Pulau Tunda atau dalam alias "Delay Island", adalah sebuah pulau yang tidak begitu kecil yang berada di utara Provinsi Banten. Pulau ini masih termasuk dalam wilayah Kabupaten Serang.




Sabtu pagi itu si Adit mengajak saya untuk eksplorasi ke Pulau Tunda bersama dengan temen-temen dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Cilegon. Mereka berencana untuk diving dan snorkling di sana.


Dari Cilegon perjalanan dilanjutkan menuju Pelabuhan Karangantu di kawasan Banten Lama. Untuk menyebrang ke Pulau Tunda dapat menggunakan kapal nelayan setempat dengan membayar sekitar 1,5 juta berangkat-balik.

Sopir ngengkeng

Saat itu masih tampak biasa-biasa pada kapal yang kami tumpangi, tidak terlihat ada yang aneh. Namun pada saat sudah berada di tengah laut, ternyata sang mamang sopir kapalnya lupa membawa solar cadangan, dan dia segera menghubungi temannya untuk menyusul dengan kapal lain dengan membawa solarnya.

Pesiar


Saya sempat cemas juga karena teringat dengan film Warkop DKI dimana mereka kehabisan bahan bakar kapalnya lalu terdampar di sebuah pulau yang berisi suku primitif pemakan manusia. Belum lagi kecemasan saya bila bertemu dengan suku tersebut lalu disodomi rame-rame, aaargghh….bisa rusak masa depanku :(



Tapi untungnya saya baru ingat kalo di Banten bagian utara itu pulaunya kecil-kecil, sedikit, dan sering dilalui oleh kapal, jadi kecil kemungkinan ada makhluk perenggut kesucian seperti mereka.


Selama di tengah perjalanan menuju Pulau Tunda, sang sopir kapal tampak gelisah, sebentar-sebentar dia menoleh ke belakang, menanti datangnya solar dari kapal lain. Laju kapal pun sangat lambat dari tipe kapal nelayan sejenis, padahal penumpangnya hanya sedikit.

Mamang gelisah


Setelah lama menunggu dan terombang-ambing di tengah laut, akhirnya kiriman solar pun datang, kami jadi bisa lebih lega. Perjalanan pun dilanjutkan kembali. Tapi tidak lama kemudian, timbullah masalah lagi. Tiba-tiba saluran air dari mesinnya bocor dan menimbulkan asap. Awalnya kami pikir kebakaran, dan si mamang sempat panik, akhirnya tidak lama kemudian masalah tersebut dapat teratasi, karena ada asistenya yang mengambil alih kemudi.


Saat di perjalanan kami melewati Pulau Empat dan Pulau Tiga yang letaknya berdekatan. Perjalanan dari Pelabuhan Karangantu biasanya dapat ditempuh sekitar 2 jam, tapi waktu itu kami membutuhkan waktu hingga 3,5 jam, sehingga membuat kami menjadi jenuh.

Pulau 4


Di Pulau Tunda ini terdapat pemukiman penduduk, ada warung, masjid, dan rumah warga yang bisa digunakan sebagai homestay. Uniknya, hampir di tiap rumah warga terdapat pohon jambu air. Kebetulan saat itu sedang berbuah, jadi kita gak khawatir akan kehabisan perbekalan di sini.



Seharusnya siang itu kami ada rencana untuk eksplorasi Pulau Tunda lewat darat, tapi karena terlalu lama di kapal, jadwalnya jadi kacau, jadi mau gak mau kita memutuskan untuk ke dive spot untuk eksplorasi bawah laut.

Snorkling di depan resort

Pulau Tunda ini airnya sangat jernih, terumbu karangnya juga bagus dan banyak terdapat ikan hias, gak kalah deh sama pulau-pulau lain di luar Jawa.


Saat menjelang sore, arus bawah laut semakin besar, sehingga  kita memutuskan untuk pindah tempat snorkling yang lebih aman.


