Liburan "endoll" ke Pulau Pramuka
BANGKE !!!
Itulah kata yang pertama terlintas dan terucap dari mulut ketika turun dari mobil dan menjejakkan di wilayah ini. Karena macet, pagi itu kami terpaksa jalan kaki sekitar 200 meter ke pintu Pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara. Bagi saya 200 meter itu tidak jauh, tapi masalahnya adalah kita harus melewati jalan yang sangat bau sampah dan menghindari genangan air kotor. Hari itu tidak turun hujan tapi air comberan hitam pekat yang sejajar dengan jalan sudah meluber ke mana-mana, bagaimana kalau hujan, mungkin airnya bisa terminum, hooeekss.
Saya gak habis pikir, banyak juga pedagang yang berjualan makanan di sini, padahal untuk bernapas mencari udara normal pun sulit. Wajar saja, jika warga sini masih membeli air bersih untuk keperluan, minum, mandi, dan mencuci. Selama perjalanan menuju pelabuhan saya selalu mengumpat dalam hati, mengapa sampah-sampah di sini berserakan dan dibiarkan menggunung, membuat saluran air mampet sehingga mengeluarkan semerbak wangi comberan. Padahal, jalur ini adalah salah satu akses menuju Kepulauan Seribu, destinasi wisata yang keren di Jakarta.
Dengan penuh rasa jijik, saya berusaha menghindari cipratan air comberan dan menutup hidung menggunakan masker agar baunya tidak meresap ke dalam kalbu. Sebenarnya dulu saya sering melakukan evakuasi jenazah, baik yang masih fresh maupun sudah membusuk, tapi biasa aja. Tapi entah kenapa ketika melewati jalur ini rasanya ingin muntah. Hal itu ditambah pula dengan kelakuan para tukang ojeg yang menawarkan jasa sambil melawan arus dan berhenti di tengah-tengah jalan sehingga membuat kemacetan. Rasanya pengen menyuruh mereka semua push up di atas air kotor tersebut.
Sementara itu, Ilham dan Rita sudah menunggu di pelabuhan. Kali ini Ilham yang menjadi tour leadernya, dia yang mengurus semuanya. Jadi hari itu yang berangkat berjumlah 8 orang yaitu, Yasin, Rahman, Rina, Mbak Nur, Sofyan, dan saya. Di liburan ini saya dipaksa untuk ikut oleh gank "Endol" nan shyangkraayy. Katanya, kalau saya gak ikut bakal "dipake" sama mereka. Ya sudahlah saya nurut, daripada masa depan terancam -_-
Di pelabuhan ini kapal "Srikandi" telah bersiap mengantarkan kami ke Pulau Pramuka. Ini adalah kali kedua saya traveling ke wilayah Kepulauan Seribu (Kepulauan loh yaa, bukan Pulau). Sebelumnya saya sudah pernah pergi ke Pulau Tidung, tapi menggunakan kapal cepat via Marina Ancol. Namun kali ini saya menggunakan armada yang lebih murah yaitu kapal tradisional yang terbuat dari kayu, dan memakan waktu perjalanan sekitar 3 jam menuju Pulau Pramuka.
Setelah terombang-ambing di lautan, akhirnya sampai di Pulau Pramuka pada pukul 11.09 WIB. Pulau ini merupakan pusat pemerintahan dari wilayah Kepulauan Seribu. Dinamakan "Pulau Pramuka" konon (jangan dibalik) katanya dahulu dijadikan tempat Jambore Nasional Pramuka untuk pertama kalinya. Selain itu juga pulau ini disebut juga "Cyber Island" karena satu-satunya pulau di wilayah Kep.Seribu yang memiliki akses internet.
Sehabis makan siang, kami lalu bergegas menuju Pulau Gosong menggunakan perahu kecil. Di pulau ini tidak terdapat apa-apa, hanya pasir putih yang timbul saat surut saja, maka dari itu kami tidak lama berada di sini karena harus menuju ke Pulau Karang Congkak sebelum gelap.
