Sore itu saya harus pulang kantor lebih awal dari biasanya untuk mengikuti acara buka bersama d’Traktir Bukber Detik Travel & Tiket.com di The Hook Resto. Dengan memacu kecepatan lebih cepat dan nyelap-nyelip kemacetan sana sini tanpa melanggar lalu lintas, akhirnya saya bisa sampai lokasi yang berada di Kebayoran Baru dengan tepat waktu. Aroma keseruan sudah terasa ketika baru memasuki The Hook, yang saat itu didominasi dengan warna biru.
 
foto : Detik Travel


Acara sesi pertama dimulai dengan sharing tentang keseruan bekerja sebagai travel jurnalis oleh Fitraya Ramadhani dari Detik Travel. Perlu diketahui, Travel jurnalis adalah salah satu profesi yang disukai oleh para traveler atau orang-orang yang gemar jalan-jalan. Bagaimana tidak, kita bisa jalan-jalan gratis dan dibayar pula, jadi tidak perlu susah-susah untuk mengajukan cuti untuk jalan-jalan. Di saat yang bersamaan, Metha Tri Riska selaku PR Manager Tiket.com juga sharing dengan memberikan tips bagaimana traveling mendapatkan tiket murah di operator yang dipercaya, seperti yang biasa promo diberikan Tiket.com, ada banyak kemudahan di sana. Ini sih sangat berguna sekali buat traveler yang minim budget seperti saya.
 

Selanjutnya, yang ditunggu-tunggu pun tiba, sesi sharing pengalaman bersama Jebraw dan juga Cia Wardhana. Di sesi ini berlangsung penuh candaan, karena kedua narasumber aslinya memang rame banget, selalu bikin heboh. Sempat juga para peserta dibuat terharu karena mendengarkan pengalaman Jebraw saat traveling ke salah satu kota di Maluku, yang saat ini menjunjung tinggi toleransi pasca kerusuhan antar agama beberapa tahun silam. Tak kalah dengan Jebraw, Cia Wardhana pun turut membagikan pengalaman menariknya melalui video saat wisata kuliner di Korea.

Cia yang gemar makan, mencoba makan di sebuah tempat yang menyajikan seafood dalam keadaan hidup. Iyahh, dimakan dalam keadaan hidup, dan bagian tubuhnya yang masih bergerak-gerak langsung disantap hanya dengan diolesi bumbu dan beberapa sayuran. Sontak saja peserta yang datang bergidik geli membayangkan tentakelnya bergerak-gerak di kerongkongan dan masuk ke perut sambil menari-nari. Memang sih dibutuhkan keberanian untuk melakukan hal ini. Bagi saya….hhhmmm…mending disuruh bungee jumping atau sky diving sekalian daripada disuruh makan yang aneh-aneh.

Semakin sore keseruan pun menjadi-jadi, karena ada games menarik dari panitia yang menuntut kekompakan tim dalam adu menyanyikan lagu yang bersahut-sahutan. Meskipun puasa, tidak nampak kelelahan atau kelesuan para peserta dalam mengikuti tantangan ini. Ya iyalah, ini demi mendapatkan hadiah menarik dari Tiket.com, yaitu voucher belanja jutaan rupiah. Lumayan buat lebaran :D

Setelah mengikuti games, peserta dihibur oleh kepiawaian Jebraw yang menciptakan lagu secara spontan saat itu juga. Hanya dengan bermodalkan gitar dan beberapa kata kunci, dia sudah bisa menciptakan lagu yang bagus, sama seperti ketika di video Jalan-Jalan Men yang fenomenal itu.

Tak terasa waktu sudah Magrib yang mengharuskan kita buka puasa bersama. Sajian makanan dari The Hook yang enak membuat para peserta asik dan tenang menikmatinya. Pada sesi terakhir, bagi-bagi hadiah dari Tiket.com pun masih berlanjut, tapi sayangnya saya belum beruntung pada kali ini, begitupun foto-foto yang saya dokumentasikan melalui ponsel terhapus, jadi menyisakan 1 saja yang layak posting T_T.

Yahh…mudah-mudahan di lain kesempatan saya bisa ikutan acara dari Detik Travel dan juga Tiket.com seperti ini lagi. Selain menambah wawasan di dunia traveling juga menambah teman yang sehobi, karena bersama teman yang baik, traveling ke destinasi biasa, jadi luar biasa.

