Kawalu, Bulan Puasanya Masyarakat Baduy [Part 2]

Lanjutan…[Part 1]


Setelah berbincang-bincang di rumah Jaro Dainah, Pak Alim pun mengutus anak bungsunya yang bernama Misja (15th) untuk mengantar kami ke rumah Kakaknya yang merupakan warga Baduy Luar. Penguasaan Bahasa Indonesia Misja sangat kurang sekali, dan kami pun mencoba memahami sekenanya Bahasa Sunda yang diucapkannya. Perjalanan dilanjutkan menuju kampung Gajeboh yang berjarak 5km dengan melintasi jalan setapak yang berbatu dengan didominasi tanah dan tanjakan, serta beberapa kali menyeberangi sungai kecil. 

Cuaca saat itu panas sekali, sehingga membuat tubuh kami cepat lelah. Jalan di Baduy berbukit-bukit dengan ketinggian sekitar 400 mdpl dan udaranya pun panas sekali, tidak seperti di gunung pada umumnya. Setelah berjalan kurang lebih 1 jam, akhirnya kami sampai di sebuah jembatan bambu di Kampung Gajeboh. 

Setelah beristirahat sejenak, kemudian Misja menyuruh kami untuk melanjutkan perjalanan, dan ternyata rumah kakaknya berada tidak jauh dari rumah Jaro Dainah. Jadi kami terpaksa berbalik arah lagi melewati jalan sebelumnya yang telah kami lewati. Tapi kemudian Misja menggunakan jalan alternatif dengan mengambil jalur yang memotong bukit. Di sinilah kekuatan fisik kami benar-benar diuji, karena harus melewati tanjakan yang panjang dan terjal dengan membawa beban yang berat di pundak disaat matahari benar-benar memancarkan sinarnya.


Warga Baduy Luar melewati jembatan bambu.
 Pukul 14.30 sampai juga di rumah Mursyid, kakak dari Misja, di kampung Cicampaka. Di kampung ini hanya terdiri dari 8 rumah. Di rumah yang kami tempati sepertinya belum lama dibangun, karena kayu dan bambunya masih bersih dan bagus. Rumah ini tergolong mewah buat warga Baduy, karena handle pintunya sangat modern sekali, dan memiliki kamar mandi sendiri, walaupun belum jadi. Di dalam rumahnya terdapat kalender dan juga stiker kampanye partai politik. Tapi ada sebuah foto yang mengagetkanku, yaitu foto beberapa warga Baduy Dalam bersama Presiden SBY dan Ibu Ani di Istana Negara, Jakarta. 

Ketika sampai di rumah tersebut, kami langsung beristirahat untuk memulihkan tenaga. Sementara itu sambil menunggu sang kakak pulang dari ladang, Misja memasakkan air dan mie instan untuk kami. Tidak lama kemudian, Pak Alim datang membantu Misja memasak dan juga mengobrol dengan kami, menjelaskan tentang Baduy dan juga pengalamannya ketika bertemu Presiden SBY. 

Sekitar pukul 15.30 Mursyid dan istrinya baru pulang dari ladang. Ternyata mereka lebih muda dari yang aku bayangkan. Mursyid baru 17 tahun, tapi sudah menikah. Memang, di Baduy rata-rata warganya menikah pada usia muda. Istri Mursyid tampak cantik sekali, kulitnya putih bersih, tapi dia sangat pemalu, tidak suka mengobrol dengan orang asing apalagi difoto.


Misja & Mursyid
Ayah Mursyid berfoto dengan SBY


Sejak 2 tahun lalu, Mursyid memutuskan keluar dari kampung Cibeo di Baduy Dalam, karena menikah dengan warga Baduy Luar, dan otomatis sekarang dia menjadi warga Baduy Luar, sehingga tidak mematuhi peraturan adat di Baduy Dalam lagi. Walaupun begitu, Mursyid masih dianggap sebagai keluarga Pak Alim, tokoh di Kampung Cibeo - Baduy Dalam. Sore itu kami makan bersama dengan menu nasi, mie, dan juga ikan asin yang kami bawa dari rumah. Karena orang Baduy sangat menyukai sekali ikan asin. Di sini lah kebersamaan itu terjalin, tidak peduli sesederhana apa makanan yang kami makan. 

Malam harinya di kampung ini sepi sekali, hanya ada percakapan dua tetangga di depan rumah, dengan hanya diterangi lampu tenaga surya. Suasana begitu tenang sekali, tanpa ada gangguan suara kendaraan, deringan ponsel, dan juga televisi. Kadangkala kita butuh ketenangan seperti ini, menjauh dari hiruk-pikuk kota besar dengan segala kepenatan rutinitas sehari-hari. Melupakan sejenak tugas-tugas kuliah, dan berkontemplasi untuk melahirkan ide-ide yang segar bagi seorang seniman. Suara nyanyian serangga di hutan mengiringi kami ke dalam alam bawah sadar, yang menandakan bahwa kami harus segera tidur, karena esok pagi masih harus melakukan eksplorasi lagi, selain itu Misja, Mursyid dan istrinya juga telah tidur di kamar masing-masing.

Makan bersama dengan lauk ikan asin sebagai andalan

2 Mei 2013


Sekitar pukul 05.00 kami terbangun oleh suara ayam yang berkokok tepat di bawah kami, karena rumah di Baduy Luar berbentuk panggung beralaskan bambu, dan ayam-ayamnya berada di bawahnya. Pagi itu udara dingin masih menyelimuti, dan hal ini kontras sekali dengan udara saat siang hari yang begitu panas. Di luar rumah, tampak beberapa orang tetangga yang hilir mudik di tengah kabut tipis, mereka sudah mulai pergi ke ladang. Letak ladangnya jauh dari tempat tinggal mereka. Biasanya mereka menanam padi gogo, dan juga mengambil dari hasil hutan seperti madu, rotan, gula aren, dan tanaman-tanaman khas di bukit di bawah ketinggian 1000 mdpl. 

Setelah sarapan, kami diajak oleh Misja untuk mengeskplor kampung itu, melihat proses pembuatan koja (tas tradisional khas Baduy). Koja dibuat dari kulit kayu yang orang Baduy biasa menyebutnya kayu teureup. Kayu teurup dikuliti hingga tipis kemudian dikeringkan, setelah kering dipintal menggunakan alat tradisional dan hasilnya akan berbentuk seperti benang. Setelah menjadi benang, kemudian dirajut manual menggunakan tangan menjadi sebuah tas. Tas tersebut dijual dengan harga Rp 20.000.





Perjalanan terakhir kami lanjutkan sekaligus pulang ke Cilegon. Maka dari itu kami pun pamit kepada Mursyid dan istrinya dan juga memberikan bantuan beras dan ikan asin. Untuk menyingkat waktu, Misja menggunakan jalur lain untuk sampai ke desa Kaduketeur, desa yang terdekat dengan pintu keluar ke Ciboleger. Di sepanjang perjalanan banyak sekali percabangan, karena yang kami lewati ini bukan jalur pengunjung umum, dan bagi yang tidak tahu jalan pasti akan tersesat masuk ke hutan. 

Menjelang kampung Kaduketeur ada terdapat beberapa leuit atau lumbung padi. Leuit tersebut di tempatkan di dekat gubuk tempat beristirahat ketika berladang. Sesampainya di kampung Kaduketeur, kami berhenti sejenak di rumah warga Baduy Luar. Tidak lama kemudian seorang wanita pemilik rumah keluar dan menawarkan madu hutan dan souvenir khas Baduy. Lantas aku membeli kain lomar, tas koja untuk tempat minum, dan juga madu. Harganya pun sangat murah. Tidak jauh dari rumah tersebut ada juga beberapa wanita yang sedang menenun, dan di situ kami memperhatikan proses pembuatannya.


Warga Baduy Luar menonton TV di sebuah warung.
Kalau ke Baduy jangan lupa beli madu asli.

 Setelah puas memotret proses menenun, perjalanan kami lanjutkan ke Ciboleger, tempat menunggu angkot. Ketika melewati pasar sebelum Ciboleger, terlihat sekumpulan wanita Baduy Luar sedang asik menonton televisi, langsung saja kuarahkan lensa kameraku, karena orang Baduy Luar tidak suka difoto. Tepat pukul 10.30 kami sampai di Ciboleger, beruntung sekali saat itu masih ada angkot. Karena angkot terakhir menuju Rangkasbitung adalah pukul 13.00. 

Sambil menunggu angkot berangkat, kami duduk-duduk di depan warung, begitu juga Misja. Dari wajahnya yang polos itu, dia tampak sedih sekali melepas kepergian kami berdua, begitu juga sebaliknya. Pertemuan dua hari dirasa sangat singkat sekali bagi kami, karena saat ini dia tidak merasa canggung lagi dan mulai akrab. Bagi kami, bisa berkenalan dengan Misja, dan keluarganya sangatlah berkesan, banyak pelajaran yang bisa kami petik dari perjalanan ini. 

Kesederhanaan dan jauh dari modernitas membuat mereka bebas dari sifat konsumerisme. Serta kehidupan yang selaras dengan alam dan juga keteguhan menjaga adat istiadatnya merupakan contoh yang patut diteladani.

Akomodasi :
Kereta Cilegon - Rangkasbitung : Rp 20.000 ( Ekonomi AC )
Angkot Stasiun - Terminal Awe : Rp 3.000
Terminal Awe - Ciboleger : Rp 15.000
Iuran sukarela ke Jaro : Rp 10.000 ( 2 org )
Menginap di Baduy Luar ( sukarela ) : Rp 50.000 ( 2 org )

Tips :

- Waktu yang tepat ke Baduy adalah bulan Juni - Desember, karena Januari - Mei biasanya ada Kawalu.
- Bagi yang baru pertama kali berkunjung diharapkan membawa teman yang sudah berpengalaman, atau menyewa guide yang terpercaya.
- Angkot dari Ciboleger ke Rangkasbitung terakhir pukul 13.00.
- Bawa jas hujan, karena cuaca di Baduy sulit diprediksi.
- Bawa ikan asin, beras, atau mie instan untuk diberikan kepada tuan rumah.
- Sampah harus di bawa lagi keluar kawasan.
- PATUHI ATURAN ADAT ISTIADAT SETEMPAT !!!

No comments:

Post a Comment