IMG-20151115-WA0004

IMG-20151115-WA0005


Setelah puas (sebenernya kurang puas) mengeksplorasi bawah laut, kami memutuskan untuk pulang ke Pulau Jawa lagi, dikarenakan hari mulai sore. Di tengah perjalanan, kapal yang kita tumpangi mengalami kebocoran saluran air lagi, hal ini diperparah dengan gelombang yang semakin besar, sehingga membuat kami berguncang hatinya.


Matahari pun mulai turun perlahan ke garis cakrawala, hari pun semakin gelap, dan ternyata….di kapalnya tidak ada lampu yang berfungsi ! Walhasil saya pun berdoa terus menerus supaya kapalnya tidak terdampar di pulau yang dihuni oleh suku primitif yang hobi nyodomi…



Pada Oktober 2010 lalu, Gunung Merapi (2.950 mdpl) di Sleman, D.I Yogyakarta dengan sukses memuntahkan isi perutnya ke wilayah selatan. Alhasil ratusan hektar perkebunan dan pemukiman penduduk rusak diterjang awan panas. Tempat tinggal, ladang, hewan ternak, dan harta benda lain serta ratusan korban jiwa melayang.

Kini tiga tahun telah berlalu sejak erupsi waktu itu. Material dari perut Merapi yang dimuntahkan kini tinggal berupa endapan pasir dan batu-batuan. Kali Gendol, Kali Kuning, dan Kali Opak kini bagaikan menjadi ladang perburuan harta karun bagi warga Cangkrinan dan Klaten.


Sebenarnya aktifitas yang dilakukan penambang ini termasuk legal, karena telah disahkan oleh Bupati Sleman, dengan alasan untuk mempercepat normalisasi sungai setelah erupsi. Namun saat ini surat keputusan tersebut telah habis masa berlakunya, dan tidak diperbaharui lagi.

Bagi warga Merapi menambang pasir merupakan cara mudah untuk mendapatkan uang, karena aktivitas dalam menambang pasir tidak memerlukan keterampilan khusus, cukup bermodalkan senggrong saja. Dalam sehari mereka bisa mendapatkan upah Rp 30.000 sampai Rp 90.000, tergantung dari banyaknya permintaan.

Ada resiko terbesar yang harus dihadapi para penambang. Seperti, ketika Puncak Merapi dilanda hujan deras, maka para penambang harus segera meninggalkan tempat tersebut, sebab dikhawatirkan adanya terjangan banjir lahar dingin yang melewati aliran sungai. Karena sudah banyak korban jiwa dan harta benda yang melayang akibat dari kejadian tersebut.


Selain menjadi sumber penghasilan, ternyata aktifitas penambangan pasir ini juga memiliki masalah dampak kerusakan lingkungan. Mulai dari rusaknya jalan desa karena hilir mudik truk-truk pengangkut pasir, sampai hilangnya kesuburan tanah dan bahaya longsor. Selain itu juga anak-anak di seputar Cangkringan banyak yang mengeluh mengalami infeksi saluran pernapasan.

Memang, pada setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Merapi, dari yang dahulu adalah sebuah bencana, kini menjadi sebuah berkah tersendiri bagi warga lereng Merapi. Tergantung bagaimana mereka mengelolanya dengan bijak dan memikirkan solusi atas dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.


Lanjutan…[Part 1]


Setelah berbincang-bincang di rumah Jaro Dainah, Pak Alim pun mengutus anak bungsunya yang bernama Misja (15th) untuk mengantar kami ke rumah Kakaknya yang merupakan warga Baduy Luar. Penguasaan Bahasa Indonesia Misja sangat kurang sekali, dan kami pun mencoba memahami sekenanya Bahasa Sunda yang diucapkannya. Perjalanan dilanjutkan menuju kampung Gajeboh yang berjarak 5km dengan melintasi jalan setapak yang berbatu dengan didominasi tanah dan tanjakan, serta beberapa kali menyeberangi sungai kecil. 

