Masih teringat jelas 2011 silam, saat seorang tunadaksa berkaki satu  meluncur dengan tali dari atas tribun menuju bawah sambil membawa obor di Stadion Manahan Solo. Yapp, pria itu adalah Sabar Gorky, pria tunadaksa yang menjadi salah satu atraksi pembuka Asean Paragames 2011.
Apa yang dilakukan Sabar Gorky membuktikan bahwa atlet-atlet Indonesia mempunyai semangat yang tinggi dalam menjunjung sportivitas pesta olahraga meskipun dalam keterbatasan fisik.
Selain itu berbagai prestasi yang ditorehkan Sabar Gorky dalam menggapai puncak-puncak gunung dunia hanya dengan satu kaki memberi pesan kepada dunia, bahwa kaum disabilitas mampu juga berprestasi dan sejajar dengan orang-orang pada umumnya. Tidak hanya itu, keberhasilannya menjuarai kompetisi panjat tebing Asia di Korea Selatan tahun 2009 sanggup membungkam banyak orang yang selama ini meragukan dirinya.



Berbekal semangat yang kuat, Sabar Gorky sanggup melakukan hal-hal yang sulit dilakukan oleh orang berkaki satu. Hal itu tidaklah mengherankan, karena Sabar butuh waktu yang cukup lama untuk bangkit lagi dan beradaptasi pasca kecelakaan kereta yang merenggut salah satu kakinya tahun 1996. Terus berlatih, bersabar, selalu optimis, dan memaksimalkan kesempatan yang ada adalah kuncinya meraih kesuksesan.

Hal-hal yang dilakukan Sabar Gorky itu seharusnya dapat memecut semangat para atlet lainnya dalam berkompetisi dan meraih prestasi di kancah internasional serta mengharumkan nama bangsa ini.
Tahun 2018 nanti, Indonesia akan menjadi tuan rumah perhelatan pesta olahraga se-Asia, yaitu Asian Games dan juga Asian Para Games di Jakarta dan Palembang. Berbagai negara akan saling bersaing demi meraih prestasi terbaiknya. 

Kita sebagai rakyat Indonesia tentunya memiliki harapan yang besar agar para atlet bisa menyumbangkan medali sebanyak-banyaknya dan meraih juara umum. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin, mengingat kita sebagai tuan rumahnya sendiri pasti bisa lebih menguasai keadaan dan bisa bermain lebih lepas tanpa beban. Doa dan dukungan secara langsung di venue pasti akan selalu menggema di seantero nusantara. 

Tidak hanya itu, kita juga bisa menyumbangkan energi positif kita melalui hal yang lain, seperti postingan di sosial media misalnya. Meski terkesan sepele, hal itu cukup memberi pengaruh para atlet dalam hal mentalitas. Maka dari itu sebaiknya postinglah hal-hal positif yang dapat membangkitkan energi dan mental para atlet.

Janganlah memposting isu-isu yang dapat memecah belah persatuan seperti yang ada pada belakangan ini. Ingat ! Kita ini adalah satu, INDONESIA. Perjuangan para pahlawan di medan perang dahulu akan dilanjutkan oleh para atlet pejuang kita melalui olahraga. Mereka berjuang tanpa memandang latar belakang suku, ras, dan agama. Mereka berjuang mati-matian demi negara tanah air kita tercinta.
Mari kita berikan energi positif kepada para atlet agar bisa membuktikan bahwa kita pantas jadi juara di rumah sendiri !


#DukungBersama
#BelaIndonesia

#EnergiAsia
#RoadToAsianGames2018
Photo : @eyes_of_a_nomad

Bagi sebagian orang, erupsi Gunung Berapi merupakan sebuah bencana. Tapi di sisi lain kejadian ini dapat menjadi daya tarik pariwisata bagi turis asing yang belum pernah melihat gunung meletus. Hal itu boleh saja dilakukan, asalkan tidak mengganggu proses evakuasi dan merugikan orang lain.

Untuk dapat menyaksikan fenomena alam tersebut, ada hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai kenyamanan dan keselamatan bersama.

1. Sebelum melihat gunung meletus, bawalah peta, kompas, dan teropong untuk memudahkan melihat gunung tersebut. Pastikan sudah melihat dengan jelas gunung yang sedang meletus, bukan gunung yang lain, meskipun di beberapa tempat terhalang dengan gunung yang lain.

2. Carilah angle yang tepat, karena posisi menentukan kenyamanan dan keindahan dalam melihat gunung meletus.

3. Lihatlah dari tempat yang aman, yang jauh dari jangkauan letusan. Tapi janganlah mencoba untuk menjangkau gunungnya, karena akan sangat berbahaya bagi diri sendiri dan masa depanmu.

4. Pakailah masker untuk menyaring debu akibat letusan. Jika tidak mampu membeli masker bisa pakai Bra mantan pacarmu yang sudah tidak terpakai. Dengan demikian, kamu turut menyelamatkan lingkungan dengan mendaur ulang barang2 bekas.

