Explore Bantul : Menunaikan “Nazar” Yang Tertunda.

Ini adalah tahun ke-4 saya tinggal dan bekerja di Daerah Istimewa Yogyakarta, lebih tepatnya di Kabupaten Bantul. Meskipun begitu, saya belum sempat untuk eksplorasi lebih dalam objek-objek wisata yang menarik di sini. Saya seperti merasa “ketinggalan jaman” ketika orang-orang luar daerah udah menjelajahi tempat-tempat keren di sekitar tempat tinggal saya. Dari situlah saya memutuskan untuk eksplorasi sendirian di tempat yang gak begitu jauh dari tempat tinggal saya, berhubung sedang ada waktu luang 1 hari.

Sebenernya sih saya punya nazar, sebelum pindah ke kota lain saya harus mengunjungi tempat-tempat yang udah jadi target tujuan sejak lama. Dan terpilihlah 1 hari itu untuk full eksplorasi.

Saya memutuskan untuk solo traveling supaya fleksibel, bebas menentukan waktu dan tujuan ketika bertualang. Selain itu juga punya waktu yang banyak untuk melakukan kontemplasi ketika berada di tempat tujuan.

Entah kenapa setiap mau melakukan perjalanan, saya selalu bisa bangun pagi. 
Ya ! BANGUN PAGI ! Suatu hal yang sulit saya lakukan setiap hari.

Pagi itu, sebelum menuju TKP, seperti biasa, saya membeli “amunisi” di Pasar Prawirotaman, yaitu risoles isi mayonnaise dan beberapa jajanan pasar. Untuk beli makanan ini memang harus bangun pagi dan tepat waktu, soalnya kalo kesiangan dikit udah habis. Sialnya, hari itu saya dateng kepagian, jadi risolesnya belum dateng, ya udah deh terpaksa beli risoles di daerah Krapyak yang rasanya biasa aja :(

Perjalanan diawali menuju Kebun Buah Mangunan di Kec. Dlingo, Kab. Bantul. Jarak tempuh dari tempat saya sekitar 40 menit menuju Imogiri, setelah bertemu pertigaan makam raja-raja belok ke kanan, mengikuti petunjuk yang ada.

Di Kebun Buah Mangunan ini tiketnya Rp 5000, di dalamnya terdapat camping ground dan yaa terdapat pohon buah-buahan. Tapi yang terkenal bukanlah itu, yaitu pemandangan berupa sungai yang membelah perbukitan hijau mirip seperti di Amazon. Untuk ke sini disarankan pakai motor, soalnya masih harus menanjak lagi ke puncak bukit, dan datanglah pagi hari sekali, karena sungainya akan terisi dengan kabut, dan bakal bikin fotomu jadi dramatis.


Perjalanan ke-2 dilanjutkan ke Goa Gajah yang jaraknya hanya 1,2 km dari Kebun Buah Mangunan. Ikuti saja papan petunjuknya ketika keluar dari gerbang. Di goa ini masih dikelola independen oleh masyarakat sekitar, belum ada retribusi resmi. Untuk masuk cukup bayar parkir Rp 2000 dan guide (jika perlu) seikhlasnya.


Saat itu belum ada pengunjung, cuma saya seorang diri, lalu ada seorang bapak-bapak (sebut saja Yono) menawarkan diri untuk memandu di dalam goa, karena kebetulan juga saya gak bawa senter.

Untuk melakukan eskplorasi di sini tidak memerlukan peralatan atau keahlian khusus, cukup bawa senter saja. Meskipun namanya Goa Gajah, di sini gak ada gajahnya. Nama tersebut diambil dari batu yang konon bentuknya mirip gajah. Panjang goa ini sekitar 200 meter, tapi ada jalur yang masih tertutup tanah dan sempit dan berbahaya, jadi pengunjung dilarang masuk ke jalur itu. Pintu keluar Goa Gajah ini vertikal, dan ada pohon besarnya mirip di Goa Rancang kencono. Untuk keluarnya harus memanjat tangga yang sudah disediakan.


Sesaat sebelum meninggalkan lokasi ini, saya sempatkan untuk ke warung beli es terlebih dahulu, sekalian “mecahin” duit biar ada kembaliannya untuk bayar Pak Yono. Sesaat sebelum bayar es campur, saya kaget dengan harganya, ternyata hanya Rp 2000. Jauh dari apa yang saya bayangkan seperti warung-warung di tempat wisata biasanya yang mematok harga mahal. Sampai-sampai di sini saya bingung, gak tega untuk bayarnya.


Perjalanan ke-3 adalah perjalanan yang gak disengaja, ketika melewati hutan pinus saya melihat di sebelah kiri ada tulisan Puncak Becici. Sejenak saya menghentikan motor ke pinggir untuk browsing sejenak tentang objek wisata tersebut, dan akhirnya saya memutuskan untuk mampir ke tempat itu.

Namanya sih unik banget “Puncak Becici”, dan entah kenapa tiap denger namanya yang teringat malah Puncak Chibi2 -_-

Puncak Becici ini masih di area hutan pinus Dlingo. Untuk masuknya cukup bayar parkir Rp 2000. Di dalam area ini terdapat saung dan gardu pandang mirip seperti di Kalibiru. Kalau pagi dan sore, dari Puncak Becici bisa liat Gunung Merapi, tapi kalau siang-siang gak keliatan, soalnya Merapinya lagi istirahat dulu :p

REN_0476REN_0486 
Perjalanan ke-4 dilanjutkan ke air terjun Lepo (Ledok Pokoh), masih di Kec. Dlingo. Destinasi ini saya dapetin dari seorang temen yang posting fotonya di instagram. Di air terjun Lepo ini juga belum ada tarif resminya, cukup bayar parkir dan iuran seikhlasnya. Meskipun begitu, di sini sudah terdapat fasilitas toilet dan mushola.

Bentuk air terjun Lepo ini bertingkat-tingkat. Bagian paling atas biasanya untuk bermain anak-anak, dan yang bawah untuk orang dewasa, karena kedalamannya lebih dari 2 meter. Air di air terjun Lepo ini berwarna biru agak keputihan karena mengandung batuan kapur. Buat kamu yang pengen “menyepi” dari rutinitas di kota, tempat ini cocok banget, tapi datenglah pagi-pagi, atau usahakan bukan akhir pekan atau hari libur.


Well, itulah sekelumit cerita solo traveling saya di Bantul demi memendam ambisi yang harus dipenuhi. Sebenernya masih banyak tempat-tempat menarik sekitar Jogja yang belum saya jelajahi, namun apa daya, waktu yang kurang mendukung. Maka dari itu, jika ingin solo traveling cobalah di sekitar daerahmu, karena tidak memerlukan banyak waktu untuk pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain.

2 comments:

  1. wisata murah nan indah, didaerah jogja solo memang banyak surga tersembunyi ya mas :), jogjanya mana mas..

    ReplyDelete
  2. Iya, modal Rp 2000 aja udah bisa piknik. Saya di Jl. Paris.

    ReplyDelete