Cuaca saat itu panas sekali, sehingga membuat tubuh kami cepat lelah. Jalan di Baduy berbukit-bukit dengan ketinggian sekitar 400 mdpl dan udaranya pun panas sekali, tidak seperti di gunung pada umumnya. Setelah berjalan kurang lebih 1 jam, akhirnya kami sampai di sebuah jembatan bambu di Kampung Gajeboh. 

Setelah beristirahat sejenak, kemudian Misja menyuruh kami untuk melanjutkan perjalanan, dan ternyata rumah kakaknya berada tidak jauh dari rumah Jaro Dainah. Jadi kami terpaksa berbalik arah lagi melewati jalan sebelumnya yang telah kami lewati. Tapi kemudian Misja menggunakan jalan alternatif dengan mengambil jalur yang memotong bukit. Di sinilah kekuatan fisik kami benar-benar diuji, karena harus melewati tanjakan yang panjang dan terjal dengan membawa beban yang berat di pundak disaat matahari benar-benar memancarkan sinarnya.


Warga Baduy Luar melewati jembatan bambu.
 Pukul 14.30 sampai juga di rumah Mursyid, kakak dari Misja, di kampung Cicampaka. Di kampung ini hanya terdiri dari 8 rumah. Di rumah yang kami tempati sepertinya belum lama dibangun, karena kayu dan bambunya masih bersih dan bagus. Rumah ini tergolong mewah buat warga Baduy, karena handle pintunya sangat modern sekali, dan memiliki kamar mandi sendiri, walaupun belum jadi. Di dalam rumahnya terdapat kalender dan juga stiker kampanye partai politik. Tapi ada sebuah foto yang mengagetkanku, yaitu foto beberapa warga Baduy Dalam bersama Presiden SBY dan Ibu Ani di Istana Negara, Jakarta. 

Ketika sampai di rumah tersebut, kami langsung beristirahat untuk memulihkan tenaga. Sementara itu sambil menunggu sang kakak pulang dari ladang, Misja memasakkan air dan mie instan untuk kami. Tidak lama kemudian, Pak Alim datang membantu Misja memasak dan juga mengobrol dengan kami, menjelaskan tentang Baduy dan juga pengalamannya ketika bertemu Presiden SBY. 

Sekitar pukul 15.30 Mursyid dan istrinya baru pulang dari ladang. Ternyata mereka lebih muda dari yang aku bayangkan. Mursyid baru 17 tahun, tapi sudah menikah. Memang, di Baduy rata-rata warganya menikah pada usia muda. Istri Mursyid tampak cantik sekali, kulitnya putih bersih, tapi dia sangat pemalu, tidak suka mengobrol dengan orang asing apalagi difoto.


Misja & Mursyid
Ayah Mursyid berfoto dengan SBY


Sejak 2 tahun lalu, Mursyid memutuskan keluar dari kampung Cibeo di Baduy Dalam, karena menikah dengan warga Baduy Luar, dan otomatis sekarang dia menjadi warga Baduy Luar, sehingga tidak mematuhi peraturan adat di Baduy Dalam lagi. Walaupun begitu, Mursyid masih dianggap sebagai keluarga Pak Alim, tokoh di Kampung Cibeo - Baduy Dalam. Sore itu kami makan bersama dengan menu nasi, mie, dan juga ikan asin yang kami bawa dari rumah. Karena orang Baduy sangat menyukai sekali ikan asin. Di sini lah kebersamaan itu terjalin, tidak peduli sesederhana apa makanan yang kami makan. 