5. Meskipun sudah memakai masker, jangan lupa bernapas dengan teratur seperti biasanya. Karena jika sampai lupa bernapas dan terlalu fokus melihat gunung meletus, bisa menyebabkan kematian.

Demikian tips yang bisa saya berikan, semoga bermanfaat bagi semuanya.


Salam Olahraga !


Credit photo :
@eyes_of_a_nomad @hellotinamay
 
 
Tidak selamanya uang rupiah Indonesia tidak berlaku di Internasional. Buktinya di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Dongdaemun, Seoul, Korea Selatan bisa melakukan transaksi menggunakan uang rupiah.

Saat malam yang dingin itu saya arahkan tujuan ke Good Morning City Mall. Berdasarkan rekomendasi dari teman-teman, jika ingin membeli souvenir khas Korea sebaiknya ke Chungsil-Hongsil Souvenir Shop yang terletak di lantai 2. 


Kupon yang terdapat peta lokasi toko tersebut
Ada banyak keuntungan bila berbelanja souvenir di sini. Saat masuk ke dalamnya kita akan diberi kupon yang nantinya bisa ditukarkan dengan bonus saat melakukan transaksi di kasir. Bonusnya tersebut bisa bermacam-macam, seperti makanan, kosmetik, dan juga souvenir lainnya. Secara fisik, jika dilihat sekilas tidak ada yang berbeda dengan toko souvenir lainnya, namun jika dilihat dengan seksama, ternyata di sini juga menjual boneka atau pajangan karakter khas Indonesia yang mengenakan pakaian adat Bali. Meskipun begitu, pemilik tokonya berani menjamin bahwa souvenir khas Korea di sini semua buatan asli Korea, bukan dari China atau negara lainnya.



Untuk soal harga di sini tergolong murah, kaos bertuliskan "Korea" atau bergambar obyek-obyek wisata Korea dibandrol mulai 10.000 Won atau sekitar Rp 120.000, dengan kurs saat itu 1 Won = 12 rupiah. Tidak hanya itu, ada juga berbagai souvenir berupa boneka, gantungan kunci, magnet lemari es, miniatur rumah tradisional Korea, hingga makanan ringan dengan olahan ginseng Korea.

Keuntungan lainnya yang bisa didapatkan di sini yaitu pemiliknya yang asli Korea ternyata bisa berbahasa Indonesia, begitupun beberapa pegawainya yang merupakan orang Indonesia, jadi bisa dengan leluasa menanyakan berbagai hal tentang barang dagangannya. 


Ada hal unik lainnya yang saya temui di sini, yaitu kita bisa bertransaksi dengan berbagai macam cara, yaitu dengan kartu kredit ataupun tunai menggunakan mata uang Won, Dollar, dan juga Rupiah. Jadi tidak sia-sia saya masih menyimpan beberapa lembar uang rupiah di dompet, tanpa ragu saya pun membayarkannya ke kasir dan diterima dengan senang hati.

Usut punya usut, ternyata toko tersebut merupakan rekomendasi resmi dari Kedutaan Besar Indonesia, jadi wajar saja bila mendapatkan banyak kemudahan di sini. Perlu juga diketahui, pembeli di sini bukan hanya warga Indonesia biasa, tapi juga selebritas tanah air dan pejabat-pejabat negara selalu mampir ke sini untuk membeli oleh-oleh. Hal itu dibuktikan dengan dipajangnya foto-foto dokumentasi dan testimonial saat berbelanja di sana.




Di Korea, kunjungan turis Indonesia memberikan dampak yang cukup besar bagi pariwisata di sana. Saat datang ke lokasi, kita banyak mendapatkan sambutan dari para pedagang lokal di beberapa tempat wisata seperti Seoraksan National Park, pusat perbelanjaan Dongdaemun, dan juga Myeongdong. Mereka akan menyambut dengan ucapan "Selamat Datang", dan juga menawarkan dagangannya menggunakan bahasa Indonesia seperti "Silahkan, di sini murah", "Beli 3 Gratis 1", dengan logat Korea yang kental tentunya. Apa yang dilakukan di Korea itu merupakan sebuah apresiasi kepada turis Indonesia yang telah menggerakkan perekonomian negara mereka melalui pariwisata. 


Selamat datang, selamat berbelanja.
Turis Indonesia sebagai tamu pun dimudahkan dalam bertransaksi. Penggunaan mata uang rupiah sebagai alat tukar resmi di negara lain menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi kami sebagai warna negara Indonesia. Hal itu membuktikan bahwa rupiah memiliki peran yang cukup penting karena diakui di sana, dan itu membuat kita semakin mencintai rupiah.


#CintaRupiah

Tidak butuh waktu lama jarak tempuh dari bandara Silangit menuju bukit Huta Ginjang ini, hanya 30 menit kita sudah sampai di sebuah pelataran berumput hijau yang cukup luas. Dengan hati-hati saya abadikan keindahan lanskap Danau Toba dari atas, tapi perlu kewaspadaan ekstra karena tidak adanya pagar pembatas ataupun papan peringatan di sini. Salah-salah jika teledor bisa menggelinding ke jurang. 