Jadi, mau ke mana ? Ke manapun, Tiket.com aja !




Kota Jakarta memang memiliki ragam keunikan budaya dan aktivitasnya. Di bulan suci ramadan ini banyak sekali yang bisa kita lakukan untuk mengisi waktu sambil menunggu berbuka puasa seperti berkunjung ke Taj Mahal-nya Jakarta.
 
Sore itu saya bersama istri dan temannya sengaja mengunjungi bangunan “Taj Mahal” tersebut karena penasaran. Untungnya lokasinya sangat mudah ditemui, yaitu berada di wilayah Sunter Jakarta Utara, tepatnya di Jalan Danau Sunter Raya Selatan. Ternyata bangunan tersebut merupakan sebuah masjid.

Masjid yang bernama Ramlie Musofa ini, selain untuk beribadah, juga bisa menjadi tempat wisata religi karena keunikan dan keindahan arsitektur bangunan tersebut. 


Pada tahun 2016, Masjid Ramlie Musofa diresmikan oleh Ramli Rasidin, sang pemilik yang merupakan keturunan Tionghoa asal Aceh. Ramlie Musofa sendiri adalah singkatan dari nama anggota keluarganya, yaitu Ram = Ramli Rasidin, Lie = Lie Njoek Kim, Mu = Muhamad Rasidin, So = Sofyan, dan Fa = Fabian Rasidin.

Dengan perpaduan tiga unsur budaya Melayu, Arab, dan China, membuat masjid ini sangat unik. Ditambah lagi adanya tulisan aksara Mandarin yang membuat kita jika berfoto di depannya, seolah-olah berada di China. Sang pemilik memilih konsep desain seperti Taj Mahal ini karena ingin masjid ini tetap abadi seperti bangunan Taj Mahal di India yang dipenuhi jamaah sepanjang masa.

Saat memasuki masjid melewati tangga, di sebelah kanan dan kirinya terdapat ukiran terjemahan Surat Al-Fatihah dalam bahasa Indonesia dan Mandarin. Dinding pembatas bagian depan terdapat ukiran Surat Al-Qoriah dalam 3 bahasa. Pada bagian dalam tempat berwudhu juga terdapat ukiran tata cara berwudhu. Jadi ini sangat membantu sekali bagi para mualaf yang atau orang-orang yang ingin belajar tentang Islam.


Setelah berkunjung dari masjid, kami mencoba untuk mengeksplor Danau Sunter yang letaknya berseberangan dari masjid ini. Di danau ini pinggirnya terlihat bagus karena berwarna-warni. Tapi saya merasa aneh, karena bentuk danaunya berbeda seperti apa yang diberitakan selama ini. 


Dari situ kami memutuskan untuk pulang dengan putar balik, tapi sayangnya kami kebablasan untuk cari celah putaran baliknya. Saat ingin putar balik di depan ternyata ada danau juga, dan itu ternyata Danau Sunter yang “asli”, persis sama dengan apa yang diberitakan di media. Danau Sunter ini memang sempat fenomenal belakangan ini, karena kondisinya kini telah bersih dan pernah dijadikan tempat ajang ketangkasan berenang antara Menteri Susi Pudjiastuti dan Wagub DKI Sandiaga Uno. 

Setelah menemukan danaunya, kami memutuskan untuk mampir terlebih dahulu untuk menikmati suasananya.

Trotoar yang rapi dan bersih membuat kita nyaman menelusurinya.

Ada banyak hal yang bisa kita lakukan di sini, seperti jogging di trotoar, memancing, bermain bebek-bebekan, ataupun bersantai di pinggirnya sambil menikmati angin yang berhembus sambil menunggu waktu berbuka puasa.
Anak-anak sekitar yang ngabuburit dengan menikmati suasana danau.
Bagi yang belum bawa makanan untuk berbuka jangan khawatir, karena di sepanjang pinggiran danau sudah tersedia berbagai hidangan takjil seperti kolak, es cendol, es campur, gorengan, kue-kue tradisional, dan juga tidak ketinggalan es kepal yang sedang hits itu. 

