Ketika "Fotografer" Mengabaikan Etika Dalam Memotret
Etika yang Diabaikan
Banyak dari para pehobi fotografi tersebut berbondong-bondong mempelajari berbagai teknik fotografi dan juga hunting ke berbagai tempat dengan menghasilkan karya foto yang bagus-bagus. Tidak salah memang, namun yang menjadi masalah adalah soal etika para “fotografer” tersebut dalam memotret. Banyak orang yang menghalalkan berbagai cara agar bisa mendapatkan foto yang menurut mereka bagus, seperti dengan mencari komposisi dan angle yang ekstrim tanpa mengindahkan keadaan di sekitarnya.
Suatu contoh adalah ketika perayaan Melasti di Pantai Parangkusumo dalam rangkaian Perayaan Hari Raya Nyepi 2013.
[gallery ids="162,173"]
Deskripsi
Seorang pemuka agama Hindu yang mengenakan pakaian serba putih sedang bersembahyang melakukan ritual menghadap ke arah pantai. Di sekelilingnya terdapat kumpulan fotografer yang memotretnya dari dekat, dengan angle frontal dari depan. Para fotografer itu tampak tidak peduli dengan situasinya, mereka semua serius mengabadikan frame demi frame untuk mendapatkan hasil dengan angle dan komposisi yang terbaik. Dan sang pemuka agama tersebut juga tetap khidmat seperti tidak menganggap bahwa ada orang-orang di sekitarnya, dan mungkin saja dalam hatinya merasa terganggu atas kehadiran fotografer-fotografer tersebut.
Analisis Formal
Foto ini diambil saat siang hari menggunakan lensa focal length 18 mm dan posisinya berada di belakang pemuka agama yang sedang sendirian tersebut sehingga tidak mengganggu jalannya ritual. Sedangkan para fotografer yang mengerubung dan tepat berada di depannya, secara visual saja sangat mengganggu orang yang sedang beribadah. Ditambah pula kedatangan warga sekitar yang melihat aneh terhadap orang yang sedang beribadah tersebut.
Interpretasi
Saat ini banyak fotografer-fotografer di Indonesia yang sangat arogan, tidak mengerti etika yang harus dilakukan ketika memotret acara ritual keagamaan. Padahal ada batasan-batasan tertentu dimana fotografer harus bisa menempatkan diri di tempat yang layak, sehingga tidak mengganggu jalannya ritual. Jika ingin mengambil gambar orang yang sedang beribadah sebaiknya menggunakan lensa tele, jangan menggunakan flash secara frontal dan jangan berada di depannya, karena seolah-olah orang tersebut sedang menyembah para fotografer.
Evaluasi
Dalam foto ini menunjukkan masih banyak para fotografer-fotografer yang tidak memiliki etika. Mereka rela melakukan banyak cara untuk mendapatkan hasil yang terbaik, dan sedekat mungkin dengan objek. Kalau dicermati dengan seksama, mereka adalah orang yang berusia muda dan haus akan jam terbang. Dan rata-rata mereka berasal dari klub/komunitas fotografi. Ironis sekali memang. Ilmu yang didapat ketika mengenyam pendidikan di kampus dan juga klub fotonya masing-masing tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, dan hanya cuma menjadi pelengkap saja di buku catatannya. Fotografi bukanlah sekedar teknis semata, melainkan seni bagaimana kita dapat menghormati keberadaan subjek yang menjadi bidikannya.
Kesimpulan
Fotografi adalah soal bagaimana kita “berkomunikasi” dengan subjek yang difotonya dan mampu menempatkan diri pada situasi tersebut sebaik mungkin. Untuk mendapatkan foto dengan angle dan komposisi yang bagus memang butuh perjuangan yang berat. Tapi bukan berarti harus mengabaikan etika yang ada, sehingga merugikan orang lain. Sebagai fotografer kita dituntut harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat memotret, dan sebisa mungkin menjadi “Invisible Man”, agar keberadaan kita tidak mengganggu orang yang sedang beribadah. Karena hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Pasal 29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Robert Capa pernah berkata, “If your photo aren’t good enough, you’re not close enough”. Quote tersebut jangan diartikan secara mentah-mentah, dengan memotret sedekat mungkin maka hasil foto akan menjadi bagus. Tapi maknailah dengan “sedekat” bagaimana dengan subjek yang akan kita foto, dan bagaimana kita bisa menempatkan diri pada situasi tertentu. Yaitu berpikir dahulu sebelum mengeksekusi.
Bukan berarti orang-orang yang menenteng kamera DSLR dapat bebas hilir mudik ke sana kemari dan memotret seenaknya, karena semua itu tentu ada batasannya. Para penggiat fotografi Indonesia seharusnya bisa lebih dewasa dalam menyikapi hal ini, karena bangsa Indonesia yang konon menganut adab ketimuran tentunya lebih tahu tentang sopan santun dan juga rasa toleransi antar umat manusia.
Yogyakarta, 17 Juni 2013
Renky Spheriks
ga nyangka, tangan dinginya mamangnya bisa juga bikin tulisan beginian :D
ReplyDeletegud job deh :p
Hehehe...tengkiu, ini biar yg motret pada sadar :p
ReplyDelete