Dari namanya, bukit ini memiliki 2 arti, Huta berarti perkampungan dan Ginjang yang berarti di atas, jadi Huta Ginjang adalah perkampungan yang berada di atas. Dengan berada di ketinggian sekitar 1550 mdpl membuat bukit Huta Ginjang di Kabupaten Tapanuli Utara ini terasa sejuk. Tak ayal lokasi ini dijadikan tempat take off paralayang dan juga gantole. 

Sejauh mata memandang, kita disuguhi birunya langit dan air danau yang seolah-olah seperti laut. Ditambah juga kontur dinding-dinding kaldera yang masih terlihat kokoh menghijau mirip seperti di Eropa. Rasanya ingin berlama-lama berada di sini.



Siang itu sejenak saya merenung menghadap ke arah danau sambil membayangkan dahsyatnya letusan Toba Super Volcano pada masa prasejarah. Menurut berbagai sumber sejarah yang saya baca, danau Toba ini awalnya berupa sebuah gunung, lalu gunung tersebut meletus sangat dahsyat hingga membentuk sebuah danau tekto-vulkanik yang panjang kalderanya mencapai 100 km dan menjadikannya sebagai danau terbesar di Asia Tenggara. Dengan klasifikasi VEI ( Volcanic Explosivity Index ), Gunung Toba ini masuk kategori VEI 8, yaitu yang letusannya paling besar sepanjang sejarah umat manusia, mengalahkan Gunung Tambora dan juga Krakatau.

Jadi bisa dibayangkan letusannya, Gunung Tambora saja yang sebegitu besar ukuran kalderanya, masih kalah jauh dengan Gunung Toba.


Saya senang sekali bisa berada di sini menikmati indahnya alam yang dahulunya turut mempengaruhi peradaban dunia. Menurut sebagian besar traveler, di bukit Huta Ginjang inilah diyakini sebagai tempat terbaik menikmati keindahan Danau Toba. Tidak hanya itu, keindahannya pun didukung dengan pengelolaan kawasan yang cukup baik. Saat saya mengunjungi lokasi ini fasilitas toiletnya cukup bersih, begitu juga lingkungan sekitarnya nyaris tidak ada sampah. Jadi tidak salah memang, jika Danau Toba telah dijadikan destinasi prioritas dan dicanangkan sebagai "10 Bali Baru" oleh pemerintah pusat. Keindahannya tidak kalah dengan Bali, Nusa Tenggara, maupun Papua, karena masih banyak potensi di sini yang belum terekspos secara luas. 

Jadi harapan saya, semoga semakin banyak yang membuka trip ke Danau Toba, terutama yang dari Jawa, karena dari situlah dapat membantu perekonomian masyarakat sekitar dan juga bisa mengenal lebih dalam budaya Batak.
Landmark Kota Cilegon
Sejak kecil saya tinggal dan besar di Cilegon yang juga dijuluki Kota Baja. Disebut demikian karena Cilegon merupakan kota industri yang memiliki pabrik baja terbesar. Secara fisik, pertumbuhan Cilegon sangat lambat sekali dalam hal infrastruktur, padahal pendapatan daerahnya bisa dibilang sangat besar. Namun saat ini mulai tumbuh berbagai infrastruktur berupa trotoar dan juga ruang terbuka hijau. Tapi sayangnya, perbaikan sarana tersebut tidak diimbangi dengan pola pikir masyarakat yang semakin baik.
 
Trotoar terhalang bak sampah.
Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia, hal yang menjadi masalah dan sangat krusial sampai saat ini adalah kurangnya kesadaran terhadap kebersihan lingkungan. Mereka seenaknya membuang sampah tidak pada tempatnya, buang air kecil, dan juga merokok sembarangan yang dapat mengganggu kesehatan orang lain. Seringkali saya perhatikan di ruang terbuka hijau dan sepanjang jalan, banyak yang tidak peduli akan sampah. Tidak hanya anak muda, tapi banyak juga orang orang dewasa, baik bapak-bapak maupun ibu-ibu memberikan contoh yang tidak baik terhadap anaknya. 

Meskipun kecil, sampah tetaplah sampah.
Untuk mengatasi hal itu, sebaiknya menempatkan kamera pengawas di berbagai titik dan ada petugas yang berjaga atau memantau pergerakan menggunakan aplikasi sehingga bisa memonitor dari jarak jauh. Dari situ kita bisa mengetahui orang-orang melanggar aturan. Sebagai barang buktinya, hasil capture atau rekaman kamera pengawas dapat digunakan untuk memperingatkan para pelaku. 


Agar menimbulkan efek jera, barang bukti berupa foto tersebut dipajang, lalu namanya dicantumkan di layar besar di pusat kota, dan di sarana / prasarana, sehingga orang-orang yang lewat dapat melihatnya. Berhubung Cilegon adalah kota yang sangat kecil, jadi ada kemungkinan masyarakat mengenali pelakunya, sehingga dari situ akan timbul malu jika mengalami kejadian serupa, dan akan saling mengingatkan. Jadi sama prinsipnya ketika guru menghukum siswanya di depan kelas, semua pasti akan tertuju padanya.