Sebenarnya, oleh Pemkot, kawasan Danau Sunter ini memang dijadikan pusat jajanan ramadan Jakarta Utara, jadi sangat cocok sekali untuk tempat ngabuburit bersama keluarga sambil menikmati suasana di danau yang saat ini sudah bersih, sambil mencoba berbagai alternatif sajian menu berbuka puasa.


#Genpi #PesonaRamadan2018 #PesonaIndonesia




Tak salah memang Venezia atau Venice di Italia diklaim menjadi salah satu tempat romantis di muka bumi. Banyak sekali pasangan dari berbagai belahan dunia yang berbulan madu atau sekadar foto prewedding di kota yang terkenal dengan kanal airnya itu. Untuk mencapai ke sana tidaklah mudah, karena harus melalui perjalanan yang panjang dan biaya yang tidak sedikit. Namun semua itu bisa disiasati bagi yang memiliki dana terbatas seperti saya ini, yaitu ke Little Venice di kawasan Kota Bunga, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat.



Kota Bunga sebenarnya adalah kompleks Villa mewah yang disewakan, namun di dalamnya terdapat tempat wisata yang dibuka untuk umum, seperti kolam renang, kolam pancing, arena fantasi, tempat bermain anak, dan juga Little Venice. Untuk menuju ke sana, dari Jakarta arahkan ke kawasan Puncak, Cipanas yang ditempuh sekitar 2 jam. Setelah jembatan Ciloto terdapat pertigaan yang ada tulisan Taman Bunga Nusantara lalu belok kiri. Tidak jauh dari situ akan menemukan pintu gerbang Kota Bunga di sebelah kiri. Perlu dicatat, bahwa Kota Bunga itu berbeda dengan Taman Bunga Nusantara, jadi jangan sampai salah.


 Saat masuk kawasan Kota Bunga kita akan melewati villa mewah dengan berbagai macam tema arsitektur, seperti Jepang, China, Belanda, dan berbagai negara lainnya yang fotogenik dan membuat kita ingin foto-foto di situ. Tidak jauh dari situ kita akan sampai di gerbang Little Venice. Tiket masuknya pun cukup murah, hanya Rp 25.000 untuk hari biasa, dan Rp 40.000 saat hari libur. 



Apa saja yang bisa kita lakukan di sana ?


Di Little Venice terdapat berbagai wahana air seperti gondola/perahu, Kapal Mississipi, bebek-bebekan, sepeda air, banana boat, dan perahu naga. Namun yang paling ikonik adalah gondola ala Venice. Untuk menaiki wahana ini harus membayar lagi Rp 20.000 per orang, uniknya di sini semua wahana transaksinya menggunakan kartu khusus semacam e-money. Oh iya, satu gondola minimal diisi oleh 2 orang. Pastikan kamu membawa pasangan yahh supaya terlihat romantis, soalnya kalau sesama jenis kan kesannya gimana gitu :D


Gondola ini mengarungi hanya 1 lap kawasan, sekitar 15 menit. Nantinya kita akan melewati bangunan seolah-olah kanal seperti di Venice aslinya. Cobalah eksplorasi beberapa angle untuk mendapatkan foto terbaik, bisa dari pinggir ataupun dari atas. Memang diperlukan kecermatan, karena jika ramai pengunjung akan “bocor” dan bisa mengurangi estetika. Maka dari itu bisa juga pakai jasa saya untuk memotretnya, nanti akan saya arahkan supaya mendapatkan momen terbaik :D


Setelah merasakan gondola ala Venice, cobalah bermain di arena ketangkasan, atau bisa juga mengeksplor lokasi lain untuk berfoto, karena di sini ada beberapa spot ikonik seperti Merlion, Torii alias gapura tradisional Jepang, dan bangunan ala Eropa lainnya. Jadi bawalah busana yang bagus untuk memperkuat foto di lokasi.

Well, beginilah salah satu cara saya untuk menikmati romantisme ala Venezia dengan budget murah. Mudah-mudahan suatu saat saya bisa menaiki gondola di Venezia aslinya di Italia bersama istri tercinta. Aamiin.