Dari kejauhan saya melihat "zona hujan" yaitu suatu area yang sedang turun hujan, dan area tersebut searah dengan jalur menuju Pulau Karang Congkak. Untuk menyingkat waktu perjalanan, sang pengemudi perahu menerobos zona itu daripada harus memutar, jadi kita sempat dibuat sibuk untuk menutupi tas dan barang-barang lainnya menggunakan plastik agar tidak basah.
Pulau Karang Congkak adalah pulau kecil yang ukurannya sekitar 1,5 lapangan sepakbola. Di pulau ini tidak ada penghuninya, dan juga tidak ada air tawar, maka dari itu sebaiknya dari Pulau Pramuka membawa air 1 galon untuk memasak atau membilas agar selangkangan tidak lengket dan gatal.
Di pulau ini juga tidak terdapat dermaga, sehingga harus nyemplung untuk memindahkan barang-barang dari perahu ke pulau. Tanpa berpikir lama, kami segera mendirikan tenda, karena dikhawatirkan akan turun hujan. Sementara yang cowok mendirikan tenda, kaum cewek bertugas untuk memasak.
Ada satu hal yang menurut saya sangat konyol sekali. Rina sepertinya jarang ikut camping ceria di alam bebas, sehingga dia terlihat bingung dan tidak biasa pada situasi seperti ini. Setelah semua tenda berhasil didirikan, dia bertanya.
“Nurbani, hhmm...ada keset gak ?” tanyanya pada Mbak Nur.
Mbak Nur yang orangnya cablak langsung saja merespon.
“Eh, kalian denger gak Rina ngomong apa ?” tanyanya pada semua orang.
“Dia nanyain KESET !”
Sekejap saja semua orang langsung tertawa karena berpikir buat apa bawa-bawa keset untuk camping di tengah pulau kecil tak berpenghuni.
Memang, menurut orang-orang dia mengidap sindrom “Jijikan”, jadi dia gampang jijik sama sesuatu yang menurut dia kotor dan berkuman. Contohnya aja dia gak mau makan pakai piring yang habis dilap pakai tangannya Yasin, padahal piring itu bersih habis dicuci. Wahh, repot juga yah bawa peserta seperti itu untuk kegiatan alam bebas, harus ikut diksar dan sering-sering disuruh push up biar terbiasa.
Pantai memang tempat yang cocok untuk bersantai dan bermalas-malasan. Sore itu di pulau ini kami isi dengan bersantai sambil menikmati sunset dan diiringi musik nan syahdu. Rasanya tenang sekali ada di pulau kecil ini, berasa lagi survival tapi piknik mengasingkan diri dari kepenatan ibu kota. Suasana itu terasa cepat sekali karena hari sudah semakin gelap dan waktunya kami mempersiapkan hidangan malam.
Suatu ketika saya tidak sengaja lewat belakang tenda dan melihat bayangan perempuan sedang ganti baju di dalamnya. Ternyata itu lagi-lagi ulahnya Rina. Langsung saja saya peringatkan. Sebagai pelajaran saja nihh, kalau ganti baju di dalam tenda jangan menyalakan lampu atau senter, karena lekuk badanmu akan keliatan dari luar apalagi kalau sambil berdiri, bagi kaum cowok pasti akan keliatan gondal-gandul.
Pernah lihat pertunjukan wayang kulit dari balik layar ? Nahh, konsepnya sama seperti itu, jadi cahayanya akan membentuk siluet badan kamu. Makanya kalau ganti baju di dalam tenda, usahakan tanpa penerangan, dan ganti celananya cukup sambil duduk saja. Pernah beberapa kali saya mendapati hal seperti ini, dan buat saya ibarat nonton wayang gratis. Tapi kalau cowok ya gak bakal saya tonton lahh. Masa’ jeruk makan jeruk.