Pada era digital seperti saat ini, hukuman sosial tersebut cukup efektif, seperti halnya beberapa kejadian yang diekspos di sosial media dan mendapat banyak respon dari netizen. Jika aturan tersebut diterapkan terus menerus, pesan tersebut akan masuk ke alam bawah sadar, dan masyarakat pun akan berpikir berulang kali jika ingin melanggar aturan. Dengan begitu, teknologi akan turut mengedukasi masyarakat agar menjadi lebih baik dan cerdas, menuju Smart City.



#Menuju100SmartCity
Pemandangan dari Huta Ginjang
Direct Message di Instagram sore itu membuka salah satu kebahagiaan saya yang sedang penat dengan pekerjaan. Pesan di dalamnya mengajak saya untuk mengeksplor Danau Toba, yang merupakan danau terbesar se-Asia Tenggara. Yang lebih asiknya lagi Laudya Chyntia Bella juga ikut dalam perjalanan kita kali ini.

Perjalanan diawali dari bandara Soekarno-Hatta langsung ke bandara Silangit, Siborong-borong Sumatera Utara. Jadi kita tidak perlu turun di Kuala Namu Medan, karena dari situ untuk menuju Danau Toba via darat masih membutuhkan perjalanan 6 jam, waktu yang terbuang sangat banyak. Sedangkan kalau dari bandara Silangit ke Danau Toba hanya membutuhkan waktu setengah jam. Saat menjelang pendaratan ke Silangit, kami disuguhkan pemandangan perbukitan yang indah. Begitu pula saat turun dari pesawat, udara sejuk dan langit biru menyambut kami.

Bersama Vera, Rifki, dan Vivi, kami ditantang untuk menyelesaikan challenge dari Mixagrip selama eksplor budaya ini, di situlah saya bertambah semangat karena akan ada hadiah tambahan bagi para pemenang. Destinasi pertama yang dikunjungi adalah bukit Huta Ginjang, di tempat inilah diyakini sebagai tempat terbaik untuk menikmati keindahan Danau Toba. Udara yang sejuk dan tempat yang bersih adalah dambaan bagi setiap traveler. Di sini pula biasa digunakan untuk kegiatan olahraga dirgantara seperti Gantolle ataupun Paralayang.

Pemandangan dari Bukit Doa Huta Ginjang.

Dari situ perjalanan dilanjutkan ke Bukit Doa yang letaknya tidak jauh. Dinamakan Bukit Doa karena di sini terdapat sebuah patung tangan dengan posisi mengatup dan ke arah danau. Di bagian bawah patung itu ternyata merupakan sebuah bangunan tempat berdoa yang memiliki 26 kamar. Menurut cerita setempat, jika berdoa di sini dan mengarah ke danau akan lebih cepat terkabul. 

Mie Gomak

Siang semakin terik, dan waktunya untuk makan siang di pinggir danau, lebih tepatnya di Cafe Bunga-Toba, miliknya mantan menteri di era Orde Baru, yaitu TB Silalahi. Suguhan yang disajikan di sini kebanyakan berupa ikan air tawar, jadi saya cukup bingung mau makannya, karena saya nggak suka ikan (maaf ya bu Susi). Tapi untungnya di sana ada menu Mie Gomak, yaitu spaghetti dengan citarasa ala Batak yang menyelamatkan makan siang saya saat itu. 


Perjalanan selanjutnya menuju Parapat untuk menyeberang ke Pulau Samosir menggunakan kapal kecil yang bernama Toba Cruise 2, tapi sebelum menepi ke Samosir, kita mampir terlebih dahulu ke air terjun Binangalom untuk melakukan challange. Awalnya saya pikir akan disuruh terjun dari atas air terjun yang berketinggian 70 meter ini, tapi untungnya hanya terjun dari kapal lalu berenang menuju air terjun tersebut. Dari 4 orang peserta, hanya 2 orang saja yang mewakili kelompok masing-masing, yaitu saya dan Vivi, sementara Vera dan Rifki hanya memotret dari atas kapal. 

Air Terjun Binangalom
Photo Hidyanindya Liputan 6

Byurrr….

Hari semakin gelap yang mengharuskan kami menyelesaikan tantangan itu. Dengan sekuat tenaga saya berenang melawan arus yang cukup kencang menuju air terjun tersebut. Dinginnya air yang jatuh menuju danau membuat kaki saya jadi kram, belum lagi airnya beberapa kali ikut terminum, untungnya tawar. Semoga saja tidak ada orang yang buang air besar di sekitar sini.

Setelah menyelesaikan salah satu tantangan, kapal berangkat menuju Samosir Villa, tempat kita menginap. Untuk menuju ke sana masih membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Matahari pun sudah terbenam seutuhnya, jadi hanya angin yang bertiup ke arah kapal saja yang saya andalkan untuk mengeringkan badan. Ternyata saya salah, karena faktor kelelahan, saya jadi bersin-bersin dan terkena gejala flu. Tapi untungnya saat dari Jakarta saya tidak lupa membawa stok obat-obatan di tas hydropack. Untuk urusan flu saya percayakan pada Mixagrip karena memang cocok.