Sosial media memang sangat berperan penting dalam perkembangan pariwisata di Indonesia. Kini dengan mudahnya tiap orang mendapatkan informasi berbagai obyek wisata yang dahulu tidak pernah di-expose. Seperti contohnya Pantai Timang di Gunung Kidul ini. Saat kali pertama saya mengunjungi tempat ini pada tahun 2012 terlihat sangat sepi sekali, hampir tidak ada aktivitas apapun,  karena dulu hanya digunakan untuk mencari lobster dan memancing ikan oleh warga sekitar. Namun kini telah ramai oleh pengunjung yang hilir-mudik menggunakan mobil off-road. Salah satu yang mempengaruhi tempat ini jadi ramai adalah tayangan Running Man dari Korea. Para penggemar K-Pop atau K-Drama pasti pada penasaran ingin mengunjungi tempat ini.

Untuk akses mencapai Pantai Timang, dari kota Yogyakarta bisa melalui Jl. Wonosari. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 1 jam 42 menit. Jauh memang, karena pantai tersebut letaknya sebelum Pantai Siung. Ada beberapa jalur yang bisa digunakan untuk masuk ke pantai tersebut, tapi saya merekomendasikan jalur yang dekat tikungan sebelum Pantai Siung, karena dari situ jalur aspalnya cukup panjang sebelum melewati jalur berbatu.

Di beberapa titik di depan, nantinya ada pos yang dikelola oleh warga, di situ biasanya kendaraan pengunjung diberhentikan dan mereka menganjurkan untuk menggunakan mobil off-road ataupun ojek karena akan melewati jalur yang sempit dan berbatu. Para warga memberikan informasi seolah-olah jalurnya tersebut sama sekali tidak bisa dilewati. Untung sebelumnya saya sudah pernah ke sini dua kali, jadi saya paham jalurnya dan tidak terpengaruh dengan bujuk rayuan mereka untuk menggunakan jasa transportasi mereka, karena mobil Mitsubishi Xpander kami sudah cukup mumpuni untuk melewati jalur seperti itu. Yahh…lumayan menghemat karena untuk naik ojek harus membayar Rp 50.000 dan mobil off-road sekitar Rp 350.000.

Bayangan jalan yang lebih bagus daripada tahun 2012 sirna sudah, karena saat ke sini kembali tidak ada perubahan yang berarti. Seharusnya semakin terkenal, aksesnya dibuat lebih baik lagi, toh, pendapatan Kab. Gunung Kidul dari retribusi tiket area sudah sangat besar sekali, belum lagi jika mendapat dukungan dari pihak swasta.

Memang perlu kehati-hatian saat melewati jalur berbatu ini, terlebih lagi saat hujan yang membuat jalur semen menjadi sangat licin. Tapi sangat disayangkan sekali, saat kami beberapa kali berpapasan dengan mobil off-road yang disewakan untuk pengunjung, mereka tidak mau minggir untuk berbagi jalan dengan kami. Sudah tahu sempit mereka mengeluh dan enggan untuk mengalah, padahal mobil yang kami tumpangi sudah mengalah. Tapi, lain halnya ketika berpapasan dengan mobil penduduk desa setempat, mereka dengan sadar untuk saling berbagi, dan sangat ramah saat kami melewatinya.


Ketika sampai lokasi, saya dibuat takjub karena tempat ini sudah ramai sekali. Dahulu hanya ada gondola kereta gantung tradisional saja, namun saat ini sudah terdapat warung, spot selfie, dan jembatan gantung. Untuk menyeberang ke Pulau Panjang yang ada di seberangnya ada dua pilihan, naik gondola seharga Rp 150.000 / orang atau menggunakan jembatan gantung dengan tarif Rp 100.000. Ternyata dua “wahana” itu dikelola oleh kelompok yang berbeda, sehingga terdapat 2 loket untuk membeli tiketnya. Cukup mahal juga ternyata dengan peralatan tradisional seperti itu yang kurang memenuhi standar. Namun, dengan harga segitu sudah termasuk asuransi kecelakaan atau kematian, tapi alangkah lebih baik jangan sampailah kita menggunakan asuransi tersebut :D


Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya saya mencoba menyeberang menggunakan jembatan gantung. Tiket yang dibayarkan, selain ada asuransi juga sudah termasuk pendamping (bukan pendamping hidup lho yaa). Tujuan pendamping di sini untuk memastikan keselamatan agar pengunjung tidak berfoto di area berbahaya, dan juga membantu memotret. Jadi gak perlu bawa tripod karena sudah ada yang motretin, lumayaaan. Eh, iya, mereka juga mengerti beberapa teknis fotografi lho, seperti framing dan juga siluet, mungkin belajar dari selera para pengunjung atau referensi dari internet.