Malam harinya di kampung ini sepi sekali, hanya ada percakapan dua tetangga di depan rumah, dengan hanya diterangi lampu tenaga surya. Suasana begitu tenang sekali, tanpa ada gangguan suara kendaraan, deringan ponsel, dan juga televisi. Kadangkala kita butuh ketenangan seperti ini, menjauh dari hiruk-pikuk kota besar dengan segala kepenatan rutinitas sehari-hari. Melupakan sejenak tugas-tugas kuliah, dan berkontemplasi untuk melahirkan ide-ide yang segar bagi seorang seniman. Suara nyanyian serangga di hutan mengiringi kami ke dalam alam bawah sadar, yang menandakan bahwa kami harus segera tidur, karena esok pagi masih harus melakukan eksplorasi lagi, selain itu Misja, Mursyid dan istrinya juga telah tidur di kamar masing-masing.

Makan bersama dengan lauk ikan asin sebagai andalan

2 Mei 2013


Sekitar pukul 05.00 kami terbangun oleh suara ayam yang berkokok tepat di bawah kami, karena rumah di Baduy Luar berbentuk panggung beralaskan bambu, dan ayam-ayamnya berada di bawahnya. Pagi itu udara dingin masih menyelimuti, dan hal ini kontras sekali dengan udara saat siang hari yang begitu panas. Di luar rumah, tampak beberapa orang tetangga yang hilir mudik di tengah kabut tipis, mereka sudah mulai pergi ke ladang. Letak ladangnya jauh dari tempat tinggal mereka. Biasanya mereka menanam padi gogo, dan juga mengambil dari hasil hutan seperti madu, rotan, gula aren, dan tanaman-tanaman khas di bukit di bawah ketinggian 1000 mdpl. 

Setelah sarapan, kami diajak oleh Misja untuk mengeskplor kampung itu, melihat proses pembuatan koja (tas tradisional khas Baduy). Koja dibuat dari kulit kayu yang orang Baduy biasa menyebutnya kayu teureup. Kayu teurup dikuliti hingga tipis kemudian dikeringkan, setelah kering dipintal menggunakan alat tradisional dan hasilnya akan berbentuk seperti benang. Setelah menjadi benang, kemudian dirajut manual menggunakan tangan menjadi sebuah tas. Tas tersebut dijual dengan harga Rp 20.000.





Perjalanan terakhir kami lanjutkan sekaligus pulang ke Cilegon. Maka dari itu kami pun pamit kepada Mursyid dan istrinya dan juga memberikan bantuan beras dan ikan asin. Untuk menyingkat waktu, Misja menggunakan jalur lain untuk sampai ke desa Kaduketeur, desa yang terdekat dengan pintu keluar ke Ciboleger. Di sepanjang perjalanan banyak sekali percabangan, karena yang kami lewati ini bukan jalur pengunjung umum, dan bagi yang tidak tahu jalan pasti akan tersesat masuk ke hutan. 

Menjelang kampung Kaduketeur ada terdapat beberapa leuit atau lumbung padi. Leuit tersebut di tempatkan di dekat gubuk tempat beristirahat ketika berladang. Sesampainya di kampung Kaduketeur, kami berhenti sejenak di rumah warga Baduy Luar. Tidak lama kemudian seorang wanita pemilik rumah keluar dan menawarkan madu hutan dan souvenir khas Baduy. Lantas aku membeli kain lomar, tas koja untuk tempat minum, dan juga madu. Harganya pun sangat murah. Tidak jauh dari rumah tersebut ada juga beberapa wanita yang sedang menenun, dan di situ kami memperhatikan proses pembuatannya.


Warga Baduy Luar menonton TV di sebuah warung.
Kalau ke Baduy jangan lupa beli madu asli.

 Setelah puas memotret proses menenun, perjalanan kami lanjutkan ke Ciboleger, tempat menunggu angkot. Ketika melewati pasar sebelum Ciboleger, terlihat sekumpulan wanita Baduy Luar sedang asik menonton televisi, langsung saja kuarahkan lensa kameraku, karena orang Baduy Luar tidak suka difoto. Tepat pukul 10.30 kami sampai di Ciboleger, beruntung sekali saat itu masih ada angkot. Karena angkot terakhir menuju Rangkasbitung adalah pukul 13.00. 