Sekitar pukul 19.30 kami sampai juga di Samosir Villa. Musik Batak dan tarian Tor-tor menyambut kami semua, dan seakan-akan menjadi penghilang rasa lelah, apalagi saat para penari mengajak tamunya untuk ikutan menari. Sangat bagus sekali perpaduan musik dan tariannya, begitu pula ketika saya memperhatikan teknik fill in yang dilakukan pemain perkusinya yang unik.


Hari ke-2, 28 Oktober 2017

Perjalanan hari ke-2 dimulai menuju ke Sianjur Mula-mula, yang terdapat makam dan patung raja-raja Batak yang dahulu menganut animisme. Sepanjang perjalanan menuju lokasi ini kita disuguhkan pemandangan yang sangat indah. Topografi yang berbukit-bukit hijau dan konturnya bergelombang tajam mengingatkan saya pada kaldera Bromo, ditambah lagi dengan adanya hamparan sawah di dalam lembah yang mirip sekali dengan Sembalun, seakan tidak menyangka kalau danau Toba seindah ini.

Sembalun van Toba
Lobster danau Toba
Hujan deras mengguyur ketika kami makan siang bersama Bella di Sekapur Sirih yang letaknya tidak jauh dari penginapan. Ada sesuatu hal yang baru bagi saya, yaitu ini adalah kali pertama saya makan lobster air tawar :D. Ternyata enak juga, padahal dari dulu saya kepingin banget makan beginian, apalagi waktu papa melihara lobster di rumah, tapi sayangnya gak boleh dimakan :( Baru kali inilah bisa kesampaian, dan saat itu sejenak saya melupakan kadar kolesterol dalam darah, semoga saja pas medical check up nanti gak bertambah.

"Begini lho dek cara menenun itu"
Menari Tor-tor

Setelah hujan agak reda, perjalanan dilanjutkan ke Huta Siallagan, di sini terdapat perkampungan yang terkenal dengan kanibalismenya. Saat memasuki kawasan, kita akan melihat rumah-rumah adat Batak di sebelah kirinya, lalu di tengahnya terdapat pelataran dan pohon besar yang di bawahnya terdapat meja dan batu yang dahulu digunakan untuk persidangan. Aktivitas selanjutnya adalah menari Tor-tor bersama, lalu menyaksikan Bella belajar menenun.


Saat sore menjelang, kami melanjutkan ke destinasi berikutnya ke atas bukit sambil menikmati teh tarik dan makanan tradisional, yaitu Ombus-ombus, yang rasanya mirip kue putu. Pada malam harinya, kami semua menyaksikan Samosir Jazz Season dan sekaligus sebagai puncak acara Explore Budaya Mixagrip. Meski diguyur hujan deras, para penonton tetap antusias menikmati acara sambil berteduh di Lopo Inn, tapi ada juga beberapa penonton yang nekat hujan-hujanan demi bisa berfoto dengan Bella di depan panggung, karena mereka sudah tau apa yang harus dilakukan ketika terserang flu, yaitu minum Mixagrip.


Malam itu acara ditutup dengan syahdu, sambil menyantap pizza Andaliman khas Batak di genggaman. Meskipun ada beberapa destinasi yang belum sempat dikunjungi, saya merasa cukup puas bisa mengeksplorasi danau Toba, mengenal kebudayaan baru, makanan unik, serta menikmati indahnya alam bersama teman-teman baru. Semua ini bisa terlaksana berkat Mixagrip, terima kasih Kalbe dan rekan-rekan media, semoga bisa kembali mengeksplor tempat-tempat baru, membagi pengalaman, dan memberikan edukasi bagi semuanya.



HORAS !!!
Siang itu saya bela-belain ke Serang hanya untuk mengganti SIM Card di salah satu provider berwarna kuning, karena di Cilegon nggak ada gerainya. Saat saya ingin masuk ke gerainya, perhatian saya teralihkan ke sebelah kiri, melihat spanduk yang berisikan :


 
Dari situlah timbul rasa penasaran untuk memasukinya. Ternyata Bubble Cafe & Gallery yang terletak di Jl. Raya Cilegon No. 73 Kepandean Serang ini memiliki konsep yang sangat berbeda dengan yang lainnya yang terletak. Dari namanya terkesan biasa saja, seperti cafe lain pada umumnya. Namun bila kita berkunjung ke sana kita akan melihat keunikan di dalamnya, yaitu semua pegawainya adalah orang-orang berkebutuhan khusus, seperti autisme, tunagrahita, dan juga tunarungu.

Saat sebelum masuk, pada bagian depannya telah dipasang spanduk yang menjelaskan bahwa cafe tersebut dikelola oleh orang-orang berkebutuhan khusus agar memakluminya. Bagian luarnya terdapat sebuah ayunan dan ditata sangat menarik sehingga sangat fotogenik, lalu bagian dalamnya pun sangat bagus sekali, karena di dindingnya banyak terdapat lukisan karya anak-anak berkebutuhan khusus.