Dag…dig…duggg…byurrr….

“Pegangan tali yang warna putih mas” kata salah seorang petugas.

Jembatan dan juga gondola di sini sangat unik, karena dibuat secara tradisional menggunakan tali tambang dan kayu batang pohon sebagai penyangganya, jadi sebenarnya keamanannya kurang terjamin, namun ya seperti itulah, ada asuransi ini…((asuransii))).


Begitulah yang saya rasakan saat terombang-ambing di tengah-tengah jembatan gantung ini. Angin yang sangat kencang membuat jembatan sepanjang sekitar 125 meter ini naik turun, sehingga harus dijaga 2 orang lagi untuk menyeimbangkannya. Sesekali ombak yang terhempas ke karang membuat cipratannya naik ke atas, jadi harus hati-hati, terutama bagi yang membawa kamera, karena tiada maaf lagi bila sampai terkena sensornya.


Sesampainya di Pulau Panjang, para pengunjung akan disuguhi segelas air mineral, namun jangan sampai sampahnya ditaruh sembarangan, karena akan tertiup angin ke laut. Sebenarnya, tidak ada yang spesial sih di pulau berbatu ini, hanya tulisan Timang saja, namun kita bisa sedikit mengeksplor berbagai angle untuk foto dengan bantuan mas-mas pendamping tadi.

Memang untuk ke Pantai Timang ini tidak dikenai biaya masuk, tapi jika ingin foto-foto di beberapa spot selfie di sekitarnya akan dikenai biaya mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per orang untuk fasilitas yang tak seberapa bagusnya. Jadi harap membawa uang lebih banyak, karena untuk obyek wisata sekelas Jogja tergolong menguras kantong.


Tips :

- Jika membawa kendaraan, pastikan kendaraan dalam keadaan sehat.
- Tidak disarankan menggunakan kendaraan sedan atau yang kendaraan berbentuk ceper.
- Parkir mobil tidak lebih dari Rp 10.000.
- Jangan mencoba bongkar pasang lensa, karena di sini anginnya sangat kencang, rawan terkena sensor.
- Pakailah sepatu untuk melindungi dari tajamnya batu karang.
Setelah tidak puas dengan pemandian air panas Gunung Panjang, kami memutuskan untuk ke destinasi selanjutnya yang tidak jauh dari lokasi sebelumnya, yaitu Gunung Peyek. Untuk menuju lokasi tersebut, kami melewati kompleks militer lalu tiba di sebuah perkampungan. Dari perkampungan ini kita bisa menitipkan motor di rumah warga, dengan membayar parkir sebesar Rp 5.000. 


Dari rumah warga, perjalanan masih harus ditempuh dengan berjalan kaki melewati pematang sawah dengan jarak sekitar 200 meter. Saat melewati sawah haruslah waspada, karena saat melintas, kami menemukan ular sawah sedang memangsa kodok. Beruntung, ular itu tidak terinjak oleh kaki saya. 

Dari kejauhan sudah nampak gundukan berwarna putih kecoklatan, dan itulah yang disebut warga sekitar sebagai Situs Gunung Peyek. Tempat ini memang dianggap sakral, jadi hanya untuk keperluan tertentu.

Saat sampai lokasi, saya terheran-heran. Ada yang berbeda ketika saya kembali menyambangi “jacuzzi” Gunung Peyek dan membandingkan keadaannya seperti pada tahun lalu. Di lokasi Situs Gunung Peyek ini sudah sangat berubah drastis, sehingga membuat saya pangling. Lubang-lubang sumber air panas yang berada di bukit kapur, kini telah ditutupi oleh besi dan diberi pagar, kondisinya pun memperihatinkan, kotor dan berbuih. Pada bagian bawah bukit juga sudah dibangun kolam pemandian air panas dan terdapat warung-warung semi permanen. 