Sambil menunggu angkot berangkat, kami duduk-duduk di depan warung, begitu juga Misja. Dari wajahnya yang polos itu, dia tampak sedih sekali melepas kepergian kami berdua, begitu juga sebaliknya. Pertemuan dua hari dirasa sangat singkat sekali bagi kami, karena saat ini dia tidak merasa canggung lagi dan mulai akrab. Bagi kami, bisa berkenalan dengan Misja, dan keluarganya sangatlah berkesan, banyak pelajaran yang bisa kami petik dari perjalanan ini. 

Kesederhanaan dan jauh dari modernitas membuat mereka bebas dari sifat konsumerisme. Serta kehidupan yang selaras dengan alam dan juga keteguhan menjaga adat istiadatnya merupakan contoh yang patut diteladani.

Akomodasi :
Kereta Cilegon - Rangkasbitung : Rp 20.000 ( Ekonomi AC )
Angkot Stasiun - Terminal Awe : Rp 3.000
Terminal Awe - Ciboleger : Rp 15.000
Iuran sukarela ke Jaro : Rp 10.000 ( 2 org )
Menginap di Baduy Luar ( sukarela ) : Rp 50.000 ( 2 org )

Tips :

- Waktu yang tepat ke Baduy adalah bulan Juni - Desember, karena Januari - Mei biasanya ada Kawalu.
- Bagi yang baru pertama kali berkunjung diharapkan membawa teman yang sudah berpengalaman, atau menyewa guide yang terpercaya.
- Angkot dari Ciboleger ke Rangkasbitung terakhir pukul 13.00.
- Bawa jas hujan, karena cuaca di Baduy sulit diprediksi.
- Bawa ikan asin, beras, atau mie instan untuk diberikan kepada tuan rumah.
- Sampah harus di bawa lagi keluar kawasan.
- PATUHI ATURAN ADAT ISTIADAT SETEMPAT !!!

Ini adalah kali ke-lima saya mengunjungi suku Baduy yang terletak sekitar 2,5 jam dari rumah saya. Pada kesempatan ini saya hanya berdua bersama Arga untuk berkolaborasi dalam membuat proyek buku foto dokumenter.


1 Mei 2013


Ketika itu hari masih gelap, kami bergegas menuju Stasiun Cilegon untuk naik kereta jurusan Rangkasbitung. Demi mengejar waktu, kami memutuskan untuk memilih kereta kelas ekonomi AC yang berangkat pukul 05.53. Sampai di Stasiun Rangkasbitung pukul 06.55, setelah itu kami mencari warung untuk sarapan terlebih dahulu. Setelah perut terisi, perjalanan kami lanjutkan naik angkot ke Terminal Awe. 

Di terminal ini kami naik angkot mini bus jurusan Ciboleger. Sedikit sekali orang yang ingin menuju terminal Ciboleger, karena daerah tersebut adalah daerah pelosok dan merupakan terminal terakhir sebelum memasuki kawasan Baduy, terlebih lagi pada waktu itu bukan hari liburan sekolah. Maka untuk mencapai Ciboleger, angkutan tersebut harus terisi penuh dengan penumpang terlebih dahulu. Alhasil kami pun terpaksa menunggu di dalam mobil selama satu jam.

Terminal Ciboleger

Setelah lama menunggu, datanglah beberapa orang masuk ke dalam mobil, dua diantaranya memakai Lomar, yaitu kain biru penutup kepala khas Baduy Luar. Memang, bagi orang Baduy Luar diperbolehkan untuk menaiki kendaraan, sedangkan orang Baduy Dalam dilarang mengenakan alas kaki dan menaiki kendaraan.

