55, setelah itu kami mencari warung untuk sarapan terlebih dahulu. Setelah perut terisi, perjalanan kami lanjutkan naik angkot ke Terminal Awe. 

Di terminal ini kami naik angkot mini bus jurusan Ciboleger. Sedikit sekali orang yang ingin menuju terminal Ciboleger, karena daerah tersebut adalah daerah pelosok dan merupakan terminal terakhir sebelum memasuki kawasan Baduy, terlebih lagi pada waktu itu bukan hari liburan sekolah. Maka untuk mencapai Ciboleger, angkutan tersebut harus terisi penuh dengan penumpang terlebih dahulu. Alhasil kami pun terpaksa menunggu di dalam mobil selama satu jam.

Terminal Ciboleger

Setelah lama menunggu, datanglah beberapa orang masuk ke dalam mobil, dua diantaranya memakai Lomar, yaitu kain biru penutup kepala khas Baduy Luar. Memang, bagi orang Baduy Luar diperbolehkan untuk menaiki kendaraan, sedangkan orang Baduy Dalam dilarang mengenakan alas kaki dan menaiki kendaraan.

Perjalanan dari Rangkasbitung menuju terminal Ciboleger ditempuh selama 1 jam, melewati jalan aspal yang bergelombang dan berbukit-bukit. Sang supir angkot yang kami tumpangi tetap memaju kecepatan walaupun jalan tersebut sempit dan rusak. Di dalam angkot, selama perjalanan hanya kepasrahan dan doa yang bisa kupanjatkan. Dan aku yakin, ini adalah bagian dari petualangan yang harus dihadapi. 

Sekitar 7 km menjelang Ciboleger, kami sedikit terhambat dikarenakan jalan yang kami lalui telah longsor dan tinggal menyisakan separuh jalannya. Jurang menganga sekitar 20 meter di sebelah kanan berhasil kami lewati, dan beruntung waktu itu tidak sedang hujan.

Sampai di Terminal Ciboleger kami langsung disambut para tukang ojeg yang menawarkan untuk menjadi guide. Untuk menolaknya aku bilang saja kepada mereka kalau aku sudah sering ke Baduy dan akan menginap di rumah Pak Syarif, sesepuh di Baduy Dalam. Seketika mereka semua langsung terdiam dan tidak mengganggu kami lagi, karena seringkali mereka memaksa agar kita mau memakai jasanya.

Pukul 10.45 kami mulai berangkat dengan berjalan kaki menuju Kampung Baduy Luar. Setiap tamu yang berkunjung ke Baduy diharuskan melapor terlebih dahulu kepada Jaro Dainah. Jaro adalah sebutan dari kepala kampung. Dalam hal ini adalah kampung Baduy Luar di Desa Kanekes. Rumah Jaro Dainah tidak jauh dari gapura tempat masuk kawasan Baduy, sekitar 300 meter. 

Sesampainya di rumah Jaro, kami langsung memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan ke Baduy. Tidak ada tarif khusus untuk memasuki kawasan Baduy, cukup mengisi buku tamu dan membayar seikhlasnya. Di rumah Jaro Dainah sedang ada pertemuan dengan beberapa warga Baduy Luar dan dua orang Baduy Dalam. Mereka sedang membicarakan tentang Seba. Seba adalah seserahan hasil bumi dari warga Baduy Luar dan Dalam kepada Gubernur Provinsi Banten, dan dilakukan setelah bulan Kawalu selesai.

Jaro Dainah (sebelah kiri), Ayah Mursyid ikat kepala putih.

Ternyata hari itu masih merupakan bulan Kawalu. Bulan Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy yang diadakan sesuai penanggalan Baduy, biasanya mulai awal Februari hingga awal Mei. Selama bulan tersebut kampung-kampung di Baduy Dalam tertutup dan tidak boleh dikunjungi oleh orang dari luar Baduy. 

Menurut berita yang ada di media massa saat ini menyebutkan kalau warga Baduy melakukan puasa pada bulan Kawalu selama 3 bulan penuh. Tapi hal itu dibantah oleh Jaro Dainah, beliau menjelaskan bahwa puasanya hanya 1 hari pada tiap bulannya. Tahun ini kawalu mundur dari biasanya dikarena beberapa hal dan salah satunya musim panen Padi Huma yang tidak serempak karena terjadinya perubahan musim tanam.

Karena saat itu masih berlangsung bulan Kawalu, otomatis kami tidak dapat mengunjungi Baduy Dalam. Beruntung waktu itu ada seorang tokoh Baduy Dalam dari Kampung Cibeo menawarkan diri untuk menginap di rumah anaknya di Baduy Luar dan beliau senantiasa memberikan informasi tentang Suku Baduy. 

Seorang pria perawakan tegap dengan kumis rapi itu adalah Pak Alim, atau orang sekitar biasa memanggilnya dengan Ayah Mursyid. Buatku wajahnya sangat familiar sekali, karena sebelumnya dia pernah tampil di beberapa acara dokumenter di stasiun televisi nasional.

Bersambung….[Part 2]

No comments:

Post a Comment