Awalnya saya dan istri ingin berendam air panas di sana sambil menikmati suasana pemandangan sawah nan asri. Tapi begitu melihat kondisinya seperti itu, saya mengurungkan niat, karena tidak ada lagi yang bisa dinikmati. Padahal orang-orang pada umumnya datang ingin menikmati suguhan sumber air panas alami yang dipadukan dengan keindahan pemandangan layaknya di Jepang, tapi malah dibangun seperti kolam renang. Tidak ada yang spesial lagi. Maka dari itu, kini saya telah mencoret dari daftar destinasi yang ingin saya rekomendasikan kepada rekan-rekan semuanya.


Lagi-lagi saya kecewa...semoga mereka bisa berbenah diri lebih baik lagi. 




*padahal dulunya begini
Saat masih tinggal di Jogja, istri saya selalu mandi menggunakan air panas di rumahnya. Namun setelah sudah menikah dan tinggal bersama saya, dia jadi jarang mandi pakai air panas, karena malas harus merebus air dulu :D Nah, suatu pagi saat libur, saya sempatkan mengajaknya untuk mencoba berendam di air panas alami yang letaknya sekitar 1 jam dari Pamulang, yaitu di pemandian air panas Gunung Panjang, Ciseeng, Parung, Kabupaten Bogor.

Dengan lokasi yang tidak jauh dari kota Jakarta, membuat pemandian ini cukup ramai bila akhir pekan. Di Ciseeng sendiri terdapat kawasan gunung kapur yang memiliki sumber air panas alami. Di kawasan ini pula terdapat beberapa tempat pemandian air panas yang yang telah dikelola swasta maupun oleh masyarakat setempat, seperti Tirta Sanita, Gunung Panjang, dan juga Gunung Peyek. Namun pada hari itu, saya memutuskan untuk berendam ke air panas Gunung Panjang.

Setahun sebelumnya, saya sudah pernah mengunjungi tempat ini sendirian. Saya sangat berharap di kunjungan yang ke-dua ini obyek wisatanya semakin maju dan terawat. Tapi sayangnya, saat ke sana, tidak ada perubahan sama sekali dalam hal pengelolaannya. Malah semakin mahal. Untuk parkir harus merogoh kocek Rp 5.000, menurut saya ini masih batas wajar. Namun saat masuk lokasi dikenakan tarif sebesar Rp 10.000 per orang. Itu pun hanya untuk masuk kawasan yang tidak bagus-bagus amat. 

Untuk menuju tempat pemandiannya masih harus berjalan kaki menaiki bukit. Saat sampai di lokasi, ternyata masih dikenakan biaya lagi jika ingin berendam di air panas, yaitu sebesar Rp 10.000 per orang.  Padahal tahun kemarin hanya Rp 5.000. Lha terus kenapa gak dijadiin 1 aja karcis dan tarifnya di depan, tanpa perlu bayar lagi. Sungguh merepotkan sekali. 

Memang hanya Rp 20.000 per orang, tapi menurut saya, dengan uang sebesar itu tidaklah sebanding dengan fasilitas apa yang kita dapatkan, karena bahkan untuk mandi membilas badan atau toilet pun masih dikenakan tarif lagi sebesar Rp 5.000.

What the ffff….

Dikit-dikit bayar, kalau dijumlahkan juga jadi besar dengan fasilitas yang minim sekali. Memang jika di foto nampak indah sekali, karena saya poles sedikit dengan angle tertentu. Padahal, pada kenyataanya tidak seperti itu. Sampah berserakan di mana-mana. 


Kurangnya tempat sampah dan kesadaran pengunjung serta pengelola, membuat banyak lalat yang mengerubungi tempat ini dan menjadi kumuh. Bahkan saat kami datang, ada beberapa keluarga yang “kecele” dengan tempatnya, sehingga memutuskan untuk pulang lagi daripada harus membayar sebesar Rp 10.000. Begitu juga dengan istri saya yang enggan nyemplung ke dalam kolam, karena merasa tidak nyaman. Yahh, apa boleh buat, karena demi pekerjaan, akhirnya saya berendam sejenak di kolam itu.

Bila dibandingkan dengan destinasi lain, pengelolaan di Gunung Panjang ini sangat kurang sekali. Sangat disayangkan, apa yang dibayarkan tidak sebanding dengan apa yang kita dapatkan. Seharusnya mereka berbenah diri dan berkaca pada obyek wisata lain.


Jadi, sudah cukup tahulah tempat ini.