Malam pun semakin gelap. Seketika saja Ilham berinisiatif untuk mengadakan sesi curhat, lebih tepatnya mengungkapkan impian. Banyak sekali impian temen-temen yang ingin segera terealisasikan di sini, seperti Mbak Nur & Sofyan yang ingin sekali punya anak, Rahman yang ingin hijrah supaya tidak cerewet, Rina yang gak pengen jijikan lagi, dan Rita yang ingin dapet jodoh dan jalan-jalan ke Jepang entah sama siapa.
Kontemplasi memang diperlukan di momen seperti ini, karena dari situlah kita bisa dengan tenang instropeksi diri, bercermin pada masa lalu, dan berpikir untuk merancang rencana ke depannya. Katanya sih, doanya orang-orang “terdampar” akan cepat dikabulkan :D
Sebagai penutup, malam itu kami menerbangkan lampion, seperti ritual di Borobudur saat perayaan Waisak. Setelah semuanya tertidur dan memastikan semuanya kondisi aman, saya tidur sendiri di dalam tenda. Maklumlah, masih single, apa-apa sendiri.
Pagi pun datang menyambut bersama pelangi di balik pulau. Saya pun terbangun terakhir, yaa wajarlahh, kan tadi udah dibilangin kalo saya single.
Tidak banyak waktu kami pagi itu, karena harus segera kembali menuju Pulau Pramuka. Untungnya di pulau ini sinyal telepon dan internet cukup bagus, sehingga bisa update instagram, meskipun gak ada yang whatsapp, kan udah tau jawabannya.
Sambil menuju ke Pulau Pramuka, kami sempatkan dulu mampir sejenak ke penangkaran hiu. Setelah itu kami lanjutkan untuk mandi di Pulau Pramuka.
Penangkaran Penyu
Di Pulau Pramuka ini ternyata terdapat tempat penangkaran penyu dari Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Tempat ini dirintis oleh pak Salim yang dulunya adalah seorang pemburu dan penjual penyu sisik (Eretmochelys imbricate). Untuk "menebus dosa" masa lalunya itu beliau kini justru menjadi aktivis melindungi dan melestarikan penyu tersebut dan menanam mangrove di sekitar kawasan Pulau Pramuka.
Atas jasa-jasanya tersebut, pemerintah memberikan berbagai penghargaan di bidang lingkungan dan memberikan bantuan untuk pelestarian penyu. Meskipun begitu, pemberian bantuan dari pemerintah kurang mencukupi, karena harga ikan yang semakin mahal, sehingga Pak Salim harus memutar otak agar kebutuhannya dalam pelestarian penyu dapat terpenuhi. Maka dari itu kepada para pengunjung Rumah Penyu diharapkan sumbangannya secara sukarela dan dimasukkan ke dalam kotak yang telah disediakan. Dengan begitu kita turut membantu dalam pelestarian penyu sisik ini.
Oh iya, selain tempat menetaskan telur-telur penyu, Rumah Penyu ini juga merawat penyu-penyu yang sakit. Cara membedakan penyu yang sakit dan sehat cukup mudah, yaitu bila penyunya mengapung terus dan tidak bisa tenggelam ke dasar berarti penyunya sedang sakit. Bila penyunya berenang dengan cara terlentang berarti dia banyak tingkah :D
Tidak terasa jam hampir menunjukkan pukul 12.00 WIB, saya harus bergegas menyusul temen-temen lainnya ke kapal Srikandi untuk kembali ke Jakarta. Saat di kapal saya baru ingat ternyata nanti kita terpaksa harus turun lagi melalui pelabuhan Muara Angke yang super bau itu.
"Aaarrgghh….kalo bisa milih, saya mending turun di Marina aja yang gak bechyekk !!!".
