Mencari Gajah Berbelalai Dua di Way Kambas


A : Bona Gajah Kecil Berlalai Panjang.

B : Bukan berlalai, tapi "berbelalai".

A : Gak mauu…pokoknya Berlalai !"

A : Ya udah, terserahlahh…

Sampai sekarang masih teringat jelas bagaimana waktu kecil saya ngeyel sama papa tiap kali baca cergam Bona si gajah pink di majalah Bobo. Memang, waktu kecil saya agak kesulitan untuk melafalkan "Berbelalai", sama halnya dengan kata "kelelawar" menjadi "kelawar". Bagi saya, gajah merupakan hewan yang sangat unik. Banyak sekali pertanyaan yang menghinggapi selama ini, apakah gajah takut tikus ? mengapa gajah tidak bersin ketika menyedot debu ? mengapa gajah yang berat bisa berenang, sementara saya gak bisa-bisa ? mengapa gajah yang duduk dipakai buat cap sarung ? dan masih banyak lagi.

Pagi itu Iqbal sudah menunggu di Pelabuhan Merak. Awalnya saya pengen berangkat sendiri ke Way Kambas, tapi baru ingat kalo sendirian nanti gak ada yang motretin, ya sudah kami berangkat berdua naik motor dengan menyeberang menggunakan kapal Ferry. Di pelabuhan ini tidak terlalu ramai, karena yang mudik sudah pada sampai di kampung halaman masing-masing. Kapal yang kami naiki saat itu hanya kapal biasa, padahal saya berharap bisa menaiki lagi Kapal Portlink III yang mewah itu. Perjalanan dari Merak menuju Bakauheni Lampung ditempuh selama 2 jam. Jika membawa motor dikenakan tarif sebesar Rp 45.000 dan kendaraan roda 4 sekitar Rp 325.000. Cukup mahal juga ternyata.


Ini adalah kali keempat saya menjejakkan kaki di tanah Sumatera. Jarak yang terjauh hanya cuma sampai menara Siger yang letaknya tidak jauh dari pelabuhan, tapi kali ini saya akan menempuh perjalanan yang sangat jauh. Sebelum melakukan perjalanan ini, saya membekali referensi dulu dari blognya Satya Winnie agar bisa sampai tujuan, namun saya memilih melewati jalur pantai timur, karena menurut orang sekitar jalannya bagus dan tidak macet, daripada harus memutar melewati kota Bandar Lampung.


Dari Bakauheni menuju Way Kambas ditempuh hampir 4 jam lamanya. Saat baru melewati jalur ini saya bingung karena merasa seperti berada Bali. Selepas menara Siger, di sepanjang kanan dan kiri jalan banyak terdapat pura dan bangunan-bangunan khas umat Hindu Bali. Ternyata di daerah ini terdapat perkampungan Bali. Dari sini perjalanan masih sangat jauh, dengan melewati Way Jepara dan Rajabasa Lama. Sampai akhirnya kami menemukan plang penunjuk arah Taman Nasional Way Kambas kemudian belok kanan menyusuri jalan yang agak rusak sepanjang 7 km.


Pukul 14.22 tibalah kami di pintu gerbang Taman Nasional. Ketika sampai di sini saya kembali bingung, karena sebagian besar orang di sini berbicara menggunakan bahasa Jawa, mulai dari pedagang, karyawan Alfamart, petugas Taman Nasional, pawang gajah, bahkan pengunjungnya, cuma gajahnya saja yang gak bisa, mungkin kurang sinau :p

Saat masuk lokasi sudah ramai sekali oleh warga yang berwisata libur lebaran. Dengan membayar Rp 15.000/motor (tanpa diberi tiket oleh petugas) kami masuk ke dalam dan membayar parkir Rp 5.000. Saat masuk di sini saya sangat kecewa sekali, karena banyaknya sampah berceceran ulah pengunjung yang tidak bertanggungjawab Di area ini ada taman bermain anak-anak, ada wahana menunggang gajah, tempat atraksi sepakbola gajah, dan juga rumah sakit gajah.

Saat selesai melakukan atraksinya, saya mencoba mendekati gajah dan menyentuh kulit bagian sampingnya. Ternyata kulitnya sangat tebal dan teksturnya mirip itu :D Untuk membedakan gajah Sumatera yang jantan dan betina cukup mudah sekali. Jika terdapat gadingnya itu adalah gajah jantan. Selain memiliki gading, gajah Sumatera jantan juga memiliki 2 belalai, yang satu di depan dan yang satu di belakang. Suatu ketika pandangan saya tertuju pada seekor gajah jantan yang sedang ngangkang. Saya mencoba memperhatikan dengan seksama benda panjang yang berada di antara kaki belakangnya.