Makanan yang disediakan juga cukup unik. Kita bisa menikmati berbagai macam olahan bakso yang berbentuk kotak, yang pastinya tanpa bahan pengawet dan juga MSG alias micin makanan favorit kids jaman now. Selain itu juga terdapat pilihan lain seperti nasi gepuk, siomay, dan batagor. Untuk makanan penutupnya kita bisa mencicipi pudding, es krim, dan jus yang disajikan dengan menarik. Semua makanan itu dibuat juga oleh anak-anak berkebutuhan khusus tadi, dan rasanya juga tidak kalah lezat dengan makanan pada umumnya. Harganya pun juga sangat terjangkau, dan bagusnya lagi, setiap bertransaksi di sini, 2,5% dari keuntungannya akan didonasikan untuk pendidikan dan tumbuh kembang anak-anak berkebutuhan khusus di pelosok Banten. Jadi kita bisa makan sambil beramal kepada sesama.
 


Ada hal yang lucu saat saya bertransaksi di sini. Ketika ingin membayar di kasir, tiba-tiba salah seorang pegawainya berbicara dengan nada tinggi seolah-olah seperti membentak. 

"ADA UANG PAS NGGAK ?!!!" kata orang itu.

"Wah, nggak ada" jawab saya pelan.
Awalnya saya ingin marah, tapi langsung teringat dengan puisi di dekat pintu masuk bahwa kita sedang berada di kawasan bebas dari rasa marah, kesal, sedih, dan kecewa, karena yang kita hadapi adalah orang-orang berkebutuhan khusus., jadi harus memakluminya dan banyak bersabar.

 

Dari kejadian itu, tidak lama kemudian seorang pemiliknya yang bernama bu Kris, yang juga merupakan ketua yayasan datang menghampiri saya dan menjelaskan bahwa kasirnya tersebut adalah seorang autisme, jadi emosinya seperti tidak terkendali dan berbicara dengan nada tinggi, padahal sebenarnya dia tidak marah dan tidak ada maksud untuk menyinggung orang lain. Tapi meskipun begitu dan sudah dijelaskan oleh pengelolanya, masih ada saja pengunjung lain yang terbawa perasaan sehingga memutuskan untuk memilih tempat makan lain.

Tidak mudah memang mempekerjakan orang-orang berkebutuhan khusus seperti ini, karena dibutuhkan lebih banyak kesabaran untuk mengajarkan berbagai hal yang baru yang sesuai standar pada umumnya. Sejak dibuka pada 3 September 2017 lalu, Bubble Cafe & Gallery memiliki sedikit kendala, seperti perhitungan keuangan yang salah dengan selisih mencapai Rp 200.000 dalam sehari dan juga masalah komunikasi. Meskipun begitu, pemiliknya tidak terlalu mempermasalahkan karena mereka juga dalam tahap adaptasi  dan masih belajar.

 

Selain menjual aneka makanan dan minuman, cafe ini juga terdapat galeri seni yang terletak di lantai 2. Di sini mereka memajang berbagai macam karya dari anak-anak berkebutuhan khusus seperti lukisan, kerajinan tangan berupa selimut, sarung bantal, gantungan kunci, dan berbagai macam souvenir lainnya yang dijual untuk umum. Tidak hanya itu, galeri ini pun juga bisa digunakan untuk tempat rapat ataupun acara perayaan ulang tahun. Cafe ini buka setiap hari mulai dari jam 10.00 -  21.00.
 

Untuk bisa bekerja di sini, para pegawainya telah lulus sekolah khusus dan telah mendapatkan berbagai pelatihan keterampilan, jadi mereka diberdayakan untuk bekerja agar bisa setara dengan orang-orang normal pada umumnya.



Yeaay...

Akhirnya jadi juga menjelajahi gunung dengan jalur terpuuuanjang di pulau Jawa, yaitu Agopuro. Kali ini saya berangkat bersama Cozmeed dengan acara yang bertajuk Eat, Sleep, Hike #2 yang diadakan  tanggal 26-30 November 2014.

Hari 1
Pada hari pertama penjemputan peserta dilakukan di tiga titik di Surabaya, yaitu Stasiun Gubeng, Terminal Bungurasih, dan Bandara Juanda. Setelah penjemputan, semua peserta berkumpul di Cartenz Store Surabaya untuk beristirahat sejenak, dan bersiap-siap menuju Bremi di Kab. Probolinggo menggunakan 2 buah mini bus.

Sampai di basecamp Bremi, agenda selanjutnya adalah makan malam, ramah tamah dan briefing mengenai jalur dan pos-pos yang akan dilewati. Sengaja kita memilih mendaki melalui jalur Bremi agar bisa lebih cepat sampai terlebih dahulu di Danau Taman Hidup.


Hari 2 : Start Pendakian
Pada keesokan harinya 27/11/2014, semua peserta mempersiapkan diri untuk memulai pendakian. Pagi itu cuaca sangat cerah, namun sesaat setelah makan siang, hujan turun dengan derasnya, yang membuat “pesta” siang itu menjadi bubar.

Sekitar pukul 15.30 semua peserta telah sampai di Danau Taman Hidup dan langsung mendirikan tenda. Sore pun berganti malam, para peserta saling bercengkrama di masing-masing tenda. Pada pukul 22.00, sesaat semuanya mulai tidur, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara keras. Awalnya semua mengira ada babi hutan yang menyerang tenda, ternyata itu adalah suara batang pohon besar yang patah karena rapuh dan menimpa jemuran. Sedihnya lagi, batang pohon besar itu menimpa tenda yang saya tempati. Untung saja saya gak terkena hantamannya.

Setelah kejadian itu, saya dan teman-teman yang mendirikan tenda dekat pohon langsung mengungsi ke tenda lainnya. Mungkin ini peringatan kalau kami tidak boleh berisik saat malam-malam :)

Saat camp di Taman Hidup sebaiknya tidak terlalu dekat dengan danau, karena dikhawatirkan akan meluap airnya, dan juga bersinggungan dengan satwa yang ingin minum.
 

Hari 3 : Target Camp Cisentor
Pagi hari tiba (28/11/2014), waktunya melanjutkan perjalanan ke camp berikutnya, yaitu Cisentor. Setelah meninggalkan Taman Hidup dan memasuki hutan lumut kami sempat disorientasi medan, karena jalurnya banyak sekali, dan tidak ada petunjuk yang jelas. Maka dari itu semua peserta kembali ke tepi Taman Hidup, sementara tim leader mencari petunjuk jalur yang benar.

Empat puluh menit berlalu, jalur yang benar sudah ditemukan. Akhirnya kita melanjutkan perjalanan ke Cisentor dengan melewati hutan lumut basah dengan kontur punggungan bukit. Perjalanan sempat terhenti karena hujan deras, untuk itu kami memutuskan untuk istirahat sejenak di Cemoro Limo.

Waktu tempuh dari Taman Hidup ke Cisentor sekitar 8-9 jam, dengan melewati jalur yang berbukit-bukit yang menguras banyak tenaga. Menjelang gelap, para peserta sudah kewalahan dengan staminanya, karena pos Cisentor yang dituju tidak kunjung ditemukan. Pada perjalanan ini para peserta terpisah menjadi 3 kloter.

Jam hampir menunjukkan pukul 21.00 WIB, dan perjalanan sudah sekitar 10 jam yang mengharuskan kita untuk berhenti dan mendirikan tenda meskipun tempat tujuan belum tercapai. Setelah menemukan sabana kecil, kami memutuskan untuk nge-camp di sini, karena kondisi fisik dan mental yang kurang memungkinkan dan dapat berakibat fatal bagi masing-masing peserta, karena sudah 2 hari dihajar hujan selama perjalanan.


Hari 4 : Puncak
Keesokan harinya 29/11/2014, perjalanan dilanjutkan menuju Cisentor dan ternyata letaknya tidak begitu jauh dari tempat kami camp semalam. Saat sampai Cisentor, semua peserta mengisi air minum di sungai kecil, karena persediaan air saat camp semalam sudah habis. Di pos ini terdapat shelter kecil dan ada tempat datar yang cukup memuat sekitar 6 tenda.

Sesuai rencana sebelumnya, dari Cisentor perjalanan dilanjutkan menuju puncak. Untuk itu semua tas carrier ditinggalkan di sini, dan beberapa peserta pun ada yang tidak ikut ke puncak dikarenakan kondisi fisik yang kurang memungkinkan.

Dari Cisentor menuju puncak Rengganis dapat ditempuh sekitar 3 jam, dengan melewati berbagai lembah dan bukit. Sebelum puncak, kami beristirahat di Rawa Embik, yaitu sebuah tempat datar yang biasa buat camp karena terdapat aliran air.

Sebelum sampai ke puncak kita menemukan pertigaan di sebuah sabana. Tidak ada pentunjuk yang jelas, tapi kami menemukan secarik kertas berwarna kuning yang menunjukkan arah puncak Rengganis sebelah kiri dan puncak Argopuro sebelah kanan.

Karena akses yang lebih dekat dan mudah, kami memutuskan untuk naik ke puncak Rengganis terlebih dahulu. Di puncak Rengganis ini terdapat batuan seperti pondasi dan pintu gerbang yang konon merupakan peninggalan dari Dewi Rengganis.

Di bawah puncak terdapat susunan batu-batu seperti makam. Mungkin tempat ini dulunya bekas kawah aktif, karena terdapat bau belerang dan batuan berwarna putih. Setelah sampai puncak, para peserta berfoto-foto sejenak, kemudian mereka semua turun ke pertigaan dan melanjutkan ke puncak Argopuro (3088 mdpl) yang merupakan tempat tertingginya.