Estimasi Biaya :
Itulah kata yang pertama terlintas dan terucap dari mulut ketika turun dari mobil dan menjejakkan di wilayah ini. Karena macet, pagi itu kami terpaksa jalan kaki sekitar 200 meter ke pintu Pelabuhan Muara Angke Jakarta Utara. Bagi saya 200 meter itu tidak jauh, tapi masalahnya adalah kita harus melewati jalan yang sangat bau sampah dan menghindari genangan air kotor. Hari itu tidak turun hujan tapi air comberan hitam pekat yang sejajar dengan jalan sudah meluber ke mana-mana, bagaimana kalau hujan, mungkin airnya bisa terminum, hooeekss.
Saya gak habis pikir, banyak juga pedagang yang berjualan makanan di sini, padahal untuk bernapas mencari udara normal pun sulit. Wajar saja, jika warga sini masih membeli air bersih untuk keperluan, minum, mandi, dan mencuci. Selama perjalanan menuju pelabuhan saya selalu mengumpat dalam hati, mengapa sampah-sampah di sini berserakan dan dibiarkan menggunung, membuat saluran air mampet sehingga mengeluarkan semerbak wangi comberan. Padahal, jalur ini adalah salah satu akses menuju Kepulauan Seribu, destinasi wisata yang keren di Jakarta.
Dengan penuh rasa jijik, saya berusaha menghindari cipratan air comberan dan menutup hidung menggunakan masker agar baunya tidak meresap ke dalam kalbu. Sebenarnya dulu saya sering melakukan evakuasi jenazah, baik yang masih fresh maupun sudah membusuk, tapi biasa aja. Tapi entah kenapa ketika melewati jalur ini rasanya ingin muntah. Hal itu ditambah pula dengan kelakuan para tukang ojeg yang menawarkan jasa sambil melawan arus dan berhenti di tengah-tengah jalan sehingga membuat kemacetan. Rasanya pengen menyuruh mereka semua push up di atas air kotor tersebut.
Sementara itu, Ilham dan Rita sudah menunggu di pelabuhan. Kali ini Ilham yang menjadi tour leadernya, dia yang mengurus semuanya. Jadi hari itu yang berangkat berjumlah 8 orang yaitu, Yasin, Rahman, Rina, Mbak Nur, Sofyan, dan saya. Di liburan ini saya dipaksa untuk ikut oleh gank "Endol" nan shyangkraayy. Katanya, kalau saya gak ikut bakal "dipake" sama mereka. Ya sudahlah saya nurut, daripada masa depan terancam -_-
Di pelabuhan ini kapal "Srikandi" telah bersiap mengantarkan kami ke Pulau Pramuka. Ini adalah kali kedua saya traveling ke wilayah Kepulauan Seribu (Kepulauan loh yaa, bukan Pulau). Sebelumnya saya sudah pernah pergi ke Pulau Tidung, tapi menggunakan kapal cepat via Marina Ancol. Namun kali ini saya menggunakan armada yang lebih murah yaitu kapal tradisional yang terbuat dari kayu, dan memakan waktu perjalanan sekitar 3 jam menuju Pulau Pramuka.
Setelah terombang-ambing di lautan, akhirnya sampai di Pulau Pramuka pada pukul 11.09 WIB. Pulau ini merupakan pusat pemerintahan dari wilayah Kepulauan Seribu. Dinamakan "Pulau Pramuka" konon (jangan dibalik) katanya dahulu dijadikan tempat Jambore Nasional Pramuka untuk pertama kalinya. Selain itu juga pulau ini disebut juga "Cyber Island" karena satu-satunya pulau di wilayah Kep.Seribu yang memiliki akses internet.
Sehabis makan siang, kami lalu bergegas menuju Pulau Gosong menggunakan perahu kecil. Di pulau ini tidak terdapat apa-apa, hanya pasir putih yang timbul saat surut saja, maka dari itu kami tidak lama berada di sini karena harus menuju ke Pulau Karang Congkak sebelum gelap.