Ada belalainya di belakang.

"Belalai gajah yang belakang kok diam aja gak bergerak-gerak, hanya gondal-gandul ?"

Eh, ternyata itu bukan belalai, melainkan penis gajah. Untung saja saya gak bersalaman dengan "belalai" belakangnya itu, hihihi :p

Ukuran gajah Asia lebih kecil dibandingkan gajah Afrika. Ada banyak perbedaan fisik antara keduanya, seperti ukuran telinga, bentuk punggung dan kepala. Gajah Afrika memiliki 2 "bibir" pada ujung belalainya, sedangkan gajah Asia hanya 1. Semua gajah Afrika memiliki gading, baik yang jantan maupun betina, sedangkan gajah Asia hanya jantan saja yang memiliki gading.

Perbedaan gajah Asia dan Afrika.
Gajah-gajah yang sehabis melakukan atraksi, pada sore harinya dimandikan oleh pawangnya di kolam yang besar. Tampak gajah Pepi sedang ditunggangi oleh Pawang yang sedang mengajarkan anaknya mengendalikan gajah. Di seberang kolam itu terdapat padang rumput yang luas untuk digunakan menggembala gajah seperti layaknya menggembala sapi/kerbau. Setelah dimandikan, gajah-gajah itu digiring menuju tempat seperti lapangan lalu dirantai dan diberi makan.


Gajah memiliki ingatan yang sangat kuat, karena memiliki volume otak yang besar. Mereka akan berjalan di jalur yang sama meskipun tempat itu sudah berubah menjadi pemukiman. Punya ingatan kuat memang bagus, tapi akan percuma jika yang diingat hanya kenangan bersama mantan. #eeaa

Bagi pengunjung yang ingin trekking bersama gajah cukup membayar Rp 150.000/orang. Dari situ kita bisa menunggangi gajah berkeliling masuk ke hutan layaknya Tarzan selama 20 menit.

Dikejar gajah.
Di tempat pengamatan gajah, jika ingin berfoto bersama gajah haruslah ada pawangnya, karena meskipun mereka sudah jinak, gajah tetaplah hewan liar yang bisa menyerang jika merasa terganggu atau terancam. Sempat juga si Iqbal dan pengunjung lainnya lari tunggang-langgang karena dikejar gajah Yeti. Padahal sebenarnya mungkin Yeti bukan bermaksud untuk menyerang, tapi ingin mengajak bermain gajah-gajahan.


Matahari sudah semakin turun, para pengunjung dan pawang pun pulang ke rumah masing-masing. Belum puas rasanya berada di sini, karena masih banyak keingintahuan tentang gajah yang belum didapatkan.

Saat tiba di tempat parkir, saya mendapati motor sudah pindah tempat tidak jauh dari posisi awal. Di area parkir masih banyak pemuda setempat yang sedang rapat dan menghitung uang hasil parkir. Tinggal hanya ada motor saya dan beberapa motor orang-orang itu. Salah seorang dari mereka menduduki motor saya dan meminta tambahan uang parkir karena melewati batas waktu parkir. Padahal sebenarnya jarak waktu pengunjung lain dan kami pulang tidak terlalu jauh. Orang itu berdalih demikian. Dengan nada tinggi dan sangat tidak sopan, dia meminta uang itu, awalnya dia bilang terserah, lalu saya beri Rp 5.000 dia menolak.

"Buat apa uang segitu ?" katanya merendahkan.

"Lhahh…kan parkirnya tadi Rp 5.000, ya sudah saya tambahin 5000 lagi" balasku.

Ternyata dia minta jadi Rp 10.000, lalu saya tambahi beberapa dia tetap menggerutu. Salah seorang dari temannya sempat melerai kami untuk menyudahi perdebatan. Karena tidak mau berlama-lama karena sudah mulai gelap dan harus ke kota, akhirnya saya mengalah dan terpaksa memberi si brengsek itu Rp 10.000 tanpa keikhlasan.

Sungguh sangat kecewa sekali dengan pariwisata Indonesia, khususnya TN. Way Kambas, karena masih ada saja pungli dan pemerasan seperti ini. Semoga ditindak lanjuti oleh pihak yang berwenang.

Akhirnya dengan rasa jengkel dan penuh dendam, malam itu kami langsung melanjutkan perjalanan menuju kota Bandar Lampung…

2 comments: