Tanjung Peni, Wisata Mangrove Andalan Kota Cilegon
Kota Cilegon memang tidak memiliki banyak tempat wisata alam, karena di sebagian besar wilayah perairannya telah dibangun pabrik. Namun untungnya di kota ini masih memiliki hutan mangrove alias bakau yang tak kalah indah dengan hutan bakau di wilayah Banten lainnya. Tanjung Peni namanya.
Sabtu pagi itu, saya Epil dan Lia menyambangi Tanjung Peni, soalnya mau ke Anyer udah terlalu sering dan lumayan jauh. Sedangkan ke Tanjung Peni paling 30 menit juga udah sampai dan gratis pula, gak kayak Anyer yang parkirnya mahal.
Untuk menuju ke sini aksesnya cukup mudah. Dari Cilegon kota masuklah melalui Kawasan Industri, dulu aksesnya bisa lewat sebelah PT. KHI, tapi sekarang udah ditutup lalu dialihkan melewati depan PT. Krakatau Osaka Steel. Setelah melewati pabrik tersebut nantinya jalan beton akan berakhir, lalu beloklah ke kiri melewati jalan tanah yang cukup panjang.
Sebenernya mobil bisa lewat sini, tapi cukup beresiko karena
jalannya tanah berpasir, sempit, dan kerap berpapasan dengan kendaraan besar.
Jadi disarankan naik motor aja. Asiknya, selama perjalanan ini kita bakal
nemuin beberapa tempat yang unik nan ikonik. Di sebelah kiri jalan kita akan
menjumpai area berpasir yang cukup luas, mirip suasana Dubai pada tahun 1980
sebelum berjaya seperti saat ini.
Nah, gak jauh dari situ kita akan melewati padang rumput tempat menggembala kerbau. Ya, mirip-miriplah sama Taman Nasional Baluran, cuma bedanya di sekelilingnya ada pabrik. Dari padang rumput, kita akan menjumpai tempat yang mirip gumuk pasir Parangkusumo Jogja, sebenernya tempat ini bisa juga dibuat sandboarding. Tapi sepertinya gak lama lagi bakal dibikin pabrik, soalnya udah dikasih patok bendera sebagai tanda.
Pada dasarnya, Tanjung Peni bukanlah tempat wisata, melainkan kampung nelayan. Di sini fasilitas pendukungnya kurang memadai, dan tidak ada tulisan atau papan penunjuk arah, sehingga gak banyak orang yang tau. Sesampainya di Tanjung Peni, kita bisa parkir atau menitipkan kendaraan di warung. Jangan lupa beli jajanan buat bantu perekonomian mereka. Di situ kita bisa langsung nanya ke pemilik warung buat sewa perahu.
Untuk sewa perahu sebenernya mereka gak netapin tarif, justru menyerahkan pada kita mau bayarnya berapa. Cuma pas waktu itu saya mau kasih 50.000 tapi si bapak minta 100.000 untuk 3 orang. Cukup mahal sih kalo cuma rutenya di sekitar situ aja, dan sebentar. Tapi ya udahlah, itung-itung bantu rejeki saat pandemi.
Waktu yang tepat untuk menjelajah ke mangrove adalah pagi hari, karena air sedang pasang. Saya belum tau pasti luas mangrove di Tanjung Peni ini. Cuma bagi saya tempat ini cukup bagus untuk foto preweding, wildlife, ataupun aktivitas memancing. Start dari warung, perahu perlahan jalan masuk ke dalam hutan yang semakin menyempit, sebelum terjebak, si mamang perahu memutarkan perahunya dan berjalan mundur supaya bisa keluar dengan mudah. Beberapa kali perahu terhenti karena cadiknya tersangkut daun bakau di sampingnya.
Air dan angin pagi itu terlihat tenang, saya pun mencoba
memberanikan diri menerbangkan drone dari atas perahu. Setelah sampai di atas,
dari remote mengirimkan sinyal pertanda bahwa baterainya udah hampir habis dan
otomatis bakal turun sendiri. Saya pun baru ingat kalo drone Dji Mavic mini gak
punya fitur follow me, jadi drone-nya bakal mendarat tepat di titik di mana ia
diterbangkan. Karena saat pengambilan gambar perahunya jalan, artinya dia bakal
turun di atas air alias nyemplung. Sadar akan hal itu, saya pun panik dan
langsung minta mamangnya untuk balik lagi menjemput drone yang lagi hovering di
atas air. Syukurlah, masih bisa ditangkap sebelum tenggelam akibat kehabisan
baterai.
Dari kejadian itu saya kapok dan gak mau gegabah lagi soal
nerbangin drone di atas air, apalagi jam terbang saya masih sedikit. Untuk
menenangkan diri, dari hutan mangrove, biar gak rugi, saya coba meminta
mamangnya untuk mengantar ke daratan pantai yang ada di seberang. Sekilas dari
kejauhan nampak seperti pulau berpasir putih, tapi ternyata ini masih daratan
yang sama dengan Pulau Jawa, dan warna putihnya itu terbentuk dari pecahan
karang yang telah mati.
Saat saya berada di sana, ada satu keluarga yang sedang berenang di pantainya. Airnya cukup tenang, nyaris tak ada ombak, karena sudah tertahan batu karang pembatas di tengah laut. Di sini memang gak ada fasilitas apa-apa, jadi kalo mau berenang ya bilasnya di rumah masing-masing. Begitupun saya saat itu lagi mules, jadi terpaksa boker di semak-semak. Untungnya ada botol air minum si mamang, trus ditambahinlah pakai air laut buat ceboknya. Yaa, lumayanlah, daripada cebok pake pasir :D
Secara kesimpulan, Tanjung Peni bisa dijadikan tempat wisata alternatif bagi warga Cilegon, kalo Anyer sedang macet, terutama bagi yang ingin wisata hutan mangrove. Tapi ya itu, jangan berharap lebih karena belum ada fasilitas apa-apa. Maka dari itu persiapkan diri, jangan buang sampah sembarangan. Semoga kehadiran hutan mangrove di Cilegon bisa terus bertahan dari kepungan pabrik yang semakin meluas dan menjadi hiburan murah-meriah bagi warga sekitar.
ka, ada yang lakukan penanaman ga disana ? apa ada info pengelola nya ?
ReplyDelete