Dari kejauhan saya melihat "zona hujan" yaitu suatu area yang sedang turun hujan, dan area tersebut searah dengan jalur menuju Pulau Karang Congkak. Untuk menyingkat waktu perjalanan, sang pengemudi perahu menerobos zona itu daripada harus memutar, jadi kita sempat dibuat sibuk untuk menutupi tas dan barang-barang lainnya menggunakan plastik agar tidak basah.
Pulau Karang Congkak adalah pulau kecil yang ukurannya sekitar 1,5 lapangan sepakbola. Di pulau ini tidak ada penghuninya, dan juga tidak ada air tawar, maka dari itu sebaiknya dari Pulau Pramuka membawa air 1 galon untuk memasak atau membilas agar selangkangan tidak lengket dan gatal.
Di pulau ini juga tidak terdapat dermaga, sehingga harus nyemplung untuk memindahkan barang-barang dari perahu ke pulau. Tanpa berpikir lama, kami segera mendirikan tenda, karena dikhawatirkan akan turun hujan. Sementara yang cowok mendirikan tenda, kaum cewek bertugas untuk memasak.
Ada satu hal yang menurut saya sangat konyol sekali. Rina sepertinya jarang ikut camping ceria di alam bebas, sehingga dia terlihat bingung dan tidak biasa pada situasi seperti ini. Setelah semua tenda berhasil didirikan, dia bertanya.
“Nurbani, hhmm...ada keset gak ?” tanyanya pada Mbak Nur.
Mbak Nur yang orangnya cablak langsung saja merespon.
“Eh, kalian denger gak Rina ngomong apa ?” tanyanya pada semua orang.
“Dia nanyain KESET !”
Sekejap saja semua orang langsung tertawa karena berpikir buat apa bawa-bawa keset untuk camping di tengah pulau kecil tak berpenghuni.
Memang, menurut orang-orang dia mengidap sindrom “Jijikan”, jadi dia gampang jijik sama sesuatu yang menurut dia kotor dan berkuman. Contohnya aja dia gak mau makan pakai piring yang habis dilap pakai tangannya Yasin, padahal piring itu bersih habis dicuci. Wahh, repot juga yah bawa peserta seperti itu untuk kegiatan alam bebas, harus ikut diksar dan sering-sering disuruh push up biar terbiasa.
Pantai memang tempat yang cocok untuk bersantai dan bermalas-malasan. Sore itu di pulau ini kami isi dengan bersantai sambil menikmati sunset dan diiringi musik nan syahdu. Rasanya tenang sekali ada di pulau kecil ini, berasa lagi survival tapi piknik mengasingkan diri dari kepenatan ibu kota. Suasana itu terasa cepat sekali karena hari sudah semakin gelap dan waktunya kami mempersiapkan hidangan malam.
Suatu ketika saya tidak sengaja lewat belakang tenda dan melihat bayangan perempuan sedang ganti baju di dalamnya. Ternyata itu lagi-lagi ulahnya Rina. Langsung saja saya peringatkan. Sebagai pelajaran saja nihh, kalau ganti baju di dalam tenda jangan menyalakan lampu atau senter, karena lekuk badanmu akan keliatan dari luar apalagi kalau sambil berdiri, bagi kaum cowok pasti akan keliatan gondal-gandul.
Pernah lihat pertunjukan wayang kulit dari balik layar ? Nahh, konsepnya sama seperti itu, jadi cahayanya akan membentuk siluet badan kamu. Makanya kalau ganti baju di dalam tenda, usahakan tanpa penerangan, dan ganti celananya cukup sambil duduk saja. Pernah beberapa kali saya mendapati hal seperti ini, dan buat saya ibarat nonton wayang gratis. Tapi kalau cowok ya gak bakal saya tonton lahh. Masa’ jeruk makan jeruk.