Di puncak Argopuro jalurnya lebih terjal daripada puncak Rengganis, dan  pemandangan di sekelilingnya tidak begitu terlihat karena puncaknya tertutup oleh pepohonan. Meskipun begitu, ada rasa bangga bisa berhasil menapaki sampai puncak ini.

Setelah puas berfoto-foto di puncak, kami memutuskan untuk turun ke Cisentor lagi, karena cuaca sudah mulai berkabut dan diiringi dengan hujan gerimis. Sesampainya di Cisentor, rekan-rekan yang tidak ikut ke puncak telah menyiapkan makanan dan minuman hangat, karena saat ke puncak tadi, kami belum sempat makan siang.

Hari sudah mulai sore, perjalanan pun kami lanjutkan kembali menuju camp selanjutnya yaitu Cikasur. Untuk menuju Cikasur dapat ditempuh sekitar 3 jam perjalanan dengan melewati bukit dan sabana yang panjang. Dalam perjalanan yang gelap dan sempit, hujan deras pun mengguyur kami sepanjang perjalanan. Rasa dingin dan berat karena barang bawaan menjadi lebih berat akibat air hujan terus menghantui kami. Belum lagi kilatan petir yang menyambar ke sana kemari.

Sepanjang perjalanan nyaris tidak ada percakapan dari kami karena berkonsentrasi dan saling berdoa dalam hati agar diberi kekuatan dan keselamatan, mengingat kondisi fisik dan mental para peserta semakin melemah karena diguyur hujan diiringi dengan suara petir yang menggelegar. 

Sabana demi sabana kami lewati dengan menggigil kedinginan karena basah kuyup. Kala itu hujan sedang deras-derasnya, sehingga seperti percuma saja menggunakan jas hujan.

Sekitar pukul 20.00, seluruh peserta telah sampai Cikasur. Beruntung ada sebuah bangunan dengan beratapkan seng yang dapat kami gunakan untuk berlindung dari air hujan. Beruntung sekali ada shelter kosong yang dapat menampung semua peserta. Bayangin aja kalau tidak ada shelter itu, semua stok pakaian bakal basah kuyup.

Setelah hujan reda, kami bergegas mendirikan tenda di area tersebut dan mengganti pakaian dengan yang kering agar tidak terkena hipotermia.


Hari 5 : Menuju Baderan
Hari terakhir pun tiba. Saatnya membersihkan diri di sungai terdekat. Banyak yang menyebutnya Sungai Qolbu. Di sungai tersebut terdapat selada air yang dapat dimasak sebagai tambahan makanan. Air di Cikasur sangat jernih dan segar sekali, berasa seperti air dari surga :D Di area ini pun terdapat bekas landasan pesawat saat jaman kependudukan Jepang di Indonesia. Tidak lupa kami turut membawa kembali semua sampah yang dibawa mulai dari pintu gerbang jalur Bremi sampai menuju Baderan.

Perjalanan pulang menuju Baderan dimulai pukul 8.30. Dari Cikasur kita masih membutuhkan 1 hari perjalanan agar sampai sana, dengan melewati sabana yang luas dan punggungan bukit. Semua peserta masih tampak semangat karena akan membayangkan akan sampai di basecamp Baderan lalu makan dan minum-minuman yang tidak bisa didapatkan di Argopuro.

Semua tampak lancar, namun seusai melewati Mata Air 2 dan Mata Air 1 hari sudah semakin gelap. Para peserta tampak kelelahan dan frustasi karena tempat yang dituju tidak kunjung sampai. Hutan demi hutan, punggungan demi punggungan pun telah dilewati, sampai pada akhirnya tiba pada jalur jalan setapak yang berbatu-batu. Dari sini ternyata perjalanan masih jauh lagi, namun tenaga dan pikiran para peserta sudah pada drop, terlebih lagi telapak kaki pada sakit karena menginjak batu-batuan yang posisinya menjulang ke atas.



Kuntilanak menangis

Semua peserta kini tidak berjalan beriringan lagi, karena kondisi yang sudah sangat lelah. Ada yang berjalan sendiri dan ada juga yang dengan kelompok kecil 3 orang.

Suatu ketika di keheningan dan kegelapan malam. Kilenk mendengar suara tangisan seorang wanita. Semakin dia maju, semakin jelas pula suaranya. Dia memang agak penakut, maka dari itu dia memutuskan untuk baca Ayat Kursi supaya setannya pergi. Tapi dia baru ingat kalau tidak hapal Ayat Kursi. Lalu bacaan tersebut diganti dengan Surat An-Nas. Saat dibacakan surat tersebut, bukan malah pergi, tapi suaranya semakin jelas. Akhirnya dia pasrah kalau bakal ketemu atau diculik kuntilanak, Tapi saat memberanikan diri melewati sumber suara tersebut, ternyata yang menangis itu bukan Kuntilanak, tapi si Dilla, salah seorang peserta yang terpisah :D

Akhirnya, sekitar pukul 21.30, semua peserta sudah sampai basecamp Baderan dengan kondisi kaki yang bermacam-macam. Sungguh 4 hari 3 malam yang sangat mengesankan untuk berjuang bersama menjelajahi Argopuro.