Perjalanan dari Rangkasbitung menuju terminal Ciboleger ditempuh selama 1 jam, melewati jalan aspal yang bergelombang dan berbukit-bukit. Sang supir angkot yang kami tumpangi tetap memaju kecepatan walaupun jalan tersebut sempit dan rusak. Di dalam angkot, selama perjalanan hanya kepasrahan dan doa yang bisa kupanjatkan. Dan aku yakin, ini adalah bagian dari petualangan yang harus dihadapi. 

Sekitar 7 km menjelang Ciboleger, kami sedikit terhambat dikarenakan jalan yang kami lalui telah longsor dan tinggal menyisakan separuh jalannya. Jurang menganga sekitar 20 meter di sebelah kanan berhasil kami lewati, dan beruntung waktu itu tidak sedang hujan.

Sampai di Terminal Ciboleger kami langsung disambut para tukang ojeg yang menawarkan untuk menjadi guide. Untuk menolaknya aku bilang saja kepada mereka kalau aku sudah sering ke Baduy dan akan menginap di rumah Pak Syarif, sesepuh di Baduy Dalam. Seketika mereka semua langsung terdiam dan tidak mengganggu kami lagi, karena seringkali mereka memaksa agar kita mau memakai jasanya.

Pukul 10.45 kami mulai berangkat dengan berjalan kaki menuju Kampung Baduy Luar. Setiap tamu yang berkunjung ke Baduy diharuskan melapor terlebih dahulu kepada Jaro Dainah. Jaro adalah sebutan dari kepala kampung. Dalam hal ini adalah kampung Baduy Luar di Desa Kanekes. Rumah Jaro Dainah tidak jauh dari gapura tempat masuk kawasan Baduy, sekitar 300 meter. 

Sesampainya di rumah Jaro, kami langsung memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan ke Baduy. Tidak ada tarif khusus untuk memasuki kawasan Baduy, cukup mengisi buku tamu dan membayar seikhlasnya. Di rumah Jaro Dainah sedang ada pertemuan dengan beberapa warga Baduy Luar dan dua orang Baduy Dalam. Mereka sedang membicarakan tentang Seba. Seba adalah seserahan hasil bumi dari warga Baduy Luar dan Dalam kepada Gubernur Provinsi Banten, dan dilakukan setelah bulan Kawalu selesai.

Jaro Dainah (sebelah kiri), Ayah Mursyid ikat kepala putih.

Ternyata hari itu masih merupakan bulan Kawalu. Bulan Kawalu adalah bulan suci bagi masyarakat Baduy yang diadakan sesuai penanggalan Baduy, biasanya mulai awal Februari hingga awal Mei. Selama bulan tersebut kampung-kampung di Baduy Dalam tertutup dan tidak boleh dikunjungi oleh orang dari luar Baduy. 

Menurut berita yang ada di media massa saat ini menyebutkan kalau warga Baduy melakukan puasa pada bulan Kawalu selama 3 bulan penuh. Tapi hal itu dibantah oleh Jaro Dainah, beliau menjelaskan bahwa puasanya hanya 1 hari pada tiap bulannya. Tahun ini kawalu mundur dari biasanya dikarena beberapa hal dan salah satunya musim panen Padi Huma yang tidak serempak karena terjadinya perubahan musim tanam.

Karena saat itu masih berlangsung bulan Kawalu, otomatis kami tidak dapat mengunjungi Baduy Dalam. Beruntung waktu itu ada seorang tokoh Baduy Dalam dari Kampung Cibeo menawarkan diri untuk menginap di rumah anaknya di Baduy Luar dan beliau senantiasa memberikan informasi tentang Suku Baduy. 

Seorang pria perawakan tegap dengan kumis rapi itu adalah Pak Alim, atau orang sekitar biasa memanggilnya dengan Ayah Mursyid. Buatku wajahnya sangat familiar sekali, karena sebelumnya dia pernah tampil di beberapa acara dokumenter di stasiun televisi nasional.

Bersambung….[Part 2]