Malam pun semakin gelap. Seketika saja Ilham berinisiatif untuk mengadakan sesi curhat, lebih tepatnya mengungkapkan impian. Banyak sekali impian temen-temen yang ingin segera terealisasikan di sini, seperti Mbak Nur & Sofyan yang ingin sekali punya anak, Rahman yang ingin hijrah supaya tidak cerewet, Rina yang gak pengen jijikan lagi, dan Rita yang ingin dapet jodoh dan jalan-jalan ke Jepang entah sama siapa.
Kontemplasi memang diperlukan di momen seperti ini, karena dari situlah kita bisa dengan tenang instropeksi diri, bercermin pada masa lalu, dan berpikir untuk merancang rencana ke depannya. Katanya sih, doanya orang-orang “terdampar” akan cepat dikabulkan :D
Sebagai penutup, malam itu kami menerbangkan lampion, seperti ritual di Borobudur saat perayaan Waisak. Setelah semuanya tertidur dan memastikan semuanya kondisi aman, saya tidur sendiri di dalam tenda. Maklumlah, masih single, apa-apa sendiri.
Pagi pun datang menyambut bersama pelangi di balik pulau. Saya pun terbangun terakhir, yaa wajarlahh, kan tadi udah dibilangin kalo saya single.
Tidak banyak waktu kami pagi itu, karena harus segera kembali menuju Pulau Pramuka. Untungnya di pulau ini sinyal telepon dan internet cukup bagus, sehingga bisa update instagram, meskipun gak ada yang whatsapp, kan udah tau jawabannya.
Sambil menuju ke Pulau Pramuka, kami sempatkan dulu mampir sejenak ke penangkaran hiu. Setelah itu kami lanjutkan untuk mandi di Pulau Pramuka.
Penangkaran Penyu
Di Pulau Pramuka ini ternyata terdapat tempat penangkaran penyu dari Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Tempat ini dirintis oleh pak Salim yang dulunya adalah seorang pemburu dan penjual penyu sisik (Eretmochelys imbricate). Untuk "menebus dosa" masa lalunya itu beliau kini justru menjadi aktivis melindungi dan melestarikan penyu tersebut dan menanam mangrove di sekitar kawasan Pulau Pramuka.
Atas jasa-jasanya tersebut, pemerintah memberikan berbagai penghargaan di bidang lingkungan dan memberikan bantuan untuk pelestarian penyu. Meskipun begitu, pemberian bantuan dari pemerintah kurang mencukupi, karena harga ikan yang semakin mahal, sehingga Pak Salim harus memutar otak agar kebutuhannya dalam pelestarian penyu dapat terpenuhi. Maka dari itu kepada para pengunjung Rumah Penyu diharapkan sumbangannya secara sukarela dan dimasukkan ke dalam kotak yang telah disediakan. Dengan begitu kita turut membantu dalam pelestarian penyu sisik ini.
Oh iya, selain tempat menetaskan telur-telur penyu, Rumah Penyu ini juga merawat penyu-penyu yang sakit. Cara membedakan penyu yang sakit dan sehat cukup mudah, yaitu bila penyunya mengapung terus dan tidak bisa tenggelam ke dasar berarti penyunya sedang sakit. Bila penyunya berenang dengan cara terlentang berarti dia banyak tingkah :D
Tidak terasa jam hampir menunjukkan pukul 12.00 WIB, saya harus bergegas menyusul temen-temen lainnya ke kapal Srikandi untuk kembali ke Jakarta. Saat di kapal saya baru ingat ternyata nanti kita terpaksa harus turun lagi melalui pelabuhan Muara Angke yang super bau itu.
"Aaarrgghh….kalo bisa milih, saya mending turun di Marina aja yang gak bechyekk !!!".
Estimasi Biaya :
- Kapal : Rp 45.000
- Bayar peron : Rp 2.000
- Sewa perahu + snorkling : Rp 600.000
- Dana kebersihan pulau : Rp 25.000
Liat dr awal bangke bener,haha..tp hbs itu menyenangkan y
ReplyDeleteHahaha…emang awalnya nyebelin banget :D
ReplyDeletehabis itu nyenengin yah
ReplyDelete